Friday, November 7, 2008

Surbakti, Petani Sawit di Galang, “Karena CPO, Tiga Anakku Sarjana”

Sabtu, 08-11-2008
*bersihar lubis
MedanBisnis – Medan
Wajah Pak Surbakti dan istrinya tidak lagi mendung. Ibarat langit dengan awan hitam yang berarak, kini perlahan sirna dan makin cerah. Harga tandan buah segar (TBS) sawit kini mencapai Rp 700 per kg. Kenangan pahit saat harganya Rp 150 per kg sudah berlalu.

“Setelah pungutan ekspor CPO turun dari 7,5% jadi 2,5% dan lalu menjadi nol persen, harga TBS mulai membaik,” kata petani sawit dari Galang, Deliserdang, Sumatera Utara itu kepada MedanBisnis.
Surbakti mendengar kabar pada akhir tahun 2008 ini harga TBS akan menaik lagi, sehingga pasangan suami istri ini semakin giat memupuk kebun mereka. Mereka sangat bersyukur karena dengan kebun sawit itulah tiga anak mereka, satu lelaki dan dua perempuan bisa menyelesaikan sarjana di perguruan tinggi swasta di Medan. Masih ada satu lagi si bungsu sedang sekolah di SMA. “Jika karena tak CPO, tak mungkin mereka jadi sarjana,” kata istrinya.
Surbakti sudah berkebun sawit selama sembilan tahun terakhir ini. Bertumbuh secara perlahan, sekarang sudah seluas 15 hektare, yang berlokasi 20 kilometer dari Galang. Saat harga normal dulu, keluarga beretnik Karo ini memanen TBS sekali dua minggu atau dua kali dalam sebulan. Hasilnya lumayan, apalagi di kala itu harga TBS mencapai Rp 2.000 per kg.
Saban lima hektare, mereka bisa mengutip hasil Rp 6 juta sebulan. “Itu hasil bersih, setelah dipotong upah buruh dan pembelian pupuk,” kata Surbakti. Jika dihitung-hitung, pendapatannya sebulan mencapai Rp 18 juta. Itu sebabnya di saat harga TBS lagi jatuh keluarga Surbakti masih bisa hidup dari cadangan dana simpanan mereka selama ini. “Ada tak dimakan, kalau tak ada baru dimakan,” katanya separuh berfilsafat.
Begitupun, di kala harga TBS jatuh, Surbakti tetap memetik TBS dari kebun sawitnya. “Jika tak dipanen akan merusak pohonnya,” katanya. Jadi walaupun rugi, mereka tetap memanennya karena mempertimbangkan prospek kebun mereka. “Hidup tak selalu menuai untung,” kata istrinya, tergelak.
Sepeda Motor & Listrik
Namun tak diingkari Surbakti, akibat turunnya harga TBS sangat memukul rekan-rekannya, khususnya yang mempunyai kebun sekitar 1-3 hektare. Ia mencontohkan banyak petani sawit yang tadinya mengambil kredit sepeda motor terpaksa mengembalikannya ke dealer di Galang atau Lubuk Pakam. Maklum, cicilan sebulan mencapai Rp 500.000, sementara hasil sawit tak memadai. Jika harga TBS tak membaik juga, mungkin jumlah yang sepeda motornya disita dealer bisa bertambah.
Dampak turunnya harga TBS selama ini juga berpengaruh kepada PLN di Galang. Sedikitnya ada 1.500 dari 20.000 pelanggan PLN yang menunggak membayar rekening listrik. “Umumnya penunggak itu adalah petani sawit,” kata Surbakti. Ia berharap harga TBS segera membaik agar jangan sampai lampu listrik di rumah rekan-rekannya itu diputuskan oleh PLN. “Sebetulnya, PLN juga rugi karena kehilangan pelanggan,” katanya.
Kelebihan Surbakti dibanding umumnya petani sawit, mereka langsung mengangkut panen TBS mereka ke gudang pabrik sawit. “Kami mengangkutnya dengan mobil sendiri,” katanya. Karena pasokan TBS-nya lancar, pihak pabrik pun berkenan memberikan pinjaman, bisa Rp 25 juta atau Rp 50 juta. “Jaminannya, pasokan TBS sekali dua mingu itu,” katanya. Praktis Surbakti tak berhubungan dengan kolektor di lapangan maupun agen para kolektor. “Untuk kedua jasa itu harus membayar Rp 200 hingga Rp 300 per kg,” katanya.
Sayangnya, tidak semua petani punya angkutan sendiri, dan terpaksa rela membagi rejeki dengan para kolektor dan agen. Surbakti melihat sebetulnya soal itu bisa diatasi dengan mendirikan koperasi. “Nantinya, koperasilah yang menggantikan peran kolektor itu, sehingga harga yang diterima petani semakin tinggi,” katanya.

source: medanbisnisonline.com

Cari di Google

Google
 
Web kabarsawit.blogspot.com