tag:blogger.com,1999:blog-46826757814256243612024-03-13T22:32:18.418-07:00Industri Kelapa SawitIndustri Kelapa Sawit dewasa ini semakin menggeliat saja. Namun akibat dampak krisis yang awalnya melanda keuangan Amerika Serikat - yang celakanya perekonomian dunia banyak bergantung ke Negeri Paman Sam itu - industri ini semakin terpuruk dengan jatuhnya harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani. Blog ini mencoba mengumpulkan berita-berita terkait dengan Industri Kelapa Sawit.raprapmedanhttp://www.blogger.com/profile/00409093041485260974noreply@blogger.comBlogger158125tag:blogger.com,1999:blog-4682675781425624361.post-45510972812121909922008-11-14T18:20:00.000-08:002008-11-14T18:21:55.379-08:00Menyuburkan Lahan Gambut dengan Mikroba<a href="http://2.bp.blogspot.com/_VTdqcbxe5eE/SR4yNjFz6LI/AAAAAAAAADk/twgk_l4xoCc/s1600-h/Gambut.bmp"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 298px; height: 225px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_VTdqcbxe5eE/SR4yNjFz6LI/AAAAAAAAADk/twgk_l4xoCc/s320/Gambut.bmp" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5268703822409361586" /></a><br />Jumat, 14 November 2008 | 22:05 WIB<br />JAKARTA, JUMAT - Pemanfaatan lahan di Indonesia sejak dulu telah salah arah. Lahan subur, terutama di Jawa, tak terbendung terus berubah fungsi ke nonpertanian. Sementara itu, kebutuhan pangan yang terus meningkat memaksa pemanfaatan lahan kering dan marginal yang umumnya di luar Jawa. Di sinilah rekayasa teknologi berperan untuk mengubahnya menjadi lahan subur. Salah satu yang kini gencar disasari adalah lahan gambut.<br /><br />Dalam ASEAN-China Workshop on the Development of Effective Microbial Consortium Poten in Peat Modification di Jakarta, Senin (10/11), tim peneliti mikroba dari Pusat Teknologi Bioindustri BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), yang diketuai Gatyo Angkoso, melaporkan keberhasilan mereka menyuburkan lahan gambut dengan menambahkan limbah selulosa dari perkebunan kelapa sawit dan memasukkan secara bersamaan beberapa jenis isolat mikroba tertentu.<br /><br />Perlakuan ini dapat mengurangi tingkat keasaman atau menaikkan pH lahan gambut dari rata-rata 3,5 menjadi 5,5, jelas Direktur Pusat Teknologi Bioindustri, Koesnandar, yang juga terlibat dalam riset tersebut, di Rasau dan Siantan, Kalimantan Barat. Selama ini lahan gambut secara alami memang tidak subur karena memiliki keasaman tinggi atau kebasaannya (pH) rendah, antara 2,8 dan 4,5. Sifat lain lahan gambut yang tidak menguntungkan adalah nilai kapasitas tukar kation dan kandungan organik yang tinggi.<br /><br />Penyuburan lahan gambut dilakukan dengan memasukkan konsorsia atau beberapa kelompok mikroba. Dijelaskan Diana Nurani, peneliti, riset yang dilakukan sejak tahun 2006 berhasil diisolasi puluhan mikroba di dua daerah di Pontianak itu. Dari puluhan ditemukan empat kelompok mikroba yang memiliki kinerja yang baik dalam meningkatkan kebasaan lahan gambut.<br /><br />Ditambahkan Koesnandar, mikroba itu ditemukan di lahan gambut, pada limbah kelapa sawit, dan kotoran sapi. Dari efeknya pada tanah gambut, konsorsia mikroba itu bersimbiosa mutualisme. Penelitian lebih lanjut akan dilakukan untuk meneliti peran dan karakteristik masing- masing mikroba.<br /><br />Aplikasi empat kelompok mikroba pada tanah gambut selain dapat meningkatkan pH, juga terbukti memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan ketersediaan mineral. Keuntungan lainnya adalah mengganti cara konvensional, yaitu pembakaran yang biasa dilakukan petani di lahan gambut untuk meningkatkan pH tanah gambut.<br /><br />Indonesia memiliki kawasan gambut keempat terluas di dunia, yakni 20,6 juta hektar. Peringkat pertama adalah Kanada (170 juta ha), Uni Soviet (150 juta ha), dan Amerika Serikat (40 juta ha). Lahan gambut di Indonesia terbanyak dijumpai di Sumatera (35 persen), Kalimantan (30 persen), dan Papua (30 persen). (YUN)<br />Sumber : Kompas Cetak<br /><br />source: kompas.comraprapmedanhttp://www.blogger.com/profile/00409093041485260974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4682675781425624361.post-27932525536320175772008-11-14T18:04:00.000-08:002008-11-14T18:25:09.429-08:00Greenpeace Diusir dari Pelabuhan Dumai<a href="http://4.bp.blogspot.com/_VTdqcbxe5eE/SR4y-DybByI/AAAAAAAAADs/NLOgio0fyWA/s1600-h/Esperanza.bmp"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 298px; height: 225px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_VTdqcbxe5eE/SR4y-DybByI/AAAAAAAAADs/NLOgio0fyWA/s320/Esperanza.bmp" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5268704655820130082" /></a><br />Jumat, 14 November 2008 | 21:23 WIB<br />PEKANBARU, JUMAT - Kapal MV Esperanza milik organisasi lingkungan Greenpeace terpaksa keluar dari pelabuhan angkut minyak sawit (crude palm oil/CPO) Dumai, Riau. Dua tug boat Administrasi Pelabuhan (Adpel) Dumai, Jumat (14/11) siang mendorong kapal tersebut yang sejak awal minggu ini menghalangi kapal pengangkut minyak kelapa sawit yang kleuar masuk ke pelabuhan tersebut.<br /><br />Esperanza menghalangi pengapalan CPO dari Dumai sebagai aksi protes terhadap kerusakan hutan yang dilakukan perusahaan sawit di Riau. Juru Kampanye Media Greenpeace Asia Tenggara Nabiha Shahab mengatakan, aksi tersebut sengaja dilakukan untuk menghalangi kapal tanker Isola Corallo memuat CPO di Dumai.<br /><br />Kapal Isola Corallo rencananya akan memuat CPO milik Sinar Mas tujuan Rotterdam, Belanda. Namun, sejak tanker tiba di Dumai pada Rabu silam (12/11), Greenpeace telah menghadangnya dengan aksi seorang aktivis mengikatkan diri di rantai jangkar kapal.<br /><br />"Awalnya kami berencana menempati pelabuhan selama sepekan tapi dua tug boat mengusir dengan cara mendorong kami," kata Nabiha. Aksi tersebut merupakan protes terhadap perusahaan Sinar Mas yang terus menebangi hutan gambut di Papua, Kalimantan, dan Sumatera.<br /><br />Esperanza akhirnya mengalah dan kapal tanker yang dihalangi kini sudah memasuki pelabuhan. Belum ada kabar adanya penahanan dari pihak kepolisian akibat aksi tersebut. Sebelumnya, aktivis lingkungan Greenpeace juga melakukan aksi yang sama dengan mengikat diri di rantai jangkar kapal tanker CPO Gran Couva empat hari lalu. Aksi tersebut akhirnya juga dihentikan paksa oleh polisi setempat.<br /><br />WAH <br />Sumber : Antara<br />source: kompas.comraprapmedanhttp://www.blogger.com/profile/00409093041485260974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4682675781425624361.post-24002322530698255372008-11-14T18:01:00.000-08:002008-11-14T18:04:35.390-08:00Plantations struggle as CPO prices in free fallManggi Habir, The Jakarta Post, Jakarta<br /><br />Plantation companies are one of the first to suffer from the deepening global downturn. And, as the year end nears, it is plantations with scale of production, the right mix of tree maturity and a conservative balance sheet (low debt and high cash levels), that are best able to weather the storm. <br /><br />It was only a few months back, that the sector's outlook still looked so bright. Crude palm oil (CPO) prices were on an unprecedented upward climb. Fueled by high economic growth in India and China CPO prices soared to reach a peak of US$1,200 per ton by mid-year, about double its historical prices in the $350 to $600 per ton range. <br /><br />Reflecting this trend, the share price of Indonesia's three top listed plantation companies, PT Astra Agro Lestari (AALI), PT Bakrie Sumatera Plantations (UNSP) and PT London Sumatera (LSIP) also doubled in 2007, reaching respective peaks of Rp 28,000, Rp 2,275 and Rp 10,650 per share by early 2008. <br /><br />However, with the consolidation of the global downturn in the second semester, these earlier gains disappeared in a couple of months. CPO prices began their steep decline after June, reaching a low of $500 per ton by November. Reflecting this drop, share prices of the above three companies also fell by more than 70 percent, to reach lows of Rp 8,550, Rp 340 and Rp 2,725 per share, respectively. <br /><br />This has been a painful awakening for plantation managers after seeing margins and profitability levels rise. So what has been the impact? First, there has been the drop in revenue with falling commodity prices. Costs, on the other hand, are fairly fixed and not easy to adjust downward in this sector. This ultimately translates into narrowing margins and profitability. <br /><br />For instance, Astra Agro Lestari, the largest of the three plantation companies, showed a steady decline in quarterly net income from Rp 827 billion in the first quarter of the year, to Rp 770 billion in the second and further down to Rp 532 billion in the third quarter. <br /><br />How have they responded? In the short-term, the response has been on finding ways to control costs and push them downward. This is difficult in a business with a long business cycle. Palm oil tree crops take 3-4 years to plant and grow to first production level, during which time it is all cash outflow. This is then followed by another 6-7 years for a tree to reach its maturity and generate peak yields. <br /><br />Interestingly, the plantation cost structure has undergone a fundamental change with the rise in oil prices. In 2006, the largest cost component was labor, accounting for 39 percent of total cost. <br /><br />However, by 2008, with rising gas prices, fertilizer costs have rapidly grown to replace labor as the largest cost component. Fertilizer, which previously accounted for just 14 percent of total cost, now takes up 34 percent of the CPO cost structure. <br /><br />As a result, it has become the major focus in the sector's cost cutting efforts. Efforts are underway to use fertilizers more efficiently and to look at replacing costly chemical-based fertilizers with natural organic compost waste. The drop in oil and gas prices should help bring down fertilizer prices, although companies have yet to notice and confirm this trend. <br /><br />In the long term, there is a focus on improving tree crop yields by investing in higher yielding and disease resistant seeds. Currently Fresh Fruit Bunch or FFB yields are about 18.2 tons per year per hectare. This palm fruit is then further processed by mills yielding an average of about 4.2 tons of CPO per year per hectare. <br /><br />Most Indonesian plantation companies limit their activity to the upstream part of the value chain, focusing on planting, harvesting and processing palm fruits into CPO. Rarely have they ventured further downstream to vertically integrate into the next phase of processing, for example, into cooking oil or cosmetics, where the value added and larger margins are to be found. <br /><br />There is also little discussion thesedays about investing in biofuel processing plants, with the decline in oil prices. <br /><br />Plantation owners explain that moving downstream would require extensive investment. This is not limited to large processing plants but also to building distribution networks and marketing capability, as well as investing in creating strong brand names. This, they argue, requires a different skill base. <br /><br />Besides, they also say, there is much to do already at their end of the value chain. The argument is that it would be more prudent if they focused on what they are good at, which is expanding and investing in their existing processing mill capacity, improving efficiency in their planting phase and increasing yields and then further seeking additional land or acquiring other plantations to plant more hectares and expand their capacity. <br /><br />Astra Agro operates some 235,000 hectares of tree crops across the islands of Sumatra, Kalimantan and Sulawesi. About 80 percent of its tree crops are mature, with the remaining 20 percent in the planting or immature phase. In a downturn cycle planters prefer to have a larger mature proportion in their tree crop mix as it minimizes the heavy cash outflow found in the initial phase. <br /><br />With a large mature area, there is also more cash flow generation, even with lower prices. This is why plantation companies that are relatively new or have a larger immature proportion of tree crops are suffering more in this downturn cycle. <br /><br />Another cost that needs to be managed well in a downturn is financing costs. All commodity companies that face volatile commodity prices tend to have conservative balance sheets, carrying low debt levels in proportion to their capital. Astra Agro, for example, has Rp 1.9 trillion in cash as of September 30, 2008, and practically no debt. <br /><br />It is too early to tell whether the recession will be long enough to encourage consolidation in this sector. What is sure is that those with scale, an appropriate mix between mature and immature tree crops and a conservative balance sheet should be able to ride out the storm more comfortably than others. <br /><br />Manggi Habir is Contributing Editor at The Jakarta Post <br /><br />source: thejakartapost.comraprapmedanhttp://www.blogger.com/profile/00409093041485260974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4682675781425624361.post-59236791702014642972008-11-14T17:59:00.000-08:002008-11-14T18:01:42.470-08:00Slowdown jolts RI's commodity-heavy economyThe Indonesian economy has been generating lucrative profits from the soaring prices of agricultural commodities during the last two years. Following increasing dependency on this business, the recent slump in commodity prices has severely impacted on the economy. The Jakarta Post business section features a special report on commodity sector problems. Here are the reports:<br /><br /><br />For seasonal farmer Alex Sinaga of Tanjungjabung Barat regency, Jambi, the world is tumbling down around his ears after knowing that his October revenue has dropped by a factor of 10 times following the plummeting global prices for palm oil. <br /><br />Having previously enjoyed a monthly income of Rp 5 million (US$434 million), six times higher than a university-graduate civil servant in his province, Alex now has to end his shopping spree earlier than expected. <br /><br />In Jambi, fresh oil palm fruit bunches are now sold at Rp 200 per kilogram, having dropped like a stone from Rp 1,500 per kilogram a few months ago. <br /><br />Alex is just one example of how Indonesians living in rural areas have already taken a severe knock from the global economic crisis earlier than the government has estimated, since the government initially concluded that the full negative impact would not be felt until the first quarter of next year. <br /><br />As one of the world's top producers of palm oil, rubber, cocoa and coffee, the Indonesian economy, Southeast Asia's biggest, was making good profits from high agricultural commodity prices earlier this year. <br /><br />In the first nine months of the year, exports of crude palm oil (CPO), for example, reached $12.12 billion, or 14.5 percent of the country's non-oil and gas exports, according to the Central Statistics Agency. <br /><br />"Commodity prices soared since 2007 up until early 2008. Clearly, Indonesia benefited significantly from commodity trade, as proven by exports and industry expansion," said World Bank chief economist and senior vice president Justin Yifu Lin recently, <br /><br />The magnitude of agricultural commodity business is even more significant when remembering that it is estimated to have employed 99.9 million workers, both seasonal and permanent, according to Siswono Yudhohusodo, chairman of the Indonesian Farmers Union (HKTI) advisory board. <br /><br />Producing an estimated 18.5 million tons of palm oil this year from more than six million hectares of plantation, Indonesia is the world's largest producer of the commodity. <br /><br />However, with slumping demand from the world's largest importers of palm oil -- China, India and Europe -- local palm oil farmers are now likely to seek more loans from the pawnshop to help ends meet. <br /><br />The slowing demand has sent the Malaysian CPO benchmark price down to 1,505 ringgit ($419.89) per ton on Wednesday from its peak of 4,486 per ton on March 4, as reported by Bloomberg. <br /><br />Indonesian Association of Oil Palm Producers (Gapki) chairman Akmaluddin Hasibuan said the plummeting prices had been exacerbated recently by moves from several countries to intentionally default on purchase contracts due to slow demand. <br /><br />Among the importers carrying out this practice are 30 Indian companies. <br /><br />"The Indian companies are being unethical by defaulting on their import contracts that have consequently affected our exporters as well as our farmers," Akmaluddin told The Jakarta Post recently. <br /><br />"We have filed complaints with the Indian government and Indian oil palm-related trade associations but we haven't received any response yet," he said. <br /><br />There are also contract defaulters in the European Union countries and China. <br /><br />Indonesia and Malaysia together produce around 85 percent of the world's CPO and account for 88 percent of global CPO exports. <br /><br />Last year, Indonesia and Malaysia produced about 17 million tons and 15.7 million tons of CPO respectively. <br /><br />Indonesia recorded exports of $5.5 billion in 2007, with more than 75 percent of its palm oil output being exported as CPO, while by contrast Malaysia posted a higher export revenue of $10.4 billion, with 80 percent of its output exported as value-added products. <br /><br />In a bid to help bolster the CPO price, Indonesia and Malaysia agreed last week to cut palm oil output by 75,000 tons and around 500,000 to 600,000 tons respectively next year, according to the Agriculture Ministry's director general for plantations, Achmad Manggabarani. <br /><br />Indonesia also plans to replant 50,000 hectares of oil palm trees while Malaysia plans to replant 250,000 hectares next year. <br /><br />Achmad hoped the prices of palm oil could then reach its commercially viable level of around $700 to $800 per metric ton. <br /><br />Meanwhile, Indonesian Vegetable Oil Producers Association (Gimni) executive director Sahat Sinaga said the export drop had actually been developing since 2006 when European countries began to use soybean and sunflower oil as alternatives to CPO for feedstock for biofuel. <br /><br />Furthermore, he said, the financial crisis and economic downturn had led some foreign buyers to stop ordering CPO due to the drying up of liquidity in their banks, which had previously helped to finance CPO purchases. <br /><br />"Capacity utilization of CPO production is expected to decline to 48 percent by the end of this year, from 52 percent forecast earlier," said Sahat. <br /><br />Rubber, coffee and cacao are all experiencing similar problems to those experienced by the CPO sector. <br /><br />Indonesian Rubber Association (Gapkindo) executive director Suharto Honggokusumo said the price of natural rubber reached its peak at $3.3 per kilogram on June 27 before slumping to its lowest point at $1.53 per kilogram on Sept. 16. <br /><br />The price has since failed to recover. <br /><br />With rubber production amounting to 2.7 million tons last year, Indonesia is the world's second biggest rubber producer after Thailand. <br /><br />Last week, Indonesia, Malaysia and Thailand , which produce between them 70 percent of global natural rubber production, jointly agreed to cut rubber production by 210,000 tons next year by replanting trees. <br /><br />Robusta coffee also fell to its lowest point at $1.5 per kilogram after peaking at $2.5 per kilogram around three months ago, according to the Indonesian Coffee Exporter Association (AEKI) chairman Hassan Wijaya. <br /><br />Indonesia is the fourth largest producer of coffee after Vietnam , Colombia and Brazil, producing around 450,000 tons per year of which 250,000 tons are exported. <br /><br />Cacao also dipped to around $1,930 per ton from a record high of $3,200 per ton around August, according to Indonesian Cacao Association (Askindo) secretary general Zulhefi Sikumbang. <br /><br />Zulhefi, however, said cacao farmers were relatively safe from price volatility. <br /><br />"Our farmers are still able to earn profits by selling cacao for around Rp 15,000 to Rp 16,000 per kilogram. They would suffer losses if the price dipped below Rp 11,000 to Rp 12,000 per kilogram," he said. <br /><br />Indonesia is the world's third largest cacao producer with an estimated production of 500,000 tons. Ivory Coast and Ghana are the first and second largest. JP/Mustaqim Adamrah <br /><br />source: thejakartapost.comraprapmedanhttp://www.blogger.com/profile/00409093041485260974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4682675781425624361.post-4804614877139754702008-11-13T17:30:00.000-08:002008-11-13T17:31:21.606-08:00Greenpeace Lanjutkan Aksi Protes di DumaiKamis, 13 November 2008 | 09:02 WIB<br />PEKANBARU, KAMIS - Aktivis Greenpeace tampaknya tidak kapok melakukan kampanye lingkungan di Provinsi Riau dan itu ditandai dengan kembali melakukan aksi bergelantungan di jangkar kapal tanker minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di Pelabuhan Dumai.<br /><br />Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, Bustar Maitar, ketika dihubungi Kamis (13/11), mengatakan, sasaran aksi penghadangan kini tertuju pada kapal MT Iso Corralo yang berbendera Malta. <br /><br />Dikabarkan, aksi mengikat diri di rantai jangkar tersebut sudah dilakukan sejak Rabu malam (12/11) kemarin. Kapal tersebut direncanakan akan memuat minyak sawi mentah milik PT Sinar Mas untuk dikapalkan ke Rotterdam, Belanda. <br /> <br />"Aksi ini merupakan protes terhadap Sinar Mas yang terus menebangi hutan gambut di Papua, Kalimantan dan Sumatera," ujarnya.<br /> <br />Sebelumnya, aktivis lingkungan Greenpeace juga melakukan aksi yang sama dengan mengikat diri di rantai jangkar kapal tanker CPO Gran Couva tiga hari lalu. Aksi tersebut dihentikan paksa oleh polisi setempat.<br /><br />source: kompas.comraprapmedanhttp://www.blogger.com/profile/00409093041485260974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4682675781425624361.post-21810373395367616782008-11-13T17:23:00.000-08:002008-11-13T17:26:03.047-08:00Greenpeace: Organisasi Kelapa Sawit Tameng Perusak Lingkungan<a href="http://3.bp.blogspot.com/_VTdqcbxe5eE/SRzTk3ZFPVI/AAAAAAAAADc/qjYCQwLGdsw/s1600-h/Aksi+greenpeace.bmp"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 298px; height: 225px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_VTdqcbxe5eE/SRzTk3ZFPVI/AAAAAAAAADc/qjYCQwLGdsw/s320/Aksi+greenpeace.bmp" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5268318294414540114" /></a><br />Kamis, 13 November 2008 | 17:13 WIB<br />PEKANBARU, KAMIS - LSM lingkungan, Greenpeace, menyatakan organisasi internasional produsen kelapa sawit Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) hanya sebagai tameng anggotanya yang tetap merusak lingkungan. Juru kampanye Greenpeace Asia Tenggara, Bustar Maitar, dihubungi dari Pekanbaru Kamis (13/11) mengatakan, berdasarkan penelitian Greenpeace, RSPO tidak lebih dari sekedar tameng agar perusahaan yang masuk dalam organisasi itu terkesan ramah lingkungan.<br /><br />Sertifikasi RSPO memang menuntut perusahaan mematuhi ketentuan standar mengenai perkebunan, namun tidak melarang pembukaan hutan bahkan di lahan gambut sekali pun. Padahal lahan gambut merupakan faktor penting dalam memerangi perubahan iklim.<br /><br />Pembukaan lahan, pengeringan, dan pembakaran hutan-hutan gambut telah menempatkan Indonesia sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga dunia. Sementara anggota-anggota RSPO tidak diwajibkan mengubah perilaku kerjanya.<br /><br />"Dengan laju pembabatan dan pembakaran hutan saat ini, hutan dataran rendah Indonesia sebagian besar akan hilang dalam waktu 15 tahun mendatang, standar RSPO tidak memadai, dan kerangka kerjanya tidak akan memecahkan masalah deforestasi di Asia Tenggara. Industri bersama pemerintah harus mengambil tindakan segera untuk melindungi hutan kita," ujar Bustar.<br /><br />Salah satu perusahaan bersertifikasi RSPO, United Plantations, yang juga pemasok Nestle dan Unilever, terlibat kegiatan deforestasi di lahan gambut Kalimantan yang rentan, Papua, dan mempunyai rencana-rencana perluasan perkebunan yang agresif.<br /><br />Greenpeace, kata Bustar, hingga kini masih melakukan penghadangan terhadap sebuah kapal tanker pengangkut CPO di pelabuhan Dumai. Seorang aktivis Greenpeace sejak Rabu malam (12/11) menguncikan dirinya ke rantai jangkar kapal Isola Corallo untuk mencegah kapal merapat ke pelabuhan. Kapal berbendera Malta itu dikabarkan akan mengangkut CPO milik perusahaan Sinar Mas tujuan Rotterdam, Belanda.<br /><br />WAH <br />Sumber : Antara<br /><br />source: kompas.comraprapmedanhttp://www.blogger.com/profile/00409093041485260974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4682675781425624361.post-45267767073205267642008-11-13T17:21:00.001-08:002008-11-13T17:21:58.976-08:00Sumsel Dapat Tambahan Urea 35.000 TonKamis, 13 November 2008 | 19:07 WIB<br /><br />PALEMBANG, KAMIS — Provinsi Sumatera Selatan mendapat tambahan pupuk urea bersubsidi untuk tanaman pangan sebanyak 35.000 ton. Pemerintah telah menambah alokasi pupuk urea bersubsidi di 20 provinsi termasuk Sumsel sebanyak 200.000 ton, untuk mengatasi kekurangan pupuk pada musim tanam rendeng.<br /><br />Kepala Pemasaran Pusri Daerah (PPD) Sumsel PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) Sulfa Gani, Kamis (13/11) mengutarakan, penambahan itu berdasarkan usulan tambahan pupuk urea bersubsidi dari Gubernur Sumsel kepada Menteri Pertanian yang jumlahnya 35.000 ton.<br /><br />Menurut Sulfa, tambahan pupuk urea tersebut diprioritaskan untuk daerah penghasil beras utama di Sumsel yaitu Kabupaten Banyuasin dan Ogan Komering Ulu Timur. Sedangkan sisanya akan didistribusikan untuk kabupaten/kota lain di Sumsel.<br /><br />Sebelum mendapat tambahan 35.000 ton, pada tahun 2008 Sumsel mendapat alokasi pupuk urea bersubsidi sebanyak 165.483 ton kemudian direvisi menjadi 175.483 ton.<br /><br />Stok pupuk urea di gudang PT Pusri di Sumsel saat ini 22.207 ton, sedangkan stok di pabrik berupa urea curah dan urea dalam kantong sebanyak 44.000 ton. Penyaluran pupuk urea bersubsidi di Sumsel per 1 Januari-11 November telah mencapai 165.000 ton. <br /><br />source: kompas.comraprapmedanhttp://www.blogger.com/profile/00409093041485260974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4682675781425624361.post-78426985488437079862008-11-13T17:14:00.000-08:002008-11-13T17:19:47.726-08:00Wah... Kecambah Sawit Diselundupkan Lewat PosKamis, 13 November 2008 | 19:16 WIB<br /><br />MEDAN, KAMIS- Penyelundupan kecambah sawit memakai modus baru. Pengirim tidak lagi memakai kargo pesawat, melainkan memakai kargo PT Pos. Balai Karantina Tumbuhan Kelas I Polonia Medan telah menyita 30.000 kecambah tujuan Kendari, Sulawesi Tenggara.<br /><br />"Pengiriman melalui pos ini ilegal karena tidak dilengkapi dokumen resmi. Barang mereka disebut berasal dari PT Socfindo. Namun setelah kami cek ke produsen, tidak ada barang yang mereka keluarkan ke Kendari bulan ini," kata Kepala Balai Karantina Tumbuhan Kelas I Polonia, Guntur, Kamis (13/11), saat ditemui di kantornya.<br /><br />Menurut Guntur, pengirim tidak melengkapi dokumen berupa Surat Persetujuan Penyeluran Benih Kelapa Sawit (SP2BKS), surat pemeriksaan dari Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP), dan dokumen Delivery Order (DO) yang sah. Kecambah ini berdasarkan dokumen dikirim oleh PT Damai Jaya Lestari berkantor di Medan.<br /><br />Petugas Balai Karantina selanjutnya menyerahkan kecambah ilegal ini ke (BBP2TP) di Medan. Penyitaaan kecambah sawit ilegal ini merupakan yang kedua di tahun 2008. Pada Februari lalu, disita 10.250 kecambah tanpa dokumen yang dikirim melalui kargo pesawat. "Pemakaian kargo pos merupakan cara baru yang kami temukan," katanya.<br /><br />Pengawas Benih d ari BBP2TP di Medan Panangian Sitorus akan memproses temuan ini sesuai prosedur hukum. Minggu ini, tuturnya, BBP2TP akan memanggil pemilik barang.<br /><br />Bagian Pemasaran PT Socfindo Eko Darmawan mengatakan, penjualan kecambah ini merugikan produsen dan konsumen. Tidak ada jaminan mutu jika kecambah ini beredar di masyarakat. Jika dikonversikan, seluruh kecambah ilegal ini bernilai Rp 285 juta. "Pihak yang paling dirugikan adalah petani selaku pengguna kecambah," katanya.<br /><br />source: kompas.comraprapmedanhttp://www.blogger.com/profile/00409093041485260974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4682675781425624361.post-84640543748416708432008-11-13T17:02:00.000-08:002008-11-13T17:14:47.869-08:00Produsen Siap Negosiasi Ulang Kontrak CPOKamis, 13/11/2008 15:43 WIB<br />Suhendra - detikFinance<br /><br />Jakarta - Para produsen sektor sawit termasuk produk sawit mentah atau crude palm<br />oil (CPO) dalam negeri siap melakukan renegoisasi kontrak dengan 30 importir India yang ingkar kontrak beberapa waktu lalu.<br /><br />Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia<br />(Gapki) Akmaluddin Hasibuan saat dihubungi detikFinance, Kamis (13/11/2008).<br /><br />"Soal renegoisasi kontrak itu memang tergantung perusahaan ya. Kalau mau, ya itu bisa dilakukan," katanya.<br /><br />Berdasarkan perkembangan terakhir yang ia terima dari kalangan asosiasi dan pemerintah India, surat keberatan Gapki terhadap 30 importir sudah mendapat respon pihak pemerintah India. Dari pemanggilan itu terdapat keinginan importir untuk meminta renegosiasi ulang kontrak CPO.<br /><br />"Pemerintah negara India mulai merespon, dengan memanggil pengusaha untuk negosiasi ulang," katanya.<br /><br />Menurut Akmaluddin, alasan pihaknya bersedia merenegosiasi kontrak dengan 30 importir tersebut karena bisa menekan kejatuhan harga CPO yang kini kian<br />luruh diangka sekitar US$ 500-an per metrik ton. <br /><br />Namun ia menyatakan, selama ini kejatuhan harga CPO bukan hanya turunnya demand. Tetapi pembatalan kontrak atau ingkar kontrak pun turut memicu kejatuhan harga.<br /><br />"Dengan pembatalan kontrak menyebabkan harga bisa jatuh karena terkesan tidak ada demand," jelasnya.(hen/lih) <br /><br />source: detik.comraprapmedanhttp://www.blogger.com/profile/00409093041485260974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4682675781425624361.post-25015066246319428892008-11-13T16:57:00.000-08:002008-11-13T16:58:44.243-08:00Harga urea di pasar internasional anjlok 70%, Produsen pupuk enggan turunkan hargaKamis, 13/11/2008<br /><br />JAKARTA: Harga pupuk urea nonsubsidi di dalam negeri untuk sektor perkebunan tidak akan diturunkan pada tahun ini, kendati di pasar international harganya telah turun secara signifikan pada kuartal IV/2008.<br /><br />Direktur Utama PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT) Hidayat Nyakman menjelaskan harga urea nonsubsidi di pasar domestik tetap dipatok sekitar Rp5.000 per kg, atau setara US$480 per ton kendati saat ini terjadi koreksi yang sangat tajam atas harga urea prill (butiran kecil) dan granule (butiran besar) di pasar dunia.<br /><br />Berdasarkan harga acuan yang dirilis Fertecon (fertilizer economic market analysis and consultancy) harga urea prill pada pekan kedua November anjlok hingga 70% dari US$800 per ton pada akhir September menjadi US$240,5 - US$242,5 per ton. Sementara itu, harga urea granule tertekan 67,4% dari US$835 per ton menjadi US$272,25-US$310 per ton.<br /><br />"Harga urea [nonsubsidi] tidak turun atau masih tetap dipatok sesuai dengan mekanisme pasar domestik. Penurunan harga sulit dilakukan mengingat urea tersebut diproduksi menggunakan bahan baku [gas] yang saat itu harganya masih tinggi," kata Hidayat ketika dikonfirmasi, kemarin.<br /><br />Selama ini, lanjutnya, PKT terikat kontrak pasokan gas dengan tingkat harga sesuai dengan formula yang disepakati dan dievalusi setiap 3 bulan. <br /><br /><strong>Kontrak gas</strong><br /><br />Berdasarkan data terakhir, harga? kontrak gas dengan sejumlah produsen a.l. PT Total? Indonesie EP masih berkisar US$10-US$10,5 per juta Btu (British thermal unit) untuk periode Oktober-Desember 2008.<br /><br />Padahal, kemarin, berdasarkan situs Bloomberg, harga gas alam di sejumlah pusat transaksi komoditas Amerika Serikat terkoreksi antara US$6,7-US$7,58 per juta Btu.<br /><br />"Komposisi bahan baku dalam pembentukan harga pokok masih cukup besar. Jika harga gas turun, kami tentu akan menyesuaikan, tetapi penurunan harga akan sulit dilakukan pada tahun ini. Mudah-mudahan untuk periode kontrak Januari-Maret 2009, harga gas bisa turun signifikan sehingga harga jual juga dapat diturunkan," ujarnya.<br /><br />Penurunan harga gas pada kuartal IV/2008, ungkap Hidayat, ikut menyebabkan PKT terancam rugi hingga US$3,6 juta mengingat BUMN itu masih berkewajiban memasok amonia? ke PT Petrokimia Gresik sekitar 20.000 hingga 30.000 ton hingga akhir tahun. <br /><br />"Kami berpotensi merugi sekitar US$120 per ton karena kontrak harga gasnya masih menggunakan skala harga lama untuk periode Oktober-Desember, meskipun pada kuartal IV ini harga gas sudah menurun. Karena itu, kami akan mengurangi penjualan amonia dan dibatasi hanya memasok ke Petrogres untuk meminimalisasi kerugian yang lebih besar," paparnya.<br /><br />Dirjen Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian Benny Wachjudi mengakui konsumen di sektor perkebunan dan industri?? protes karena harga urea nonsubsidi di pasar domestik lebih tinggi dibandingkan dengan harga internasional.<br /><br />Apabila keadaan tersebut berlanjut, ujarnya, konsumen perkebunan dan industri akan memilih untuk mengimpor urea. <br /><br />"Pemerintah tidak bisa melarang rencana impor itu karena memang tidak diatur. Yang diatur pemerintah hanya terkait dengan pemenuhan SNI. Impor urea nonsubsidi selama saat ini dilakukan oleh importir umum." <br /><br />Pasokan urea nonsubsidi untuk sektor perkebunan dan industri setiap tahun rata-rata mencapai 1,5 juta ton atau sekitar 25% dari total produksi nasional. <br /><br />Sementara itu, 75% sisanya sebanyak 4,5 juta ton dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan urea bersubsidi bagi petani. (yusuf.waluyo@bisnis. co.id)<br /><br />Oleh Yusuf Waluyo Jati<br />Bisnis Indonesia <br /><br />source: bisnis.comraprapmedanhttp://www.blogger.com/profile/00409093041485260974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4682675781425624361.post-89992702428680044552008-11-13T16:51:00.000-08:002008-11-13T16:53:49.895-08:00CPO terpukul pelemahan minyakKamis, 13/11/2008<br /><br />KUALA LUMPUR:? Harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) melemah pada hari kedua perdagangan dan mendekati level terendah setidaknya dalam satu pekan terakhir menyusul penurunan prospek permintaan biofuel.<br /><br />Kontrak CPO untuk pengiriman Januari turun sekitar 5,1% menjadi RM1.505 setara dengan US$419 per ton di Malaysia Derivatives Exchange.? <br /><br />JPMorgan memangkas perkiraan harga CPO tahun depan menjadi hanya RM1.580 per ton lebih rendah dari estimasi awal yang masih RM2.200 per ton. (Bloomberg/luz) <br /><br />source: bisnis.comraprapmedanhttp://www.blogger.com/profile/00409093041485260974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4682675781425624361.post-66985204903859975692008-11-12T16:55:00.000-08:002008-11-12T16:57:08.276-08:00Harga CPO Terus AnjlokRabu, 12/11/2008 12:06 WIB<br />Alih Istik Wahyuni - detikFinance<br /><br />Kualalumpur - Harga sawit mentah (CPO) terus menunjukkan tren penurunan. Dalam perdagangan hari ini saja, harga CPO sudah anjlok sebesar 5,1% seiring besarnya tekanan jual.<br /><br />Berdasarkan data CNBC, Rabu (12/11/2008) harga CPO di perdagangan Bursa Malaysia Derivatif hari ini turun 5,1% menjadi RM 1.510 per ton.<br /><br />Sementara seperti dikutip Palmoil.com, pada perdagangan Selasa kemarin (11/11/2008) harga CPO untuk pengiriman hingga Maret 2009 juga mengalami penurunan. Seperti untuk pengiriman November 2008, harga CPO turun dari RM 1.625 menjadi RM 1.580.<br /><br />Sementara untuk pengiriman Desember 2008 harga CPO turun dari RM 1.624 per ton menjadi RM 1.584 per ton. Untuk Januari 2009 harga CPO ditutup pada RM 1.586 per ton atau turun dari harga sebelumnya yang sebesar RM 1.626 per ton.<br /><br />Sedangkan untuk pengiriman Februari 2009 harga CPO turun dari RM 1.625 per ton menjadi RM 1.589 per ton dan untuk Maret 2009 harga CPO turun dari RM 1.630 per ton menjadi RM 1.589 per ton.<br /><br />"Aksi jual ini dipengaruhi melemahnya harga kedelai dan tingginya stok kelapa sawit di dalam negeri (Malaysia)," kata seorang trader di Kuala Lumpur seperti dikutip Dow Jones di palmoil.com, Rabu (12/10/2008).<br /><br />source: detik.comraprapmedanhttp://www.blogger.com/profile/00409093041485260974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4682675781425624361.post-87509079199835715432008-11-12T16:42:00.000-08:002008-11-12T16:47:40.890-08:00Harga tandan sawit di Riau naikRabu, 12/11/2008<br /><br />PEKANBARU: Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit dan minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) di Provinsi Riau mengalami kenaikan.<br /><br />Tim Penetapan Harga Kelapa Sawit di Dinas Perkebunan Provinsi Riau kemarin menyatakan harga TBS pada awal pekan kedua bulan November naik menjadi Rp865,93 per kilogram untuk usia pohon 10 tahun dan Rp619,27 per kg untuk usia pohon 3 tahun. <br /><br />Sebelumnya harga TBS usia 10 tahun mencapai Rp766,88 per kg, dan kondisi ini merupakan kenaikan pertama sejak harga sawit anjlok. Untuk harga TBS petani nonmitra perusahaan (swadaya), yang sebelumnya sempat mencapai Rp250-Rp300 per kg, kini juga mulai menguat ke harga Rp500 per Kg. <br /><br />Harga CPO terus naik dan kini Rp4.420,2 per kg. Kenaikan tersebut terus memperbaiki harga CPO lokal yang sejak awal bulan ini sudah mulai menguat dengan harga Rp3.848,02per kg. (Antara) <br /><br />source: bisnis.comraprapmedanhttp://www.blogger.com/profile/00409093041485260974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4682675781425624361.post-80706246397838095652008-11-12T16:41:00.000-08:002008-11-12T16:42:46.457-08:00Police stops Greenpeace action in Dumai waters11/12/08 09:36<br /><br />Pekanbaru (ANTARA News) - Police on Tuesday stopped Greenpeace which had been intercepting crude palm oil (CPO) shipments in the Dumai port waters in Sumatra in the last two days.<br /><br />Along with the port administration personnel the police aboard rubber boats stopped the Greenpeace action at around 2 pm. They had also ordered a Greenpeace activist who, in protest of the CPO shipments, tied himself with the chain of an anchor of the Gran Couva tanker that carried the CPO belonging to Wilmar Group bound for Rotterdam, the Netherlands, to get off the ship.<br /><br />Two Greenpeace activists, namely Bustar Maitar from Forest Campaigner Greenpeace Southeast Asia and Adon, the activist who tied himself on the anchor chain, had been questioned by the police, but not detained. <br /><br />The police had also ordered an MV Esperanza Greenpeace vessel to leave Dumai port as the berthing period of the Dutch vessel in Dumai port had expired. <br /><br />The Greenpeace activists also marked the side of the tanker as well as a tug boat full of logs with words reading "Forest Crime" at the Dumai port on Monday.<br /><br />Bustar Maitar said Greenpeace believed that expansion of oil palm plantations to natural forests in Indonesia had been the factor behind the increasing deforestation and peat moss destruction.<br /><br />"Ironically companies like Wilmar and Sinar Mas are members of RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil Supply). So long as no public statement has been made by the RSPO that supports a moratorium on the deforestation eco-friendly oilpalm plantations are a myth," he said.<br /><br />He said the Esperanza would stay in Dumai waters to monitor forest conditions in Riau. (*)<br /><br />COPYRIGHT © 2008<br /><br />source: antara.co.idraprapmedanhttp://www.blogger.com/profile/00409093041485260974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4682675781425624361.post-80892777616469156012008-11-12T16:39:00.000-08:002008-11-12T16:41:09.672-08:00Greenpeace`s action in Dumai port continues11/12/08 07:34<br /><br />Pekanbaru, Riau, (ANTARA News) - Greenpeace environmental activists continued their interception of crude palm oil (CPO) shipments in Dumai port waters here Tuesday.<br /><br />The activists tied themselves to the anchor's chain of Gran Couva, a CPO tanker. The tanker belonged to Wilmar Group, was leaving for Rotterdam in the Netherlands.<br /><br />Earlier, the activists also painted "Forest Crime" on the bodies of three CPO tankers and a barge carrying logs berthed in the Dumai port Monday (Nov 10).<br /><br />"We will stop until we are sent away," said Nabiha Shahab, a South Asian Greenpeace campaigner.<br /><br />Greenpeace had been intercepting CPO shipments in Dumai port waters to protest rampant deforestation in Indonesia.(*)<br /><br />COPYRIGHT © 2008<br /><br />source: antara.co.idraprapmedanhttp://www.blogger.com/profile/00409093041485260974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4682675781425624361.post-4762141264931740662008-11-11T02:21:00.000-08:002008-11-11T02:22:19.699-08:00Pengusaha Sawit Remajakan 1 Juta Hektar LahanSelasa, 11/11/2008 08:35 WIB<br />Suhendra - detikFinance<br /><br />Jakarta - Pengusaha sawit akan melakukan peremajaan lahan sawit seluas 1 juta hektar dari total luasan lahan sawit yang mencapai 6 juta hektar. <br /><br />Cara ini diharapkan mampu menekan produksi sawit sehingga mampu menekan kejatuhan harga sawit dan produk turunannya termasuk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO)<br /><br />"Dalam waktu tiga tahun ke depan kami akan melakukan peremajaan seluas 1 juta hektar, dalam rangka percepatan peremajaan usia-usia pohon sawit yang sudah di atas 25 tahun," kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Akmaluddin Hasibuan saat dihubungi detikFinance Senin malam (10/11/2008).<br /><br />Akmaluddin mengatakan dengan periode peremajaan selama 3 tahun ke depan maka setidaknya luasan lahan yang diremajakan per tahunnya mencapai 300.000 hektar atau senilai 900.000 ton CPO setara dengan 5,4 juta ton sawit tandan buah segar (TBS).<br /><br />Sehingga ditaksir hingga tahun 2011 produksi CPO akan mulai susut hingga 3 juta ton CPO atau 18 juta ton TBS.<br /> <br />"Dari 1 juta hektar rata-rata satu hektar menghasilkan 18 ton sawit per tahun, untuk CPO rata-rata per hektar 3 ton per tahun. Kami akan lakukan bertahap, ini rutin dilakukan umumnya pohon sawit sudah tua-tua," jelasnya.<br /><br />Peremajaan ini akan difokuskan pada wilayah-wilayah penghasil sawit utama seperti di Sumatra dan Kalimantan. <br /><br />Selain itu, pihaknya juga akan fokus memikirkan pasokan bahan baku sawit untuk bahan bakar nabati (BBN) yang sedang dikembangkan di dalam negeri. "Ini untuk me-reduce pasar luar negeri," katanya.(hen/ir) <br /><br />source: detik.comraprapmedanhttp://www.blogger.com/profile/00409093041485260974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4682675781425624361.post-31847624397925646402008-11-11T02:17:00.000-08:002008-11-11T02:20:36.584-08:00Importir CPO India Ingkari Kontrak Demi Menekan KerugianSelasa, 11/11/2008 07:32 WIB<br />Suhendra - detikFinance<br /><br />Jakarta - Sebanyak 30 importir CPO mengingkari kontrak pembelian produk sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) asal Indonesia. Mereka mengingkari kontrak karena berupaya menekan kerugian akibat harga CPO yang anjlok sejak pertengahan tahun ini.<br /><br />"Kami sudah komplain, pemerintah india dan asosiasi mereka. Alasan mereka mengalami drop akibat harga CPO yang jatuh karena mereka default," kata Ketua Umum Gapki Akmaluddin Hasibuan saat dihubungi detikFinance, Senin malam (10/11/2008). <br /><br />Para pengusaha sawit yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) telah memasukan 30 importir tersebut sebagai daftar hitam (blacklist) Gapki.<br /><br />Menurut Gapki para importir tadi sudah mulai melakukan tindakan mengingkari kontrak sejak bulan Agustus 2008 ketika harga CPO mulai turun.<br /><br />Ia mencontohkan salah satu alasan para importir India tersebut mangkir diantaranya karena pada saat kontrak CPO pertengahan tahun 2008 para importir dikenakan harga US$ 700 per ton namun katanya sekarang ini harga CPO sudah dilevel US$ 500.<br /><br />"Kontrak ke India memang cukup banyak, tapi kami nggak bisa beri tahu angka kerugiannya, karena itu masalah perusahaan masing-masing anggota kami," ujar Akmal.<br /><br />Meski gagal kontrak, ia tetap optimistis produk CPO Indonesia bisa dipasarkan untuk diekspor lagi ke pasar lain. Hal ini tentunya terkait pasokan CPO yang cukup berlimpah didalam negeri.<br /><br />"Kita cari pembelian lainnya, masih banyak demand kok," kilahnya.(hen/qom) <br /><br />source: detik.comraprapmedanhttp://www.blogger.com/profile/00409093041485260974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4682675781425624361.post-14454572026946227452008-11-11T02:12:00.001-08:002008-11-11T02:17:08.413-08:00HADANG KAPAL CPO, Polisi Dan Adpel Dumai Hentikan Aksi Greenpeace11 Nov 2008 14:38 wib<br />ad<br /><br /><br />PEKANBARU (RiauInfo) - Polisi dan petugas Administrasi Pelabuhan (AdPel) di Dumai hari ini memaksa turun seorang aktivis Greenpeace dari rantai jangkar sebuah kapal tanker bertujuan Rotterdam, yang memuat CPO yang dihasilkan dari praktik yang merusak hutan di Indonesia. <br /><br />Aktivis Greenpeace sejak kemarin telah mengunci dirinya pada rantai jangkar Gran Couva untuk mencegah kapal itu meninggalkan Indonesia menuju Eropa. Minyak sawit yang dikapalkan pada Gran Couva adalah milik Grup Wilmar. <br /><br />“Greenpeace percaya bahwa memperbaiki produktivitas perkebunan kelapa sawit yang ada merupakan solusi merespon meningkatnya permintaan global, tanpa menghancurkan hutan yang tersisa,” kata Bustar Maitar, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, “Perluasan perkebunan kelapa sawit ke dalam hutan alam di Indonesia merupakan pendorong penting deforestasi dan pengrusakan lahan gambut.” <br /><br />“Ironisnya, perusahaan seperti Wilmar dan Sinar Mas adalah anggota dari organisasi industri RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). (1) Sepanjang belum ada pernyataan publik dari RSPO mendukung moratorium deforestasi, minyak sawit yang “ramah lingkungan” hanya mitos belaka,” kata Bustar.<br /><br />Dalam pelayaran “Hutan untuk Iklim” kapal Esperanza di Indonesia, Greenpeace telah mengumpulkan bukti-bukti baru konversi hutan besar-besaran di Propinsi Papua untuk perkebunan kelapa sawit pada konsesi Sinar Mas di dekat Jayapura. Greenpeace juga mendokumentasikan terus berlangsungnya pengrusakan hutan karena pembalakan di Papua dan menemukan pembukaan hutan baru pada hutan gambut di Riau. <br /><br />“Greenpeace menyerukan kepada RSPO yang akan bertemu minggu ini untuk mendukung moratorium dan mendorong Pemerintah untuk mengambil tindakan segera. Standar RSPO harus diperketat untuk memastikan para anggotanya menghentikan deforestasi dan membuka lahan gambut pada semua operasinya,” tambah Maitar. <br /><br />Kapal Esperanza, memulai bagian Indonesia dari pelayaran “Hutan untuk Iklim” pada tanggal 6 Oktober di Jayapura, untuk menyoroti kerusakan yang berlangsung terus menerus di hutan terakhir yang tersisa di Asia Tenggara.<br /><br />Greenpeace menyerukan pemberlakuan sesegera mungkin penghentian sementara (moratorium) terhadap semua bentuk konversi hutan, termasuk untuk perluasan perkebunan kelapa sawit, industri penebangan dan sebab-sebab deforestasi lain. <br /><br />Greenpeace adalah organisasi kampanye global yang independen yang bertindak untuk mengubah sikap dan perilaku masyarakat guna melindungi dan melestarikan lingkungan hidup serta mengusung perdamaian.(ad) <br /><br />source: riauinfo.comraprapmedanhttp://www.blogger.com/profile/00409093041485260974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4682675781425624361.post-73107498546711817722008-11-11T02:06:00.000-08:002008-11-11T02:12:34.316-08:00SEBELUM MENINGGALKAN DUMAI, Greenpeace Cegah Pengapalan Minyak Kelapa Sawit11 Nov 2008 07:47 wib<br />ad<br /><br /><br />PEKANBARU (RiauInfo) – Aktivis Greenpeace pagi ini melakukan aksi untuk menyoroti sejumlah kapal tanker ekspor yang memuat CPO sebelum meninggalkan Dumai, yang merupakan pelabuhan utama bagi ekspor minyak kelapa sawit dari Indonesia, dan mencegah salah satunya sebelum berangkat menuju Eropa. <br /><br />Para aktivis juga mengecat sebuah tongkang yang penuh dengan kayu bulat di pelabuhan. Mereka menuliskan kata-kata "Forest Crime" atau "Kejahatan Hutan" pada lambung tiga kapal bermuatan minyak kelapa sawit dan tongkang kayu tersebut sebagai protes terus berlangsungnya pengrusakan hutan Indonesia. <br /><br />Salah satu aktivis Greenpeace mengunci dirinya pada rantai jangkar dari kapal Gran Couva untuk mencegahnya meninggalkan Indonesia. Muatan minyak kelapa sawit di atas Gran Couva<br />adalah milik Grup Wilmar.<br /><br />"Hari ini Greenpeace melakukan aksi untuk menyoroti buruknya dampak yang ditimbulkan oleh industri kelapa sawit dan industri penebangan terhadap ekosistem lahan gambut dan hutan Indonesia serta terhadap iklim global," kata Bustar Maitar, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara. <br /><br />Memenuhi permintaan minyak kelapa sawit dan komoditi lain bisa tetap berlangsung tanpa merusak hutan dan perusahaan seperti Wilmar harus mendukung seruan industri dan pemerintah daerah untuk penghentian sementara penebangan.<br /><br />Dalam pelayaran "Hutan untuk Iklim" kapal Esperanza di Indonesia, Greenpeace telah mengumpulkan bukti-bukti baru konversi hutan besar-besaran di Propinsi Papua untuk perkebunan kelapa sawit di konsesi Sinar Mas dekat Jayapura. Greenpeace juga menemukan pembukaan hutan baru pada hutan gambut di Riau.<br /><br />Konversi hutan dan lahan gambut yang demikian pesat untuk perkebunan kelapa sawit dan bahan bubur kertas merupakan pendorong deforestasi terbesar di Indonesia. Karbon yang dilepaskan oleh kegiatan ini membuat Indonesia menjadi pengemisi gas rumahkaca ketiga terbesar di dunia. Sebagian besar ekspor minyak kelapa sawit dari Indonesia bertujuan ke Cina, Eropa dan India.<br /><br />"Hutan Indonesia lebih bernilai bila dibiarkan pada tempatnya daripada diekspor sebagai kayu bulat dan minyak kelapa sawit," kata Bustar. "Sangat penting untuk melindungi hutan Indonesia dari perluasan perkebunan kelapa sawit dan industri kertas untuk memerangi dampak perubahan iklim, mengentikan hilangnya keanekaragaman hayati dan melindungi kehidupan masyarakat yang bergantung pada hutan. Ini berarti harus segera diberlakukan jeda tebang dan dimulainya pendanaan internasional melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk<br />melindungi hutan."<br /><br />Kapal Esperanza, memulai bagian Indonesia dari pelayaran "Hutan untuk Iklim" pada tanggal 6 Oktober di Jayapura, untuk menyoroti kerusakan yang berlangsung terus menerus di hutan terakhir yang tersisa di Asia Tenggara.<br /><br />Greenpeace menyerukan pemberlakuan sesegera mungkin penghentian sementara (moratorium) terhadap semua bentuk konversi hutan, termasuk untuk perluasan perkebunan kelapa sawit, industri penebangan dan sebab-sebab deforestasi lain.<br /><br />Greenpeace adalah organisasi kampanye global yang independen yang bertindak untuk mengubah sikap dan perilaku masyarakat guna melindungi dan melestarikan lingkungan hidup serta mengusung perdamaian.(ad) <br /><br />source: riauinfo.comraprapmedanhttp://www.blogger.com/profile/00409093041485260974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4682675781425624361.post-63209356206425715412008-11-10T02:32:00.000-08:002008-11-10T02:33:14.328-08:00Oil Palm Farmers Can No Longer Afford FertilizerMonday, 10 November, 2008 | 14:46 WIB <br /><br />TEMPO Interactive, Jambi: Oil palm farmers in Jambi cannot afford to buy fertilizer anymore due to the drop in oil palm prices and the rise in fertilizer prices.<br /><br />“We are having a hard time,” Amirullah, 46, a farmer from Mundungdarat village, Muarosebo sub-district, Muarojambi district, Jambi, told Tempo yesterday (6/11).<br /><br />“Sadly, many owners are reluctant to manage their oil palm plantations,” said Amirullah. <br /><br />The selling price of oil palm fresh fruit bunches is only Rp300-400 per kilogram while it was twice that before the global economic crisis.<br /><br />The price for 25 kilograms of fertilizer was Rp75,000 but it is now Rp250,000. <br /><br />“So, 50 kilograms of Mahkota fertilizer can cost as much as Rp600,000,” he said.<br /><br />Amirullah explained that last year farmers can make Rp18 million by producing ten tons of fresh fruit bunches from five hectares of land within an average of 15 days. <br /><br />“That was at a selling price of Rp1,800 per kilogram,” he said.<br /><br />Muklis, a farmer from Tebo district has been forced to neglect his land and go to the city to find work. <br /><br />“What is important is that I can have enough money to support my family,”<br /><br />Last month, Jambi Governor Zulkifli Nurdin sent a circular letter to the owners of oil palm refineries suggesting that they buy fresh fruit bunches from farmers at a price of Rp890 per kilogram. <br /><br />The state-owned plantation company PT Perkebunan Negara (PTPN) VI for Jambi and West Sumatra has agreed to buy from farmers. <br /><br />“Our joint marketing office is trying to meet government's expectations,” said PTPN Finance Director A. Karimuddin.<br /><br />The price is between Rp670-700 per kilogram. <br /><br />SYAIPUL BAKHORI <br /><br />source: tempointeractive.comraprapmedanhttp://www.blogger.com/profile/00409093041485260974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4682675781425624361.post-58246019782856192722008-11-10T02:25:00.000-08:002008-11-10T02:27:03.896-08:00Gapki Blacklist 30 Importir IndiaSenin, 10-11-2008 <br />MedanBisnis – Jakarta <br />Sebanyak 30 importir minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) asal India yang disusun dalam daftar hitam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) sudah mengingkari kontrak sejak Agustus 2008.<br /><br />Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Gapki Derom Bangun yang dihubungi, Minggu (9/11). “Mereka berhenti mengirimkan kapalnya sejak Agustus lalu, tapi tanggal tepatnya saya tidak tahu,” katanya.<br />Para importir itu menggunakan alasan biaya kargo yang mesti mereka keluarkan semakin meningkat. Ini mengakibatkan terjadi masalah pembayaran yang berpotensi gagal bayar.<br />Menurut Derom, sejumlah importir asal India tersebut sebenarnya sudah melakukan kontrak untuk melakukan pengiriman dan pembayaran di tempat dengan beberapa produsen CPO lokal. Namun, ketika tanggal pengiriman tiba, tidak ada satu kapal pun yang datang dari 30 importir tersebut.<br />Gapki pun memperkirakan kerugian yang cukup besar dengan ingkarnya para importir India nakal tersebut. Namun sayang, ia enggan mengatakan detil kerugiannya.”Maka dari itu, kami langsung menyusun daftar perusahaan yang tidak menepati kontrak dan melayangkan surat kepada asosiasi CPO India seminggu yang lalu,” imbuhnya.<br />Dia mengatakan, nilai kontrak yang tidak ditepati oleh importir India itu beragam dengan total nilai kontrak yang cukup besar. Hampir semua pesanan di kontrak tersebut di atas 100.000 ton. “Yang baru diketahui 30 itu saja, sisa kontraknya ke negara lain saya tidak bisa bilang tidak ada. Harus dicek lagi,” ujarnya.<br />Selama ini, Indonesia menjadi eksportir CPO ke lebih dari 100 negara di seluruh dunia. Negara-negara itu antara lain India, China, Belanda, Pakistan dan lain sebagainya.<br />Tiga puluh perusahaan yang termasuk dalam daftar hitam Gapki antara lain: Nafed, JMD Oils and Fats, Bhatinda Oils and Fats, Kundan Oils and Fats, Raj Agro Oils, Gujarat Spices, Puneet and Company, Sarda Agro, Sudhir Agro, NCS Hyderabad, Mahesh Agro, Golden Oils Kolkata, Coastal Energy, Pradyhuman Overseas, Sara International, Dudhadhari Exports, DDI (Tower International), Budge Budge Refineries, Indumati Refineries, Shree Ganesh Oils, Velani Traders, Sheetal Industries dan sebagainya.<br />Optimis ekspor pulih<br />Begitupun Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) optimis hingga akhir tahun ini kegiatan ekspor CPO bisa lebih baik meski harga komoditas ini sedang turun.<br />Derom Bangun, selain menurunnya harga CPO, lesunya ekspor juga terjadi akibat sulitnya pencairan dana dari perbankan di berbagai dunia. “Ketika krisis melanda, banyak bank yang kurang percaya terhadap pengusaha sehingga enggan mengucurkan dananya kepada sektor riil,” katanya.<br />Walau demikian, dia optimis akhir tahun ini kegiatan ekspor CPO dalam negeri bisa lebih baik daripada kondisi sekarang. “Sebenarnya demand di negara pembeli itu masih tinggi, Kami juga sudah mulai menjajaki perusahaan-perusahaan baru yang bisa diajak kerjasama,” tukasnya.<br />Terkait kebijakan PE CPO nol persen, menurutnya, dampaknya terhadap kinerja ekspor tidak akan terlalu besar namun tetap membantu. “Kami sambut positif pemerintah menjadikan PE CPO nol persen. Dengan begitu ekspor bisa berkembang walau perhitungan saat ini kenaikannya masih sedikit,” ujarnya.<br />Gapki mentargetkan produksi CPO dalam negeri tahun 2008 akan sebanyak 18,8 juta metrik ton, sebanyak 14 juta metrik ton akan dijual melalui ekspor. Sedangkan sisanya, 4,8 juta metrik ton untuk konsumsi pasar dalam negeri. “Akhir tahun bisa tercapai,” tandasnya.<br />Selama ini, Indonesia menjadi eksportir CPO ke lebih dari 100 negara di seluruh dunia. Negara-negara tersebut diantaranya Belanda, India, Cina, Pakistan dan lain sebagainya. (dtf)<br /> <br />source: medanbisnisonline.comraprapmedanhttp://www.blogger.com/profile/00409093041485260974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4682675781425624361.post-73587574342477058772008-11-10T02:20:00.000-08:002008-11-10T02:21:54.053-08:00Pemerintah Tak Campuri Kasus Blacklist 30 Importir CPO IndiaMinggu, 09/11/2008 15:01 WIB<br />Angga Aliya ZRF - detikFinance<br /><br />Jakarta - Departemen Perdagangan menilai kasus ingkar kontrak sebanyak 30 importir CPO asal India adalah masalah business to business (b ton b) saja. Pemerintah tidak akan bisa membantu lebih jauh mengenai kasus ini. <br /><br />Depdag pun belum bisa memastikan berapa jumlah importir India yang mengingkari kontrak tersebut sehingga jumlah kerugian belum bisa dihitung.<br /><br />Hal ini disampaikan oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu di gedung Departemen Perdagangan, Jl Ridwan Rais, Jakarta, Senin (10/11/2008).<br /><br />"Itu kan business to business jadi kita nggak bisa berbuat banyak kecuali, kalau kita bagaimana meng-create domestik demand misalnya dengan BBN itu benar-benar jalan, permintaan misalnya," kilahnya.<br /><br />Hingga kini ia masih mencari informasi terkait kasus tersebut, mengenai berapa besar jumlahnya dan dampak terhadap ekspor Crude Palm Oil (CPO) Indonesia ke India.<br /><br />"Saya belum sempat tahu berapa banyak, apakah 30 itu berapa besar dari ekspor itu sedang kita pelajari," ucapnya.<br /><br />Namun menurut Mari, kalau yang terjadi adalah kasus gagal bayar (default) maka pemerintah memungkinkan bisa ikut campur tangan karena dalam kasus default menyangkut proses hukum yang bisa berjalan.<br /><br />"Jadi nggak bisa (g to g) ini kan business to business (b to b) kecuali dia default misalnya, biasanya kan ada penaltinya, kalau dibayar penaltinya pastinya ada proses hukum dimasing-masing negara," katanya.<br /><br />(hen/qom) <br /><br />source: detik.comraprapmedanhttp://www.blogger.com/profile/00409093041485260974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4682675781425624361.post-74967589751745071272008-11-10T02:17:00.000-08:002008-11-10T02:19:11.343-08:00Importir CPO India Ingkari Kontrak Sejak AgustusMinggu, 09/11/2008 14:10 WIB<br />Angga Aliya ZRF - detikFinance<br /><br />Jakarta - Sebanyak 30 importir minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) asal India yang disusun dalam daftar hitam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) sudah mengingkari kontrak sejak Agustus 2008.<br /><br />Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Gapki Derom Bangun yang dihubungi detikFinance, Minggu (9/11/2008). "Mereka berhenti mengirimkan kapalnya sejak Agustus lalu, tapi tanggal tepatnya saya tidak tahu," katanya.<br /><br />Menurutnya, sejumlah importir asal India tersebut sudah melakukan kontrak untuk melakukan pengiriman dan pembayaran di tempat dengan beberapa produsen CPO lokal. Namun, ketika tanggal pengiriman tiba, tidak ada satu kapal pun yang datang dari 30 importir tersebut. <br /><br />Gapki pun memperkirakan kerugian yang cukup besar dengan ingkarnya para importir India nakal tersebut. Namun sayang, ia enggan mengatakan detail kerugiannya.<br /><br />"Maka dari itu, kami langsung menyusun daftar perusahaan yang tidak menepati kontrak dan melayangkan surat kepada asosiasi CPO India seminggu yang lalu," imbuhnya.<br /><br />Ia mengatakan, nilai kontrak yang tidak ditepati oleh importir India itu beragam dengan total nilai kontrak yang cukup besar. Hampir semua pesanan di kontrak tersebut di atas 100.000 ton.<br /><br />"Yang baru diketahui 30 itu saja, sisa kontraknya ke negara lain saya tidak bisa bilang tidak ada. Harus dicek lagi," ujarnya.<br /><br />Selama ini, Indonesia menjadi eksportir CPO ke lebih dari 100 negara di seluruh dunia. Negara_negara itu antara lain India, Cina, Belanda, Pakistan dan lain sebagainya.<br /><br />Tiga puluh perusahaan yang termasuk dalam daftar hitam Gapki antara lain: Nafed, JMD Oils and Fats, Bhatinda Oils and Fats, Kundan Oils and Fats, Raj Agro Oils, Gujarat Spices, Puneet and Company, Sarda Agro, Sudhir Agro, NCS Hyderabad, Mahesh Agro, Golden Oils Kolkata, Coastal Energy, Pradyhuman Overseas, Sara International, Dudhadhari Exports, DDI (Tower International), Budge Budge Refineries, Indumati Refineries, Shree Ganesh Oils, Velani Traders, Sheetal Industries dan sebagainya.(ang/ddn) <br /><br />source: detik.comraprapmedanhttp://www.blogger.com/profile/00409093041485260974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4682675781425624361.post-47791954771698983332008-11-10T02:06:00.000-08:002008-11-10T02:10:07.987-08:00Govt supports 3 industries: Shoes, sugar, and textilesNovember 08, 2008<br /><br />Yuli Tri Suwarni, The Jakarta Post, Bandung<br /><br />The government is expanding its industry revitalization program next year, with footwear manufacturers the latest to join a list of industrial sector subsidy recipients -- in addition to textiles and sugar -- to help renew machinery and boost output.<br /><br />The Industry Ministry will facilitate the disbursement of Rp 55 billion in interest subsidies for footwear manufacturers, as part of a total of Rp 360 billion set aside in subsidies for the three industries, director general Anshari Bukhari said Saturday in Bandung, West Java. <br /><br />"The funds are allocated on the government's 2009 state budget and have been approved by the House of Representatives," Anshari told a discussion forum. <br /><br />This is the expansion of a program started two years ago designed to help targeted strategic industries to bolster production capacity. <br /><br />Under this program, which originally only covered the textile industry, the government would subsidize part of the interest rate which banks charged on loans so that manufacturers could buy new machinery. It disbursed Rp 175 billion (US$18.77 million) to 78 textile and garment manufacturers in 2007 and expects to disburse another Rp 210 billion this year. <br /><br />For next year, textile and garments makers will be entitled to another Rp 255 billion in subsidies, while sugar factories will be entitled to Rp 50 billion. <br /><br />"We expect that this expanded program will not only stimulate investment in the three sectors, but also help improve competitiveness," Anshari said. <br /><br />Businesses have welcomed this government program, saying it will definitely help them increase production capacity and benefit their industry as a whole. <br /><br />The Association of Indonesia Textile Producers (API) has said that with the program, the industry is optimistic that it can cope with any decline in traditional export markets despite the current global economic downturn. <br /><br />It expects total exports to still grow by at least 7 percent next year, mostly resulting from export market diversification. Last year the value of textile exports reached $10.06 billion. <br /><br />The Indonesia Footwear Producer Association (Aprisindo) meanwhile said that even this year, the industry was doing relatively well and remained on course to achieving a 10 percent export growth target by end year, probably reaching an export volume of $1.76 billion. <br /><br />Meanwhile, ministry director Budi Irmawan said up to 380 footwear makers have so far applied to make use of the subsidy scheme and this volume of demand would likely continue. <br /><br />He added that most of the machinery now used by footwear manufacturers dates back to the 1980s. <br /><br />Anshari added that the government would in the near future further expand its revitalization program. <br /><br />"We're considering providing subsidies for targeted industrial cluster areas in the country. This would not be via an industry-based subsidy, but via industrial clusters. But, we're still working out the details," he said. <br /><br />source: thejakartapost.comraprapmedanhttp://www.blogger.com/profile/00409093041485260974noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4682675781425624361.post-56213183674939395312008-11-07T17:14:00.000-08:002008-11-07T17:16:17.095-08:00Surbakti, Petani Sawit di Galang, “Karena CPO, Tiga Anakku Sarjana”Sabtu, 08-11-2008 <br />*bersihar lubis<br />MedanBisnis – Medan<br />Wajah Pak Surbakti dan istrinya tidak lagi mendung. Ibarat langit dengan awan hitam yang berarak, kini perlahan sirna dan makin cerah. Harga tandan buah segar (TBS) sawit kini mencapai Rp 700 per kg. Kenangan pahit saat harganya Rp 150 per kg sudah berlalu.<br /><br />“Setelah pungutan ekspor CPO turun dari 7,5% jadi 2,5% dan lalu menjadi nol persen, harga TBS mulai membaik,” kata petani sawit dari Galang, Deliserdang, Sumatera Utara itu kepada MedanBisnis.<br />Surbakti mendengar kabar pada akhir tahun 2008 ini harga TBS akan menaik lagi, sehingga pasangan suami istri ini semakin giat memupuk kebun mereka. Mereka sangat bersyukur karena dengan kebun sawit itulah tiga anak mereka, satu lelaki dan dua perempuan bisa menyelesaikan sarjana di perguruan tinggi swasta di Medan. Masih ada satu lagi si bungsu sedang sekolah di SMA. “Jika karena tak CPO, tak mungkin mereka jadi sarjana,” kata istrinya.<br />Surbakti sudah berkebun sawit selama sembilan tahun terakhir ini. Bertumbuh secara perlahan, sekarang sudah seluas 15 hektare, yang berlokasi 20 kilometer dari Galang. Saat harga normal dulu, keluarga beretnik Karo ini memanen TBS sekali dua minggu atau dua kali dalam sebulan. Hasilnya lumayan, apalagi di kala itu harga TBS mencapai Rp 2.000 per kg.<br />Saban lima hektare, mereka bisa mengutip hasil Rp 6 juta sebulan. “Itu hasil bersih, setelah dipotong upah buruh dan pembelian pupuk,” kata Surbakti. Jika dihitung-hitung, pendapatannya sebulan mencapai Rp 18 juta. Itu sebabnya di saat harga TBS lagi jatuh keluarga Surbakti masih bisa hidup dari cadangan dana simpanan mereka selama ini. “Ada tak dimakan, kalau tak ada baru dimakan,” katanya separuh berfilsafat.<br />Begitupun, di kala harga TBS jatuh, Surbakti tetap memetik TBS dari kebun sawitnya. “Jika tak dipanen akan merusak pohonnya,” katanya. Jadi walaupun rugi, mereka tetap memanennya karena mempertimbangkan prospek kebun mereka. “Hidup tak selalu menuai untung,” kata istrinya, tergelak.<br />Sepeda Motor & Listrik<br />Namun tak diingkari Surbakti, akibat turunnya harga TBS sangat memukul rekan-rekannya, khususnya yang mempunyai kebun sekitar 1-3 hektare. Ia mencontohkan banyak petani sawit yang tadinya mengambil kredit sepeda motor terpaksa mengembalikannya ke dealer di Galang atau Lubuk Pakam. Maklum, cicilan sebulan mencapai Rp 500.000, sementara hasil sawit tak memadai. Jika harga TBS tak membaik juga, mungkin jumlah yang sepeda motornya disita dealer bisa bertambah.<br />Dampak turunnya harga TBS selama ini juga berpengaruh kepada PLN di Galang. Sedikitnya ada 1.500 dari 20.000 pelanggan PLN yang menunggak membayar rekening listrik. “Umumnya penunggak itu adalah petani sawit,” kata Surbakti. Ia berharap harga TBS segera membaik agar jangan sampai lampu listrik di rumah rekan-rekannya itu diputuskan oleh PLN. “Sebetulnya, PLN juga rugi karena kehilangan pelanggan,” katanya. <br />Kelebihan Surbakti dibanding umumnya petani sawit, mereka langsung mengangkut panen TBS mereka ke gudang pabrik sawit. “Kami mengangkutnya dengan mobil sendiri,” katanya. Karena pasokan TBS-nya lancar, pihak pabrik pun berkenan memberikan pinjaman, bisa Rp 25 juta atau Rp 50 juta. “Jaminannya, pasokan TBS sekali dua mingu itu,” katanya. Praktis Surbakti tak berhubungan dengan kolektor di lapangan maupun agen para kolektor. “Untuk kedua jasa itu harus membayar Rp 200 hingga Rp 300 per kg,” katanya.<br />Sayangnya, tidak semua petani punya angkutan sendiri, dan terpaksa rela membagi rejeki dengan para kolektor dan agen. Surbakti melihat sebetulnya soal itu bisa diatasi dengan mendirikan koperasi. “Nantinya, koperasilah yang menggantikan peran kolektor itu, sehingga harga yang diterima petani semakin tinggi,” katanya.<br /><br />source: medanbisnisonline.comraprapmedanhttp://www.blogger.com/profile/00409093041485260974noreply@blogger.com0