Tuesday, October 28, 2008

PE CPO Nol, Volume Ekspor Bisa Tembus 1 Juta Ton

Rabu, 29/10/2008 08:44 WIB
Suhendra - detikFinance

Jakarta - Volume ekspor sawit mentah atau crude palm oil (CPO) bakal melonjak setelah pemerintah mengumumkan paket kebijakan stabilitas ekonomi yang salah satunya adalah menurunkan pajak ekspor (PE) CPO menjadi 0% yang efektif berlaku per 1 November 2008. Volume ekspor CPO bulanan selama ini hanya di kisaran 700.000 ton per bulan, setelah harga CPO turun drastis 2 bulan terakakhir. Dengan kebijakan tersebut dipastikan akan mendongkrak volume ekspor hingga 1 juta ton pada bulan November 2008.

PE CPO sebelumnya pada bulan Oktober ditetapkan 7,5%, dan sebelum pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ini, Departemen Perdagangan sempat menetapkan PE bulan November sebesar 2,5%.

"Adanya PE 0% pasti disambut positif oleh petani, ini bukti ada pembelaan pemerintah, terhadap pengusaha dan petani tetapi karena harga sawit sudah parah maka tidak terlalu besar dampaknya tetapi secara psikologis dan politis itu baik terhadap respons keluhan petani dan pelaku usaha," kata Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Derom Bangun saat dihubungi detikFinance, Rabu (29/10/2008).Menurut Derom, penetapan PE 0% akan berdampak positif terhadap penetrasi ekspor CPO Indonesia ke berbagai negara seperti India dan China sehingga diperkirakan bisa meningkat.

"Biasanya mengekspor 1 juta ton per bulan, kalau harga US$ 1.000 maka bisa US$ 1 miliar nilai ekspornya, dengan harga sekarang dan volume hanya 700.000 ton per bulan paling US$ 300 jutaan. Mungkin volume di November bisa meningkat menjadi 1 juta ton," katanya.(hen/ir)

source: detik.com

Biofuel: Peluang atau Angan-angan (3)

Rabu, 29-10-2008

*Bersihar Lubis
SYAHDAN, Indonesia sudah punya master plan pengembangan biofuel, baik tentang lahan, infrastruktur, pabrik, marketing, maupun dana. Biofuel terdiri dari biodiesel dari kelapa sawit dan jarak pagar serta bioetanol dari singkong atau tebu.

Angan-angannya, pada 2010 porsi substitusi biofuel mencapai 10 persen konsumsi BBM. Targetnya, pada 2010 sudah berdiri 11 pabrik biofuel di lahan 6 juta hektare. Dana dari hulu ke hilir, sekitar Rp 200 triliun. Di hulu, dengan asumsi US$ 1 miliar per hektar diprediksi perlu dana Rp 53 triliun. Di hilir, terutama pabrik, perlu Rp 150 triliun.Sebetulnya, oke-oke sajalah, asalkan jangan terulang lagi sikap “tambal sulam.

”Tatkala harga minyak mentah membubung, kita menengok lagi biofuel. Tapi jika berfluktuasi menurun, dilupakan lagi.Patut dicatat bahwa hingga Maret 2008 lalu, ternyata dari 70 calon investor masih banyak yang belum merealisasikannya karena tidak adanya kepastian pasar domestik (Pertamina menurunkannya dari 5% menjadi 1% saja).

Setidaknya, Begitulah yang diungkapkan oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Biofuel Indonsia (Aprobi) Paulus Cakrawan kepada pers. Jangan sampai terjadi pula miss koordinasi antarinstansi, suatu penyakit egosektoral yang belum sembuh. Memang, dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2006, disebutkan selain bupati dan gubernur, 13 menteri, seperti Menteri ESDM, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan terlibat langsung. Menko Perekonomian sebagai komandonya pula.

Koordinasi menjadi penting, untuk menjaga jangan gara-gara kelak ada harapan besar dari pasar, dan akan men-drive harga nabati, kemudian memunculkan ancaman berupa terjadinya kompetisi lahan. Yang tadinya untuk pangan disedot ke bionabati untuk menghasilkan bio energi.

Mestilah ditemukan harmoni yang proporsional antara bionabati dan bioenergi. Untuk itu, jangan terlalu all out di energi dan mengakibatkan sektor pangan terancam. Ketahanan pangan (food security) harus berimbang dengan bioenergi/energy security/ketahanan energi. Jangan sampai ada rebutan lahan, dan kanibalisasi, sehingga diperlukan adanya regulasi dari pemerintah.Sangat pradoks jika pabrik bioethanol marak, tetapi kebun sawit tidak bertambah. Setelah bahan baku siap di berbagai perkebunan, barulah pabrik bioethanol dibangun. Jangan sebaliknya. Bisa-bisa energi melahap pangan.

Paling penting, peran pekebun jangan diabaikan. Fakta berbicara, bahwa perkebunan swasta dan BUMN pada 2000 hanya 3,4 juta hektare dari total area 11,7 juta hektare. Dari jumlah itu, 70 persen adalah perkebunan kelapa sawit swasta menengah dan kecil, yang tumbuh cepat karena subsidi bunga, seperti juga petani karet. Mereka sabar menunggu lima sebelum karet disadap, karena berkebun bagi mereka sudah menjadi kultur.Jika sehektare kebun karet dihargai Rp 10 juta, investasi petani mencapai Rp 37 triliun. Berapa nilai 7,5 juta hektare sawah, kebun kopi, teh, dan yang lain, yang sebagian besar investasi rakyat? Petani adalah investor sejati. Hasil ekspor perkebunan rakyat US$ 5 miliar setahun.

Padahal, dividen dan pajak PTPN I-XIV setahun, kurang dari Rp 1 triliun. Kita terkenang tuan Douwes Dekker alias Multatuli. Penulis roman “Max Havelaar” itu memprotes tanaman paksa ala kolonial Belanda, dan Ratu Belanda mengabulkannya. “Katakan kepada saya, bukankah si petani miskin, bukankah padi menguning seringkali untuk memberi makan orang yang tidak menanamnya?” kata Dekker saat berpidato menjadi Asisten Residen di Lebak, Banten. (Habis)*Wartawan MedanBisnis

source: medanbisnisonline

CPO Dikonsentrasikan Untuk Dalam Negeri

Rabu, 29-10-2008

MedanBisnis – JakartaMengatasi rendahnya harga jual minyak mentah kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) di pasar luar negeri, pemerintah memutuskan untuk mengkonsentrasikan penggunaan komoditas ini bagi pasar dalam negeri.

“Itu kebijakan politik kita. Politik dagang kita akhirnya meniscayakan untuk betul-betul bisa digunakan lebih banyak lagi di dalam negeri,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada konferensi pers di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Selasa.

Harga CPO di pasar dunia kini terus merosot, bahkan telah jatuh di bawah level US$ 500 per ton, seiring banyaknya buyer di luar negeri yang membatalkan kontrak pembelian akibat terpukul krisis finansial global. Kondisi ini menekan pengusaha dan petani sawit.

Untuk itu, Presiden telah menginstruksikan kepada Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro dan Pertamina agar CPO dapat terserap untuk konsumsi dalam negeri. “Kita minta Menteri ESDM, Pertamina, untuk segera melaksanakan langkah-langkah nyata. Jangan sampai ada jarak keputusan yang kita ambil dengan implementasi nanti di lapangan,” tuturnya.

Penurunan harga jual CPO di pasar luar negeri, menurut Presiden, merupakan imbas tak terhindarkan dari krisis keuangan global akibat penciutan permintaan di pasar dunia.Konsentrasi konsumsi CPO untuk pasar dalam negeri, kata Presiden, bisa disinkronkan dengan langkah pemerintah yang sejak 2005 ingin mengembangkan bahan bakar nabati.“Waktu itu sesungguhnya untuk menyelamatkan uang kita dari harga BBM yang berasal dari fosil yang mahal. Itu yang terjadi meskipun minyak turun, tapi harga jual produk CPO kita di luar negeri juga rendah,” jelasnya. (ant)

source: medanbisnisonline.com

10 Kebijakan Atasi Gejolak Keuangan

By Republika Contributor
Rabu, 29 Oktober 2008 pukul 01:31:00

JAKARTA -- Pemerintah menggariskan sepuluh kebijakan untuk mengatasi gejolak keuangan, di antaranya membeli kembali Surat Utang Negara (SUN) dan menurunkan pungutan ekspor (PE) CPO menjadi nol persen.Kebijakan itu dihasilkan pada rapat kabinet terbatas di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Selasa malam, yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan juga dihadiri oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla serta jajaran menteri Kabinet Indonesia Bersatu dan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono.

Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam keterangan pers usai rapat menjelaskan pembelian kembali SUN dilakukan untuk menjaga kepercayaan pelaku pasar terhadap SUN dengan melakukan stabilisasi pasar SUN.Pembelian kembali, menurut Menkeu, dilakukan untuk memberi sinyal bahwa pemerintah dan BI memberi perhatian kepada surat berharga mereka dan untuk meyakinkan pasar bahwa surat itu bukanlah barang tidak berharga.

"Pembelian kembali SUN dilakukan secara bertahap dalam jumlah yang terukur," ujarnya.Namun, Menkeu maupun Gubernur BI belum menyebutkan jumlah dana yang dialokasikan pemerintah untuk pembelian kembali SUN tersebut."'Buy back' nanti akan dibahas antara Depkeu dan BI. Jumlahnya cukup untuk mempengaruhi. Berapanya lihat saja nanti setelah terjadi," ujar Boediono.

Pemerintah juga melakukan langkah untuk menjaga kesinambungan neraca pembayaran dan devisa dengan mewajibkan seluruh BUMN menempatkan seluruh hasil valuta asingnya di bank dalam negeri.BUMN diwajibkan menyimpan dananya dalam satu kliring "house" dan melaporkan informasi tentang penghasilan dan kebutuhan valas ke Kantor Kementerian Negara BUMN.

Transaksi itu pun dilaksanakan melalui bank-bank BUMN dengan laporan yang harus diperbarui setiap hari.Untuk menjaga stabilitas likuiditas dan mencegah terjadinya kompetisi bunga, BUMN juga telah diinstruksikan agar tidak melakukan pemindahan dana dari bank ke bank.Untuk menjaga kesinambungan neraca pembayaran atau devisa dan mempercepat pembangunan infrastruktur, pemerintah memutuskan mempercepat pelaksanaan proyek-proyek yang sudah mendapat komitmen pembiayaan bilateral maupun multilateral.

"Berbagai proyek pemerintah yang dibiayai oleh pinjaman asing diusahakan segera mendapat 'approval' sehingga pinjaman itu segera masuk ke 'account' pemerintah dan menambah valuta asing yang masuk ke kita," jelas Sri Mulyani.Untuk menjaga kesinambungan neraca, pemerintah juga akan memanfaatkan bilateral "swap arrangement" yang telah disepakati oleh negara ASEAN+3 yakni Cina, Korea, dan Jepang.

"Ini akan dilakukan untuk menjaga-jaga neraca pembayaran. Sekarang sedang disiapkan mekanismenya," ujar Sri Mulyani.Sedangkan untuk menjaga keberlangsungan ekspor dengan memberikan garansi terhadap risiko pembayaran dari pembeli, pemerintah dan BI akan menyediakan fasilitas rediskonto wesel ekspor "with recourse" yang mulai berlaku 1 November 2008.

"Tujuannya untuk menjaga agar ekspor tetap dapat berjalan dengan memberikan garansi terhadap resiko pembayaran. Pemerintah akan melakukan monitoring ketat agar fasilitas ini tidak disalahgunakan oleh eskportir, misalnya seperti ekspor fiktif," tutur Sri Mulyani. Untuk menjaga keberlangsungan ekonomi sektor riil, pemerintah mengambil kebijakan untuk menyelamatkan pasar ekspor minyak kelapa sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO).Mulai 1 November 2008, pemerintah mengurangi PE CPO menjadi nol persen dari sebelumnya 2,5 persen.

Sedangkan untuk mencegah impor barang ilegal yang diduga akan masuk ke Indonesia secara sistemik, pemerintah akan menerbitkan ketentuan pembatasan impor barang tertentu yang mulai berlaku 1 November 2008.Komoditi yang dikenakan pembatasan impor adalah garmen, elektronika, makanan dan minuman, mainan anak-anak, sepatu, dan hanya bisa diimpor oleh importir terdaftar dengan kewajiban dilakukan verifikasi di pelabuhan muat.Pelabuhan untuk membongkar komoditi tersebut pun hanya bisa dilakukan di tempat yang telah ditentukan, yaitu Pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Emas, Tanjung Perak, Belawan, Makassar, dan dua bandara yakni Bandara Soekarno-Hatta dan Bandara Juanda.

Pemerintah juga akan menerbitkan peraturan Mendag berlaku sejak 1 November 2008 tentang pembentukan gugus tugas terpadu antar instansi terkait guna meningkatkan pengawasan terhadap barang-barang yang beredar.Sedangkan untuk menjaga kesinambungan fiskal 2009, pemerintah telah berdiskusi dengan DPR agar RAPBN 2009 yang akan disetujui DPR pada Kamis, 28 Oktober 2008, dapat diubah secara fleksibel untuk menghadapi imbas krisis ekonomi global yang diperkirakan masih terjadi sampai tahun depan.

"Situasi ini diperkirakan akan berlangsung sampai 2009, sehingga pemerintah dimungkinkan melakukan perubahan APBN tanpa mengurangi hak-hak DPR," ujar Sri Mulyani.Sepuluh kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengatasi gejolak pasar keuangan, menurut Menkeu, diambil sebagai langkah untuk melindungi tiga pilar yang terus dijaga pemerintah, yaitu keseimbangan neraca pembayaran, kredibilitas BI, serta kredibilitas APBN."Tujuan kebijakan ini untuk menjaga ekonomi agar tidak mengalami gangguan terlalu banyak dan sebagai respon terhadap kesulitan-kesulitan dihadapi pelaku ekonomi," ujarnya.Pemerintah, lanjut Menkeu, tetap mengikuti perkembangan kondisi keuangan terakhir dan terus menyusun rencana-rencana kerja mengikuti perkembangan tersebut.ant/kp

Lahan Kelapa Sawit untuk Orangutan

KUALA LUMPUR -- Menyempitnya habitat alami sejumlah satwa liar akibat pembukaan perkebunan kelapa sawit tak membuat para pejuang pelestarian lingkungan Malaysia hilang akal. Kini mereka meluncurkan strategi baru untuk melindungi orangutan Kalimantan, gajah pygmy, dan satwa yang terancam punah lainnya dengan membeli lahan dari pemilik perkebunan untuk dijadikan hutan suaka.

Langkah ini diambil untuk menjaga kelestarian orangutan yang jumlahnya terus merosot akibat pembalakan liar dan meluasnya perkebunan kelapa sawit dengan cepat di Malaysia dan Indonesia, dua negara tempat orangutan ditemukan di alam.

Kelompok konservasi LEAP yang berbasis di Malaysia tengah merundingkan pembelian 89,8 hektare lahan hutan tropis di negara bagian Sabah, Kalimantan, dari operator perkebunan sawit.
Lahan seluas itu dibutuhkan untuk dijadikan sebagai koridor yang menghubungkan dua wilayah suaka margasatwa yang menjadi rumah bagi 600 orangutan, 150 gajah pygmy, dan beragam jenis satwa dilindungi lainnya, seperti monyet proboscis, burung rangkong, dan berang-berang.

"Untuk membeli lahan itu, LEAP melakukan aksi penggalangan dana melalui sumbangan masyarakat dan pribadi," kata Cynthia Ong, Direktur Eksekutif LEAP. World Land Trust, sebuah yayasan amal untuk konservasi alam yang bekerja sama dengan LEAP dalam inisiatif itu, mengatakan bahwa mereka membutuhkan Rp 5,3 miliar untuk membeli lahan tersebut.

Ong mengatakan ini adalah pertama kalinya sebuah lembaga swadaya masyarakat berusaha membeli tanah di Kalimantan, Malaysia, untuk perlindungan lingkungan dengan bantuan pemerintah. Dia belum bisa memastikan kapan pembelian hutan itu dilaksanakan.

"Pembelian lahan ini amat mendesak," tutur Ong. "Kami tak punya jalan lain untuk menghindari potensi timbulnya konflik antara manusia dan satwa liar."

Jumlah orangutan di Malaysia dan Indonesia turun hingga separuhnya dalam 20 tahun terakhir hingga mencapai angka di bawah 60 ribu ekor akibat aktivitas pembukaan hutan. Para ilmuwan memperkirakan populasi primata turun lebih dari 5.000 ekor setiap tahun sejak 2004. AP

source: korantempo.com

317.615 Hektar Hutan Lindung Lampung Dilirik Perdagangan Karbon

Selasa, 28 Oktober 2008 20:31 WIB

BANDAR LAMPUNG, SELASA - Hutan lindung di wilayah Lampung seluas 317.615 hektar saat ini dilirik negara-negara maju untuk diikutkan dalam perdagangan karbon. Saat ini Pemerintah Provinsi Lampung tengah mengkaji prosedur dan kontrak perdagangan karbon yang ditawarkan.

Asisten II Gubernur Lampung Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan (Ekubang), Djunaedi Jaya, Selasa (28/10) pada acara ekspose kerjasama perdagangan karbon internasional di Gedung Gubernur Lampung mengatakan, kerjasama perdagangan karbon tersebut akan menguntungkan Lampung. Selama ini, diketahui hutan lindung di Lampung sudah banyak yang rusak.

"Kerusakan terjadi karena faktor ekonomi, masyarakat masuk hutan dan merambah. Selain itu hutan rusak juga akibat penebangan liar. Sementara kita tidak memiliki dana cukup untuk menjaga dan memelihara hutan," ujar Djunaedi Jaya.

Berdasarkan ekspose, satu ton karbon dihargai sekitar 1013 dollar Amerika Serikat (AS). Harga tersebut diperkirakan akan terus meningkat menjadi 100 dollar AS per ton pada 2012.
Menurut Djunaedi, tawaran tersebut cukup menarik. Apabila Lampung dengan luasan hutan lindung 317.615 hektar yang terletak di lima kabupaten mampu menjaga kelestarian hutan, Lampung bisa mendapat kompensasi sekitar 80 persen dari perdagangan karbon.
"Pemprov Lampung akan mempelajari rancangan kerjasama perdagangan karbon tersebut. Kami akan segera memaparkan tawaran ini kepada bapak gubernur untuk ditindaklanjuti," ujar Djunaedi.

Erlyn Rommel, mitra lokal Carbon Strategic Global Ltd (CSG) atai IBN Group yang berkedudukan di Australia pada ekspose tersebut mengatakan, dana kompensasi tersebut harus bisa dimanfaatkan untuk menjaga kelestarian hutan. Sesuai mekanisme perdagangan, CSG akan melihat potensi hutan lindung Lampung dan kemampuan produksi karbon.

Kemampuan produksi akan dikalikan dengan harga per ton karbon. Hasilnya akan dibagi antara Pemprov Lampung, kabupaten pemilik hutan, serta CSG. Apabila dalam masa kontrak terjadi kerusakan hutan yang cukup parah, kontrak akan langsung dihentikan.

Untuk bisa menjaga hutan, CSG akan memfasilitasi Pemprov Lampung dalam hal penjagaan dan pengawasan hutan. CSG akan merekrut polisi hutan dan membayar dengan bayaran tinggi untuk membantu menjaga hutan dari pen ebangan liar atau aksi perusakan. CSG juga akan memberikan pendidikan mengenai kehutanan kepada masyarakat sekitar hutan lindung.
Menurut Erlyn, perdagangan karbon tersebut menarik. Perdagangan karbon merupakan kompensasi dari negara-negara industri maju untuk membayar kerusakan lingkungan yang sudah mereka buat. Asap karbon dioksida yang dihasilkan pabrik-pabrik di Eropa dan AS sudah merusak lapisan ozon.

Salah satu cara untuk memperbaiki kerusakan ozon adalah dengan mempertahankan produksi karbon dari hutan-hutan di Indonesia, Asia Pasific, Amerika Selatan, ataupun Papua New Guinea. Kompensasi diambilkan dari pembayaran negara-negara maju tersebut atas kerusakan lingkungan yang dibuat.

CSG berupaya memfasilitasi daerah-daerah di Indonesia yang memiliki hutan untuk mendapatkan kompensasi atas karbon yang dihasilkan, sekaligus untuk menjaga dan memelihara hutan lindung.

Astra Agro Raup Untung Rp 2,13 Triliun

Selasa, 28 Oktober 2008 20:27 WIB
TEMPO Interaktif, JakartaLaba Bersih Astra Agro Lestari Tbk Rp : Perusahaan perkebunan PT Astra Agro Lestari Tbk hari ini melaporkan sampai kuartal ketiga 2008 berhasil membukukan laba bersih sebesar Rp 2,13 triliun. Pencapaian ini meningkat 65,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2007 sebesar Rp 1,29 triliun.

Dari laporan keuangan konsolidasi Astra Agro yang tidak diaudit sampai akhir September 2008, disebutkan penjualan bersih konsolidasi Astra Agro tercatat sebesar Rp 6,7 triliun, atau tumbuh 62,6 persen dibanding periode yang sama tahun 2007 sebesar Rp 4,12 triliun.

Widya Wiryawan, Presiden Direktur Astra Agro mengatakan, tingginya harga minyak sawit serta produk turunannya hingga kuartal ketiga telah mendorong pertumbuhan penghasilan perseroan. Harga rata-rata minyak sawit perseroan sampai kuartal ketiga Rp 7.995 per kilogram, atau naik 40,9 persen dibanding periode yang sama 2007 sebesar Rp 5.673 per kilogram.

Selain itu, pertumbuhan penghasilan juga dipicu naiknya volume penjualan minyak sawit perseroan seiring dengan peningkatan produksi minyak sawit. Penjualan minyak memberikan kontribusi penjualan terbesar yaitu 84,3 persen, sedangkan sisanya disumbangkan dari penjualan produk turunan minyak sawit dan lain-lain.

Seiring krisis keuangan global serta melemahnya permintaan pasar minyak sawit, memasuki kuartal keempat 2008 ini harga minyak sawit merosot. “Kondisi ini tentu saja mempengaruhi usaha perkebunan kelapa sawit,” kata Widya.
EFRI RITONGA

source: tempo.co.id

Produsen Biodisel Diminta Tingkatkan Produksi

Selasa, 28 Oktober 2008 14:36 WIB
JAKARTA--MI: Pemerintah meminta produsen biodiesel segera meningkatkan kapasitas produksinya dengan menyerap sebanyak-banyaknya kelapa sawit yang kini sedang melimpah. Dirjen Migas Departemen ESDM Evita Legowo di Jakarta, Selasa (28/10) mengatakan penurunan harga kelapa sawit belakangan ini membuat harga biodiesel akan semakin kompetitif. "Pengusaha harus menangkap peluang ini," katanya.

Apalagi, lanjutnya, PT Pertamina (Persero) sudah berkomitmen menyerap secara maksimal produk biodiesel. Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit terus mengalami penurunan dari sebelumnya Rp3.000 per kg menjadi hanya Rp200-300 per kg.

Pada 26 September 2008, kata Evita, pemerintah telah mengeluarkan aturan Peraturan Menteri ESDM No 32 Tahun 2008 yang yang mewajibkan pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN). Menurut dia, besaran mandatory yang ditetapkan merupakan angka minimal, sehingga akan semakin mendorong pemanfaatan BBN.

Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) memperkirakan produksi biodiesel tahun 2009 akan mencapai 2.521.000 ton dengan pemakaian domestik 1.121.000 ton. Produksi biodiesel itu dihasilkan sebelas perusahaan yakni PT Asian Agri Tbk, PT Energi Alternatif Indonesia, PT Eterindo Wahanatama Tbk, PT Darmex Biofuel, Ganesha Energy Group, PT Indo Biofuels Energy, PT Multikimia Intipelangi, Musim Mas Group, Pertama Hijau Group, PT Sumi Asih, dan Wilmar Group. (Ant/OL-06)

source: mediaindonesia.com

Govt announces steps to overcome financial crisis

10/29/08 07:22

Jakarta, (ANTARA News) - The government will buy back state debentures (SUN) and cut down crude palm oil (CPO) export tax to zero percent in an effort to face financial crisis, Finance Minister Sri Mulyani said Tuesday night.

The minister said the decision to buy back the SUN and cut the export tax of CPO were among the ten point-policy taken by the government in the face of the present economic condition. The ten-point decision was decided in a limited cabinet meeting at the Presidential office Tuesday night, which was chaired by President Susilo Bambang Yudhoyono.

The meeting was also attended by Vice President Yusuf Kalla, cabinet ministers and Bank Indonesia (BI) Governor Boediono.Finance Minister Sri Mulyani told the press that the SUN buy-back would be carried out in an effort to stabilize market conditions and to maintain market players` confidence.

"The buy-back of the SUN will be carried out in stages," the minister said. The government also is taking a step to maintain the continuation of the balance of payment and the availability of foreign exchange reserves.

She said the government will accelerate infrastructure development, provide an export rediscount facility and secure market for Indonesia`s crude palm oil (CPO) exports. Beginning November 1, 2008, the government cut its CPO export tax from 2.5 percent to zero percent.

In an effort to prevent the entry into Indonesia of illegal imports, the government will issue a regulation which will limit the import of certain goods which will also be enforced beginning November 1, 2008.

The government will also issue a home affairs minister`s regulation on the establishment of an integrated task force to charged with the task of supervising goods in circulation.All policies taken by the government are intended to cope with market turbulence and to protect three pillars that the government has to safeguard, namely the balance of payment, BI credibility and the credibility of the state budget.(*)
COPYRIGHT © 2008

source: antara.com

Riau reports oil palm fruit price drop to VP

10/29/08 06:57

Pekanbaru (ANTARA News) - The Riau provincial government planned to report to Vice President Jusuf Kalla the drop in the price of the oil palm fruits of the oil palm fruit growers in Riau. "We would report the fate of the oil palm growers in the region to the vice president," Riau Governor Wan Abubakar said here Tuesday.

The Governor also said that the reporting to the vice president was his own initiative.However, he said he will pick the right time for the vice president to receive the report, not when he is still too preoccupied.

The Governor said that the Riau Government is expected the vice president to give a solution to the declining oil palm fruit prices in Riau, which may have been caused by a drop in demands from the export market due to the current financial crisis.

Besides reporting to the VP, the Riau Government set up an oil palm price supervisory team. Meanwhile based on the result of the meeting at the Riau Provincial agricultural agency in Pekanbaru, Tuesday, the price of oil palm fruits of 10-year old trees dropped to Rp766.88 per kilogram (kg) from Rp823.33. Meanwhile the price of oil palm fruits from three years trees reached Rp546.74 per kg.

COPYRIGHT © 2008
source: antara.com

Palm oil crisis can even tie to Halloween candy

Do the pros of using palm oil outweigh the cons?

By Christina Salvo
Monday, October 27, 2008 at 7:13 p.m.

COLORADO SPRING, COLO. -- Health concerns with trans-fatty acids found in partially hydrogenated oil has led the push for palm oil as a substitute. But its increased use is causing a domino effect, creating new problems.

Trees are cleared to create oil plantations. As oil plantations expand in South America, Southeast Asia, the Pacific and Africa, environmentalists say they are transforming the ecosystems and contributing heavily to climate change.

While deforestation accounts for a quarter of global greenhouse gas emissions, it also threatens the extinction of millions of plant and animal species, including the orangutans.

"The rainforest is crucial. They need it to be able to find food and shelter," explained Dina Bredahl, Animal Care Manager at the Cheyenne Mountain Zoo.

In many areas, especially Indonesia, the rainforest is being leveled to make way for profitable palm oil plantations.

"Right now Indonesia is third highest as far as producing greenhouse gases in the world, yet they use so little as far as automobiles and other things like that. The problem is because of removing rain forests," said Bredahl.

Demand for palm oil is so high right now as people look for alternatives to trans-fat plus it can be cheaply produced, said Bredahl.

But many consumers aren't even aware any controversy exists surrounding palm oil farming.
"What you buy at the grocery store really does affect not just people in other countries, but animals as well and entire ecosystems," said Bredahl.

It's a bit of a balancing act weighing the pros against the cons of palm oil. In the meantime, Cheyenne Mountain Zoo encourages consumers to support companies that use sustainable palm oil vs. nonsustainable.

"Sustainable palm oil is produced by using already cleared land. That way you're not taking more rainforest away from orangutan and many hundreds of other species," explained Bredahl.
Click here to learn ways to help in the palm oil crisis.

source: fox21news.com

UPDATE 1-Indonesia's Astra Agro 9-mth net profit up 66 pct

Tue Oct 28, 2008 7:02am EDT

(Adds details, quote)
JAKARTA, Oct 28 (Reuters) - PT Astra Agro Lestari (AALI.JK: Quote, Profile, Research, Stock Buzz), Indonesia's largest listed plantation firm, reported on Tuesday a 66 percent rise in nine-month net profit on the back of strong output and higher CPO prices.

Astra Agro, owned by Indonesia's largest automotive distributor, PT Astra International Tbk (ASII.JK: Quote, Profile, Research, Stock Buzz), reported a net profit of 2.13 trillion rupiah ($195.4 million) in January-September, compared to 1.29 trillion rupiah a year ago.

Sales rose 62.6 percent to 6.70 trillion rupiah, largely due to higher palm oil sales volumes.
"High CPO prices and its derivative products until the third quarter boosted the firm's revenue growth," Astra Agro's president director, Widya Wiryawan, said in a statement, adding that average CPO prices until September 2008 were 41 percent higher than the year-ago period.
"The firm's revenue growth was also contributed by higher CPO sales volume, which is in line with an increase in production," he said, adding lower CPO prices in the fourth quarter "would definitely affect palm oil plantations and farmers".

The company, which has a market capitalisation of $803 million, had said its crude palm oil sales volume climbed 14.6 percent to 735,497 tonnes in the January-September period.

Sales from crude palm oil contributed to around 84 percent of the company's total sales in the first nine month period of 2008.

Astra Agro, which accounts for about 5 percent of Indonesia's total crude palm oil production, benefited from soaring palm oil prices earlier this year.

But palm oil prices have fallen over 60 percent from an all time high of 4,486 ringgit a tonne hit in March.

Indonesia has overtaken Malaysia as the world's top palm oil producer. It is expected to produce 18.4 million tonnes of CPO this year, up around 7.5 percent from 2007.

The company is aiming to boost its output by 7.5 percent to 990,000 tonnes in 2008, on the back of better productivity and a larger plantation area. It is in the process of expanding its plantation area by 60,000-70,000 hectares by 2009. ($1 = 10,900 rupiah) ($1 = 3.578 Malaysian ringgit) (Reporting by Harry Suhartono and Andreas Ismar, editing by Sugita Katyal)

source: reuters.com

Cari di Google

Google
 
Web kabarsawit.blogspot.com