Saturday, November 1, 2008

TBS Sawit Membusuk,

Sabtu, 1 November 2008 | 03:00 WIB
Muara Enim, Kompas - Lebih dari 200 truk pengangkut tandan buah segar atau TBS kelapa sawit milik petani plasma di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, tertahan lima hari di kawasan pabrik kelapa sawit Suli milik PT Perkebunan Nusantara VII. Akibatnya, kualitas TBS menurun karena mulai busuk.

Bahkan, TBS kelapa sawit yang diangkut lebih dari 200 truk tersebut terancam terbuang percuma. Jika lewat tujuh hari setelah pemetikan, TBS sawit tidak bisa lagi diolah menjadi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).

Petani menduga penahanan pembelian sawit terjadi akibat dampak krisis yang menyebabkan harga CPO dunia anjlok.

Berdasarkan pantauan Jumat (31/10), antrean truk pengangkut sawit sekitar 2 kilometer tampak di sepanjang jalan Kecamatan Gunung Megang. Puluhan petugas satuan pengamanan (satpam) juga terlihat berjaga-jaga di pintu masuk.

Sebagian truk sawit antre dan tertahan selama lima hari karena tidak boleh masuk ke pabrik. Kondisi ini membuat petani khawatir mengalami kerugian karena buah sawit mereka busuk.

Sebagian petani di dekat pintu masuk bernegosiasi dengan satpam, tetapi tetap tidak boleh masuk. Sebagian petani yang kesal lalu memblokir pintu masuk pabrik dengan cara memarkir truk secara melintang. Ini dilakukan setelah petani melihat beberapa truk sawit dari perkebunan inti dibolehkan masuk ke pabrik.

Anggota kelompok petani plasma pabrik kelapa sawit (PKS) Suli, yang juga Ketua KUD Plasma Suli, Makmur Maryanto, mengatakan, situasi itu biasa terjadi saat harga jatuh atau permintaan turun seperti sekarang.

Rusak

Humas PTPN VII Sony Soediastanto mengatakan, antrean truk terjadi karena salah satu unit pengolahan sawit rusak. Akibatnya, stok sawit dari plasma yang masuk terpaksa tertahan.

Menurut Makmur, penolakan pembelian ini sudah berulang kali terjadi dan pernah dibahas Pemerintah Kabupaten serta DPRD Muara Enim.

Ketua Gabungan Perusahaan Perkebunan Sumsel Syamsir Syahbana mengatakan, PTPN VII wajib membeli semua buah sawit milik petani plasma maupun petani inti tanpa kecuali. Tertahannya truk pengangkut selama lima hari, menurut dia, akan membuat kualitas TBS turun. Bahkan jika hingga tujuh hari belum diolah, TBS sawit itu harus dibuang.

Dari Salatiga, Jawa Tengah, dilaporkan, anjloknya harga karet kelas satu jenis rubber smoke sheet (RSS) di pasar internasional tiga pekan ini membuat Perkebunan Getas Salatiga milik PTPN IX mengencangkan ikat pinggang. Administratur Perkebunan Getas Adhi Budi Kusumo, Jumat, mengatakan, harga karet RSS anjlok dari 3,2 dollar AS per kilogram menjadi 1,6 dollar AS per kg. (oni/wad/gal)

Turunnya Harga Komoditas Tahan Inflasi Oktober

Minggu, 02/11/2008 10:26 WIB
Alih Istik Wahyuni - detikFinance

Jakarta - Penurunan harga komoditas belakangan ini menahan laju inflasi pada Oktober 2008. Ditambah penurunan permintaan pasca Lebaran, kedua hal tersebut membuat harga barang dan jasa makin jinak.

Menurut ekonom Fadhil Hasan, dengan kedua faktor tersebut maka inflasi di bulan Oktober diperkirakan turun ke 0,5-0,7%. Angka ini lebih rendah dibandingkan inflasi September yang mencapai 0,97%.

"Kalau habis Lebaran kan biasanya ada penurunan spending, sehingga harga barang-barang turun. Ditambah lagi harga komoditasnya sendiri seperti CPO dan lainnya turun semua," katanya ketika dihubungi detikFinance, Minggu (2/11/2008).

Namun di sisi lain, masih ada faktor yang menekan inflasi pada Oktober yaitu nilai tukar rupiah yang sempat menembus Rp 11.000/US$. "Rupiah bulan Oktober kan luar biasa gejolaknya. Tapi meski begitu, ekspektasinya inflasi masih tetap turun," tambahnya.

Perkiraan inflasi Oktober sebesar 0,5-0,7% ini senada dengan prediksi Badan Pusat Statistik (BPS) yang berada di kisaran 0,5%.

"Untuk bulan ini masih ada inflasi, tapi tidak ada gejolak harga barang dan jasa, September inflasi 0,97%, Oktober ini akan lebih rendah yaitu plus-minus 0,5%," kata Kepala BPS Rusman Heriawan pekan lalu.

Sementara untuk inflasi hingga akhir tahun, Fadhil memprediksi inflasi akan tetap bertengger di kisaran 11,5-12,5%. Angka ini tidak jauh berbeda dengan inflasi year on year sampai September 2008 yang berada di 12,14%.

(lih/nwk)

source: detik.com

Petani Ditolong Penurunan PE

Kebijakan Pemerintah Perlu Segera Direspons
Kamis, 30 Oktober 2008 | 01:37 WIB
Jakarta, Kompas - Penetapan pungutan ekspor minyak kelapa sawit mentah menjadi nol persen diharapkan dapat mendorong ekspor. Penurunan pungutan ekspor itu juga untuk menolong petani yang tertekan akibat rendahnya harga tandan buah segar kelapa sawit.

Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Koordinasi Pertanian dan Kelautan Bayu Krisnamurthi menjelaskan soal penurunan pungutan ekspor (PE) minyak kelapa sawit mentah (CPO) itu, Rabu (29/10) di Jakarta.

Pada 22 Oktober 2008, terbit Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 38/M-DAG/PER/10/2008 yang menetapkan PE CPO per 1 November 2008 sebesar 2,5 persen. Namun, pada Rapat Kabinet, Selasa (28/10) malam, pemerintah menetapkan PE CPO per 1 November nol persen sehingga peraturan Menperdag harus direvisi.

”PE menjadi nol persen karena pemerintah melihat perkembangan situasi saat ini. Ekspor harus lebih didorong, harga tandan buah segar (TBS) petani juga perlu diangkat,” ujar Bayu. Penurunan PE menjadi nol persen berlaku untuk CPO dan seluruh produk turunannya.

Menurut Menteri Pertanian Anton Apriyantono, selain menolong petani, penurunan PE menjadi nol persen juga diharapkan akan membuat harga CPO Indonesia lebih kompetitif sehingga penurunan volume ekspor tidak terlalu banyak.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Asmar Arsjad mengatakan, petani menyambut baik keputusan pemerintah menetapkan tarif PE CPO nol persen. Diharapkan, kebijakan ini bisa menaikkan harga TBS sedikitnya Rp 150 per kg.

”Pabrik kelapa sawit tanpa kebun langsung merespons keputusan ini, harga TBS mulai membaik,” ujar Asmar.

Pemerintah, kata Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Sumatera Barat Kardi Maryoto, diharapkan lebih berperan mengatur hubungan petani dan perusahaan pengolah sawit.

”Banyak petani memilih mandiri agar bisa dapat hasil lebih besar saat harga sawit tinggi. Ketika harga anjlok, minta perusahaan membeli sawit dengan harga beli petani plasma. Jelas perusahaan tidak bisa,” tuturnya.(DAY/MAS/HAM/ART)

source: kompas.com

Cari di Google

Google
 
Web kabarsawit.blogspot.com