Thursday, October 30, 2008

Pengusaha dan Pelaku Industri Sambut Baik Pemanfaatan CPO Jadi Biodiesel

Medan, (Analisa)

Pengusaha dan pelaku industri menyambut baik kebijakan pemerintah yang mewajibkan pemakaian Bahan Bakar Nabati (BBN).

Langkah ini dinilai efektif untuk menyerap kelebihan stok minyak sawit mentah (CPO) yang melimpah. Selain itu, pemakaian Bahan Bakar Nabati (BBN) dipastikan dapat menghemat biaya produksi industri di tengah krisis.

Hal itu dikatakan bendahara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumatera Utara (Sumut) Laksamana Adiyaksa kepada wartawan, Kamis (30/10).

Menurutnya, kebijakan tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 tahun 2008 tentang Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar Lain.

Dalam Permen tersebut dinyatakan pemanfaatan biodiesel untuk transportasi pada Oktober-Desember 2008 sebanyak 1 persen akan dinaikkan secara bertahap menjadi 20 persen pada tahun 2025. Sedangkan untuk industri dan komersial sebesar 2,5 persen serta pembangkit listrik 0,1 persen.

Untuk itu pengusaha siap produksi dan menggunakannya, karena pemakaian BBN ini memang lebih efisien. Khusus bagi industri CPO tentu akan menjadi pasar baru. Sehingga diharapkan bisa menyerap Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit petani di daerah ini.

Dia menambahkan, jika ini yang terjadi harga TBS juga diharapkan naik.

Lebih efektif

Menurut Laksamana, pemanfaatan biodiesel untuk bahan bakar ini juga lebih efektif dan cepat daripada harus mengembangkan industri hilir yang membutuhkan investasi besar dan waktu relatif lebih lama.

Pada prinsipnya yang dilakukan hanya pencampuran BBM fosil dengan minyak RBD (Refine Bleached Dedorize olein). Untuk komposisi tergantung peruntukan mesin yang disiapkan.

Jika motor bergerak seperti alat transportasi komposisi RBD bisa mencapai 20 persen dan BBM fosil 80 persen. Sedangkan untuk motor tak bergerak, seperti genset dan mesin pengolahan, RBD bisa lebih banyak mencapai 80 persen.

Investasinya tentu lebih murah dibandingkan membangun industri hilir. Karena yang diperlukan hanya mesin pencampur dan tangki penyimpanan campuran katanya.

Dengan pencampuran ini harga bahan bakar yang dihasilkan jauh lebih murah ketimbang menggunakan BBM fosil. Ditambahkannya, beberapa perusahaan juga telah menerapkannya sejak tahun 2006 lalu.

Mengenai produksi, pihaknya menjamin produksi cukup dan dipastikan selalu tersedia. Dia mengatakan produksi CPO nasional mencapai 18 juta ton per tahun.

Dari jumlah tersebut dimanfaatkan untuk minyak goreng sekitar 4,5 juta ton, produksi RBD 4 juta ton. Kondisi saat ini stok biodiesel mencapai 2,5 juta per tahun, dan selebihnya ekspor.

Sementara itu, Sekretaris I Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Timbas Prasad Ginting, juga mengatakan, pentingnya pemerintah mensterilkan produk impor berbahan CPO.

Hal ini dimaksudkan agar produsen bisa memproduksi lebih banyak produk turunan CPO. Seperti halnya minyak goreng, mentega, dan produk turunan lainnya yang sudah banyak beredar di dalam negeri.

Dari harga, produksi lokal jauh lebih murah. Begitu juga dengan kualitas yang lebih baik. Tetapi produsen sulit menambah produksinya karena kebutuhan konsumsi produk ini tidak terlalu banyak, katanya.

Ia juga menghimbau industri memanfaatkan BBN. Sebab selain efisiensi biaya produksi, BBN juga lebih ramah lingkungan, ungkapnya. (ms)

source: analisadaily.com

Pengusaha Siap Produksi dan Pakai Biodiesel

Jumat, 31-10-2008
*herman saleh/ant

MedanBisnis – Medan
Meski dinilai terlalu kecil, pengusaha dan pelaku industri menyambut baik kebijakan pemerintah yang mewajibkan pemakaian bahan bakar nabati (BBN). Pasalnya, langkah ini dinilai efektif untuk menyerap kelebihan stok crude palm oil (CPO) yang melimpah. Selain itu, pemakaian BBN dipastikan dapat menghemat biaya produksi industri di tengah krisis.

Bendahara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumatera Utara (Sumut) Laksamana Adiyaksa mengungkapkan, kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain. Dalam Permen tersebut, dinyatakan pemanfaatan biodiesel (B100) untuk transportasi pada Oktober-Desember 2008 sebanyak 1%, dan akan dinaikkan secara bertahap menjadi 20% pada tahun 2025. Sedangkan untuk industri dan komersial sebesar 2,5%, serta pembangkit listrik 0,1%.
“Pengusaha siap produksi dan pakai, karena pemakaian BBN ini memang lebih efisien. Khsusus bagi industri CPO, tentu akan menjadi pasar baru. Sehingga, diharapkan bisa menyerap tandan buah segar (TBS) kelapa sawit petani,” katanya, di Medan, Kamis (30/10). Dia menambahkan, jika ini yang terjadi harga TBS juga diharapkan terdongkrak naik.
Satu solusi yang sangat dinantikan, katanya, mengingat pengembangan ekspor masih terasa sulit dilakukan. Namun, jika pasar dalam negeri menjanjikan, maka bukan hal yang mustahil jika pengusaha akan memfokuskan pemasaran dalam negeri, dan meningkatkan produksi BBN berbahan CPO, seperti halnya biodiesel.
“Saat krisis, pasar dalam negeri memang harus dioptimalkan. Gapki optimis pengusaha akan termotivasi jika pasar ini bisa digarap,” katanya. Menurut Laks, pemanfaatan biodiesel untuk bahan bakar ini juga lebih efektif dan cepat, ketimbang harus mengembangkan industri hilir yang membutuhkan investasi besar, dan waktu relatif lebih lama.
Pada prinsipnya, kata Laks, yang dilakukan hanya pencampuran BBM fosil dengan minyak RBD (refine Bleached dedorize olein). Untuk komposisi, tergantung peruntukan mesin yang disiapkan. Jika motor bergerak seperti alat transportasi, komposisi RBD bisa mencapai 20% dan BBM fosil 80%. Sedangkan untuk motor tak bergerak, seperti genset dan mesin pengolahan, RBD bisa lebih banyak mencapai 80%.
“Investasinya tentu lebih murah dibandingkan membangun industri hilir. Soalnya, yang diperlukan hanya mesin pencampur dan tangki penyimpanan campuran,” katanya menjelaskan. Dengan pencampuran ini, lanjutnya, harga bahan bakar yang dihasilkan jauh lebih murah ketimbang menggunakan BBM fosil (lihat tabel). Ditambahkannya, beberapa perusahaan juga telah menerapkan ini sejak tahun 2006 lalu. Tepatnya, ketika da pembatasan pemakaian BBM Industri.
Mengenai produksi, katanya lagi, pihaknya menjamin produksi cukup dan dipastikan selalu tersedia. Dia mengatakan produksi CPO nasional mencapai 18 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut dimanfaatkan untuk minyak goreng sekitar 4,5 juta ton, produksi RBD 4 juta ton. Kondisi saat ini, stok biodiesel mencapai 2,5 juta per tahun, dan selebihnya ekspor.
“Dengan kondisi sekarang, produksi minyak goreng tentu bisa ditingkatkan. Untuk proteksi, pemerintah bisa meminimalisir atau bahkan menghentikan masuknya produk impor berbahan CPO,” terangnya, seraya mengatakan, berkurangnya pasokan luar negeri akan mendongkrak harga kembali.
Asistem Costumer Relation Pertamina Pemasaran BBM Retail Region I Rustam Aji memaparkan, alokasi pemakaian solar tahun 2008 mencapai 717.000 kiloliter, premium 998.000 kiloliter, dan minyak tanah 661.000 kiloliter. Sementara konsumsi rata-rata BBM bersubsidi di Sumut mencapai 3.200 kiloleter/hari premium, minyak tanah 1.800 kiloliter/hari, dan solar 2.200 kiloliter/hari.

Stop Impor
Sekretaris I Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Timbas Prasad Ginting, juga menekankan pentingnya pemerintah mensterilkan produk impor berbahan CPO. Hal ini dimaksudkan agar produsen bisa memproduksi lebih banyak produk turunan CPO. Seperti halnya minyak goreng, mentega, dan produk turunan lainnya yang sudah banyak beredar di dalam negeri.
“Dari harga, produksi lokal jauh lebih murah. Begitu juga dengan kualitas yang lebih baik. Tetapi, produsen sulit menambah produksi, karena kebutuhan konsumsi produk turunan ini tidak terlalu banyak,” katanya. Ia juga menghimbau industri memanfaatkan BBN. Sebab, selain efisiensi biaya produksi, BBN juga lebih ramah lingkungan
Sementara PT Pertamina (Persero) menyatakan kesiapannya menyerap seluruh bahan baku biodiesel (fatty acid methyl ester/FAME) menyusul penurunan harga kelapa sawit akhir-akhir ini. “Berapapun FAME (bahan baku biodiesel) yang ada, kami siap menyerap,” kata Deputi Pemasaran Pertamina Hanung Budya di Jakarta, Kamis.
Pada 1 Nopember ini, Pertamina akan meluncurkan perluasan pemakaian biodiesel dengan kandungan FAME sebesar lima persen di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Jabodetabek dan Surabaya.
Pertamina juga menargetkan sebanyak 3.000 SPBU di Jawa atau 80 persennya menjual biodiesel lima persen hingga akhir tahun 2008. Per 11 April 2008, komponen FAME dalam biodiesel hanya satu persen.
Menurut Hanung, pihaknya juga akan memasukkan FAME lima persen pada produk solar yang diperuntukkan bagi industri. Bahkan, lanjutnya, kalau persediaan FAME memungkinkan, Pertamina akan meningkatkan kandungan FAME hingga 10 persen pada tahun ini.
Saat ini, SPBU yang menjual bahan bakr nabati (BBN) baru 279 unit yang terdiri dari jenis biodiesel 232 unit, biopremium satu unit, dan biopertamax 46 unit.
Dengan volume penjualan mencapai 48.661 kiloliter yang terdiri dari biodiesel 46.700 kiloliter, biopremium 310 kiloliter, dan biopertamax 1.651 kiloliter.
Total jumlah SBPU yang menjual BBM Pertamina di seluruh Indonesia mencapai 4.600 unit.
Sebelumnya, pemerintah meminta produsen biodiesel segera meningkatkan kapasitas produksinya dengan menyerap sebanyak-banyaknya kelapa sawit yang kini sedang melimpah.
Dirjen Migas Departemen ESDM Evita Legowo di Jakarta, Selasa mengatakan, penurunan harga kelapa sawit belakangan ini membuat harga biodiesel akan semakin kompetitif.
Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit terus mengalami penurunan dari sebelumnya sekitar Rp2.000 per kg menjadi hanya Rp200-300 per kg.
Pemerintah, lanjutnya, tertanggal 26 September 2008 telah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM No 32 Tahun 2008 yang berisi mandatory atau kewajiban minimal pemakaian BBN.
Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) memperkirakan produksi biodiesel tahun 2009 akan mencapai 2.521.000 ton dengan pemakaian domestik 1.121.000 ton.
Produksi biodiesel itu dihasilkan sebelas perusahaan yakni PT Asian Agri Tbk, PT Energi Alternatif Indonesia, PT Eterindo Wahanatama Tbk, PT Darmex Biofuel, Ganesha Energy Group, PT Indo Biofuels Energy, PT Multikimia Intipelangi, Musim Mas Group, Pertama Hijau Group, PT Sumi Asih, dan Wilmar Group.

source: medanbisnisonline.com

Ekspor Minyak Sawit Indonesia Masih Terbesar

Kamis, 30 Oktober 2008 | 17:33 WIB


TEMPO Interaktif, Jakarta: Indonesia berpeluang menjadi negara produsen dan pengekspor crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah terbesar di dunia pada 2010. Peluang ini melihat potensi sumber daya alam yang ada.

Namun turunnya harga CPO membuat para ahli, pelaku bisnis, dan Departemen Pertanian mendorong dibuatnya produk turunan dari minyak sawit ke berbagai produk.

Hal tersebut terungkap dalam seminar "Membangun Kelapa Sawit yang Lestari untuk Industri Pangan, Energi, dan Oleokimia (produk turunan) Lainnya" di Gedung Manajemen Bisnis Institut Pertanian Bogor Kampus Gunung Gede, Bogor, Jawa Barat, Kamis (30/10).

Menteri Pertanian Anton Apriantono dalam sambutan tertulisnya mengatakan ekpor kelapa sawit Indonesia masih terbesar di dunia. Ia menggambarkan perkembangan kelapa sawi pada 2007 seluas 6,78 hektar dengan produksi CPO sebesar 17,38 juta.

Sementara itu, devisa yang diterima dari ekspor minyak kelapa dan produk turunannya (oleokimia) pada 2007 sebesar 11,9 juta ton atau senilai US$ 7,9 miliar dolar (sekitar Rp 85 triliun).

Saat ini Indonesia memiliki sekitar 850 ribu hektar kebun kelapa sawit dan areal swadaya seluas 1.715 ribu hektar dengan melibatkan lebih dari 1.282 ribu kepala keluara petani.

Apalagi dalam program revitalisasi perkebunan telah disepakati pendanaan perkebunan rakyat seluas lebih dari 100 ribu hektar. “Pada bidang lain kami juga sedang membangun pabrik biodiesel dengan kapasitas 2,5 juta ton,” kata Menteri Anton.

Di tempat yang sama, Direktur Industri Kimia Hulu Direktorat Jenderal Indsutru Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian Alexander Barus, mengungkapkan, saat ini produk CPO di Indonesia sangat melimpah namun harganya sedang jatuh. Hal ini disebabkan pengaruh krisis keuangan global. “Banyak negara Eropa yang menahan uangnya untuk tidak membeli CPO kita,” tuturnya.

Untuk mengantisipasi terpuruknya harga CPO, Pemerintah mendorong produk turunan pangan seperti minyak goreng, margarin, cocoa butter, reodroan, palm oil, dan lainnya. Kelompok oleokimia yang bisa diproduksi yakni fatty aceid, fatty alcohol, gliserin dan lilin.

Sedangkan kelompok energi untuk membuat acid methil ester. “Kami juga mendorong agar industri jangan hanya di hulu tetapi sampai ke hilir dengan memproduksi produk turunannya,” ujar Alexander.

Deffan Purnama

source: tempo.co.id

RM200 Million Govt Allocation For Oil Palm Replanting

October 30, 2008 22:01 PM

KUALA LUMPUR, Oct 30 (Bernama) -- Prime Minister Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi on Thursday announced an allocation of RM200 million for replanting 200,000 hectares of oil palm nationwide, saying the time when the price of palm oil was low was good to replace low-yielding, old palms.

He said the replanting would give rural smallholders the opportunity to maintain their yield and step up downstream industries.

"The rise in supply of palm oil will result in an increase in the downstream industries. This is important as the government regards the oil palm industry as strategic because the product is a national resource and the sector provides many job opportunities," he told reporters after chairing a meeting of the Cabinet committee on the Competitiveness of the Oil Palm Sector, at Parliament House here.

"Palm oil is used not only to produce foodstuff but also in making cosmetics and medical-related items and may be used as fuel to meet our needs," he said.

Abdullah said replanting could not be introduced earlier as the high price of palm oil was prohibitive for such an exercise.

Today's meeting also decided on the use of biofuel -- comprising five per cent methyl ester (palm oil) and diesel -- for government vehicles from February 2009, he said.

The implementation, in stages, would be followed by the industrial sector and the transport sector after that, he said.

Asked whether biofuel would be implemented for public vehicles, Abdullah said it could be done once the government had developed the infrastructure for the purpose nationwide.

It is estimated that the production of biofuel with five per cent palm oil would require 500,000 tonnes of palm oil annually when fully implemented in early 2010, he said.

"This does not pose a problem as we have large reserves of palm oil. We produce 17.8 million tonnes of palm oil. As such, it is not difficult to use 500,000 tonnes of palm oil annually to produce biofuel and it will not hamper other ongoing activities such as production of food, medicines, food supplements, cosmetics and other uses," he said.

Asked how the replanting exercise could boost the global price of palm oil, Abdullah said the government was trying to sustain the local production of palm oil in the future and produce high quality palm oil.

"A lot of palm oil trees must be chopped down, thus it cannot be sustainable. When the price is low, then the decision to begin replanting would be a good decision," he said.

-- BERNAMA

source: bernama.com

“PE Nol Persen Terlambat”

Kamis, 30-10-2008
MedanBisnis – Jakarta

Produsen minyak kelapa sawit (CPO) memperkirakan target ekspor CPO sebanyak 14 juta ton tidak bisa tercapai meski pemerintah telah memutuskan penurunan Pungutan Ekspor (PE) CPO November dari 2,5% menjadi nol persen.

“Ini kebijakan yang sebenarnya sedikit terlambat. Sekarang masalahnya permintaan turun akibat krisis keuangan global yang berdampak pada turunnya konsumsi,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Akmaluddin Hasibuan, di Jakarta, Rabu.

Turunnya konsumsi CPO di negara tujuan ekspor menyebabkan terjadinya pembatalan kontrak oleh importir terutama dari China dan India. Selain itu, India juga ditengarai sedang berencana menaikkan kembali bea masuk (BM) impornya karena harga CPO terus mengalami penurunan. “Stok sekarang 2,4 juta ton menandakan demand di luar negeri sedang turun,” ujarnya.

Oleh karena itu, dia berharap kewajiban penggunaan bahan bakar nabati bagi transportasi, industri, komersial dan pembangkit listrik dalam negeri dapat menyerap kelebihan pasokan CPO yang tidak bisa diekspor dan mendongkrak harga. “Harga tender CPO Rp4.100 per kg, tapi harga itu terlalu bawah sehingga kita tidak melakukan tender,” ujarnya seraya menambahkan harga CPO yang ideal adalah sekitar Rp5.500 per kg.

Target Tak Tercapai
Ketua Harian Gapki, Derom Bangun mengatakan, target ekspor CPO kemungkinan tidak tercapai mengingat banyaknya pembatalan kontrak yang terjadi dan turunnya harga minyak mentah dunia yang menyebabkan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) naik dan bahan bakar nabati (BBN) turun. “Rata-rata ekspor per bulan memang sebesar 1 juta ton. Tapi, ekspor bulan Nopember nanti saya kira tidak mencapai satu juta ton, perkiraan saya sekitar 500-700 ribu ton,” ujar Derom.

Gapki menargetkan ekspor CPO tahun 2008 ini mencapai 14 juta metrik ton dari produksi tahun 2008 sebanyak 18,8 juta metrik ton. Sisanya sebanyak 4,8 juta metrik ton diserap pasar dalam negeri. Ekspor tahun 2007 tercatat sekitar 12,6 juta metrik ton. Ekspor CPO terutama ditunjukan ke Belanda, India, Jerman, Italia, Spanyol, dan Cina.

Data Gapki per akhir Juli 2008 menyebutkan, ekspor CPO baru mencapai 8 juta metrik ton. Derom mengaku ragu volume ekspor CPO dalam enam bulan terakhir bisa mencapai 6 juta ton atau rata-rata satu juta ton per bulan.

Terkait kebijakan PE CPO nol persen, menurut dia, hal itu membuktikan pemerintah masih peduli pada nasib pengusaha dan petani. Namun, dengan anjloknya harga CPO maka dampaknya terhadap kinerja ekspor tidak terlalu besar. “Tapi, tentu saja kami sangat merespon positif upaya pemerintah yang bertindak cepat menjadikan PE CPO nol persen, supaya ekspor tidak tertahan dan harga Tandan Buah Sawit (TBS) di tingkat petani bisa naik, meski perhitungan saat ini kenaikannya masih sedikit,” jelasnya.
Dia memperkirakan harga TBS di tingkat petani yang saat ini hanya Rp300 per kg bisa naik Rp100 per kg saja. Selama ini, PE dibebankan eksportir kepada petani dengan mengurangi harga beli. (ant/dtf)

source: medanbisnisonline.com

Petani Desak Pengusaha Naikkan Harga TBS 20%

Kamis, 30-10-2008
*herman saleh

MedanBisnis – Medan
Pemerintah akhirnya mengabulkan tuntutan pengusaha dan petani kelapa sawit menghapuskan pungutan ekspor (PE) minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) mulai 1 Novemper 2008. Hal ini pun langsung mendapatkan reaksi dari petani kelapa sawit, dengan mendesak pengusaha menaikkan harga tandan buah segar (TBS) 15-20% dari harga yang sekarang.

“PE sudah turun, artinya pengusaha bisa menggenjot ekspor dan meningkatkan produksi. Karena itu, kita berharap agar harga TBS dinaikkan 15-20%,” kata Sekretaris Jenderal (Sekjend) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsjad, ketika dihubungi MedanBisnis, Rabu (29/10).
Pemerintah sebelumnya mengeluarkan sepuluh langkah menyelamatkan perekonomian dari pukulan krisis finansial, di antaranya dengan menghapuskan pajak ekspor CPO (crude palm oil) padahal sebelumnya sudah menetapkan 2,5% untuk ekspor bulan November. Kebijakan ini diharapkan mendongkrak ekspor dan harga TBS di tingkat petani.
Asmar Arsjad mengatakan peningkatan produksi tersebut terutama bisa digalakkan oleh pabrik kelapa sawit (PKS) tanpa kebun yang kapasitas produksinya masih minim. Sedangkan bagi perusahaan eksportir bisa dilakukan dengan menggenjot ekspor, dan atau mengembangkan produksi hilir CPO. Dengan demikian, besar kemungkinan TBS petani semakin banyak yang terserap.
“Eksportir CPO diharapkan bisa meningkatkan produksi hilir, dan pengembangan biodiesel. Saya optimis, jika ini dilaksanakan maka harga TBS akan terdongkrak naik, karena kebutuhannya meningkat,” lanjut Asmar, seraya meminta pemerintah juga memberi kemudahan-kemudahan bagi pengembangan industri hilir tersebut.
Ditambahkannya, Apkasindo juga menyadari kendala pengusaha seiring penumpukan CPO di kilang-kilang pabrik, dan juga pelabuhan. Namun demikian, lanjutnya, jika pengusaha bersedia masih banyak produk yang bisa diproduksi dari kelapasawit. “Pengusaha lebih taulah itu, makanya kita berharap itu bisa dikembangkan,” tambahnya.
Pengamat ekonomi Jhon Tafbu Ritonga menilai penurunan PE CPO tersebut sudah terlambat. Mengingat CPO di pabrik sudah menumpuk, dan permintaan belum juga kembali seperti dulu. Sehingga, kondisi ini tidak akan begitu berpengaruh lagi terhadap harga TBS.
“Untuk ekspor mungkin masih bisa naik, tetapi untuk harga TBS masih menunggu waktu dulu. Soalnya, sekarang ini stok CPO mungkin masih banyak,” katanya, seraya menilai penghapusan PE CPO yang terlambat, bisa menyebabkan kebijakan tersebut tidak lagi efektif.
Sementara Bendahara Gabungan Pengusaha Kelapasawit Indonesia (Gapki) Sumut Laksamana Adiyaksa mengatakan, permintaan pasar internasional yang masih lemah menjadi kendala. Sebab, ekspor tidak serta merta bisa dinaikkan. Karena itu, pihaknya belum bisa memperkirakan harga TBS bisa naik.

PKS Tolak Beli TBS
Asmar Arsjad mengemukakan kini petani kelapasawit semakin kewalahan setelah harga TBS ambruk menjadi Rp 150/kg. Pasalnya, beberapa Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang memiliki perkebunan plasma mulai mengurangi pembelian Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit dari petani, bahkan beberapa di antaranya ada yang melakukan penolakan. “PKS yang punya kebun sudah membatasi produksi. Sehingga mereka cukup memanfaatkan hasil dari perkebunan plasma masing-masing,” katanya.
Ditambahkannya, pada keadaan normal, sekitar 40% hasil produksi petani masih bisa diserap oleh PKS plasma ini. Akan tetapi, terjadinya penumpukan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di pabrik menyebabkan, pengusaha mengurangi produksi. Keadaan ini, semakin parah dengan menurunnya permintaan dari negara-negara buyer.
“Saat pasar lelang sangat minim. Begitu juga dengan harga yang masih sangat rendah Rp4.180/kg. Penumpukan pun semakin menjadi, akibat sedikitnya transaksi,” papar Asmar Arsjad.
Dengan kondisi ini, lanjutnya, petani mulai mengarahkan penjualan TBS-nya bagi PKS yang tidak memiliki kebun. Meskipun, harus menanggung resiko harga yang lebih murah. Dan pada umumunya, yang menempuh jalur ini adalah petani yang belum memiliki hubungan kemitraan dengan pabrik. “Tidak ada pilihan lain bagi petani, karena PKS tanpa kebun masih membutuhkan TBS untuk diolah,” lanjutnya, seraya mengatakan, PKS tanpa kebun ini tetap mengambil bahan baku dari petani-petani bebas tersebut.
Ditambahkannya, dari total sekitar 45 PKS di Sumut, 16 diantaranya belum memiliki kebun plasma.
Untuk itu, lanjutnya, PKS tanpa kebun dan kebun yang masih belum memenuhi produksi sesuai kapasitas terpasang diharapkan mampu meningkatkan produksinya. Sehingga, TBS yang diproduksi petani bisa terserap dan membantu petani dari keterpurukan.
Menanggapi hal ini, Laksamana Adiyaksa kembali mengatakan, pembatasan pembelian itu mungkin saja terjadi. Pasalnya, hingga saat ini rata-rata tangki penyimpanan CPO di pabrik sudah mencapai 80%. Jika ini maksimalkan, dapat menggangu operasi pabrik yang bersangkutan. “Kalau dimaksimalkan, tentu sangat beresiko di tengah permintaan pasar yang masih rendah. Kita justeru khawatir pabrik bisa stop beroperasi, kalau itu dipaksakan,” katanya, melalui saluran telepon.

Volume Meningkat, Nilai Ekspor Tetap

Kamis, 30 Oktober 2008

JAKARTA - Pemerintah telah mengelurkan 10 paket kebijakan stabilisasi ekonomi. Salah satu adalah tentang penurunan pungutan ekspor (PE) minyak kelapa sawit (crude palm oil atau CPO) menjadi nol persen. Lewat kebijakan itu, diharapkan mampu mendongkrak volume ekspor CPO.

"Volume ekspor CPO November nanti bisa meningkat menjadi satu juta ton. Namun, nilainya tetap akan rendah," ujar Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Derom Bangun kemarin (29/10). Pungutan ekspor nol persen memang akan diberlakukan secara efektif mulai 1 November mendatang. Departemen Perdagangan sendiri sempat menetapkan PE CPO 2,5 persen untuk bulan November, dari sebelumnya 7,5 persen di bulan Oktober.

Derom mengatakan, volume ekspor CPO bulanan saat ini hanya berkisar 700 ribu ton per bulan. Itu terjadi setelah harga CPO internasional turun drastis dalam dua bulan terakhir. Memang, harga CPO pada Juli 2008 sempat mencapai USD 1.220 per ton, sehingga PE saat itu ditetapkan sebesar 20 persen.

"Biasanya, untuk mengekspor 1 juta ton per bulan, kalau harganya USD 1.000 maka nilai ekspornya bisa USD 1 miliar. Dengan harga sekarang (USD 500-600 per ton) dan volume hanya 700 ribu ton per bulan, paling nilainya berapa," terangnya.

Sementara itu, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan, harga patokan ekspor (HPE) CPO yang baru akan segera keluar dalam dua hari ini, untuk menyertai penetapan pungutan ekspor nol persen. Untuk itu, Depdag akan segera merevisi Permendag No.38/M-DAG/PER/10/2008 tentang HPE CPO sebelum 1 November. "Seharusnya selesai dalam dua hari ini untuk berlaku per 1 November"lanjut Mari.

Pada 22 Oktober lalu, Depdag telah menerbitkan Permendag yang menetapkan HPE untuk November dan patokan harga penentu persentase PE masing-masing USD 573 per ton dan trigger price USD 646,84 per ton, sehingga PE November menjadi 2,5persen. Namun Permendag itu harus direvisi dengan keluarnya 10 kebijakan stabiisasi ekonomiyang salah satu poinya menurunkan PE CPO menjadi nol persen. (wir/bas)

Timbang-timbang Saham CPO

30/10/2008 05:57
Asteria

INILAH.COM, Jakarta – Harga komoditas dunia yang anjlok membuat saham berbasis perkebunan minyak kelapa sawit dihindari investor. Namun, berbagai sentimen masih perlu dicermati karena saham sektor ini masih memiliki potensi menarik.

Pada penutupan perdagangan Rabu (29/10), saham-saham perkebunan minyak kelapa sawit (CPO) terpantau bergerak variatif. Saham PT Astra Agro Lestari (AALI) menguat 100 poin ke level Rp 4.700, setelah sebelumnya terperosok jauh dari posisi awal Oktober di level Rp 10.000 dan di awal September di level Rp 18.200 per lembarnya.

Demikian juga saham PT London Sumatera Plantations (LSIP) terpantau naik 90 poin ke Rp 1.570, setelah awal Oktober bertengger di level Rp 2.675 dan awal September di level Rp 5.900.

Adapun saham PT Bakrie Sumatera Plantation (UNSP) tercatat terus melemah. Kemarin saham ini turun 20 poin ke level Rp 205, setelah awal Oktober di level Rp 460 dan awal September lalu masih bercokol di harga Rp 1.170 per lembar.

Secara keseluruhan sejak awal September hingga hari ini, saham UNSP anjlok paling parah yaitu mencapai 47,07%, diikuti AALI yang turun 28,7%, dan kemudian LSIP yang jatuh 27,8%. Jatuhnya saham CPO dipicu melorotnya harga minyak kelapa sawit di pasar internasional.

Harga CPO di Rotterdam untuk pengiriman November-Desember 2008, terpantau turun US$ 60 (12,1%) menjadi US$ 435 per ton. Padahal awal bulan ini saja, harga CPO masih di level US$ 675 per ton.

Analis Ikhsan Binarto mengatakan, harga CPO masih akan mengalami pelemahan karena merosotnya permintaan dunia sebagai dampak dari resesi. Namun, lanjutnya, yang lebih dikhawatirkan sebenarnya adalah penurunan demand CPO dari China akibat pelambatan ekonomi di negeri tirai bambu tersebut.

Pasalnya, produksi minyak kelapa sawit Indonesia lebih banyak diolah menjadi minyak sayur (cooking oil) yang menjadi konsumsi China. Sedangkan industri sawit Indonesia tidak banyak mengolah CPO menjadi biofuel yang banyak dikonsumsi negara besar seperti AS dan Eropa.

Penurunan harga komoditas pun berimbas pada kinerja perseroan. Lihat saja UNSP yang semula optimistis dapat mencapai target perseroan, mulai menunjukkan keraguannya.

Pada paparan publik beberapa waktu lalu, manajemen mengatakan kinerja perseroan pada kuartal IV 2008 akan melemah sehingga target laba bersih perseroan tahun 2008 sebesar Rp 600 miliar diperkirakan tidak tercapai. Adapun konsensus laba bersih UNSP untuk 2008 adalah Rp 504 miliar.

Sementara perusahaan perkebunan sawit LSIP melakukan pembelian kembali saham (buyback) untuk mendongkrak nilai sahamnya. LSIP menganggarkan dana Rp 627,7 miliar untuk buyback saham untuk membeli 3,145 juta unit senilai Rp 6,231 miliar. Jumlah maksimal saham yang akan dibeli kembali sebanyak 20%.

Adapun kinerja AALI pada kuartal ketiga 2008 menunjukkan peningkatan penjualan bersih 62,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi Rp 6,7 triliun. Sedangkan laba bersih konsolidasi naik 65,6% menjadi Rp 2,1 triliun.

Kendati menunjukkan peningkatan, penjualan bersih AALI sebenarnya turun 13,4% dibanding kuartal kedua kemarin. Demikian juga laba bersih yang turun 30,9%. Hal ini disebabkan harga jual CPO kuartal ketiga ini yang merosot 15,2% menjadi Rp 7,285 dari sebelumnya Rp 8,587.

Namun, analis Kresna Graha Sekurindo Jordan Zulkarnaen mengatakan, sektor perkebunan CPO sebenarnya masih mengalami pertumbuhan di tengah perlambatan ekonomi.

Hal ini mengingat, minyak kelapa sawit adalah salah satu kebutuhan pokok energi atau energi alternatif primer pertama. “Demandnya masih akan terus ada, tidak pernah nol,” katanya.

Jordan memaparkan, pendapatan sektor ini masih bisa menunjukkan pertumbuhan karena ekspansi sudah dilakukan perseroan sejak 2006. Pendapat ini merujuk pada industri perkebunan kelapa sawit yang sudah beroperasi sejak generasi pertama, seperti AALI dan UNSP.

Kedua perusahaan ini ini sudah mempunyai landbank yang luas seiring gencarnya aksi akuisisi lahan, berlanjut pada peningkatan produksi. “Ini berarti, kalau harga CPO sekarang turun, ongkos produksi mereka masih relatif rendah. Sehingga profit marginnya masih ada,” paparnya.

Hal senada diungkapkan Analis IndoMitra Securities, David MJ Ferdinandus yang merekomendasi beli untuk AALI dan UNSP dengan target harga masing-masing Rp 4.700 dan Rp 200 per lembarnya. “Meskipun tergerus sentimen negatif dari penurunan harga CPO, kinerja perseroan masih cukup baik,” katanya.

Selain itu, kabar baik datang dari Pemerintah yang akhirnya menurunkan pungutan ekspor (PE) CPO menjadi nol persen per 1 November. Keputusan ini diambil pemerintah dan dicantumkan dalam 10 langkah mengatasi krisis. “Penurunan PE ini akan menggairahkan sektor CPO di tengah harga jual yang terus turun,” pungkas David. [E1]

source: inilah.com

Jurus Antisipasi Krisis Jangan Melempem di Pelaksanaan

Kamis, 30 Oktober 2008 00:03 WIB

TERBITNYA jurus baru penangkal krisis oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono Selasa (28/10) malam, mendapat tanggapan positif oleh kalangan usaha.
Sejauh ini mereka menilai jurus-jurus tersebut bisa membantu pemulihan ekonomi nasional, asalkan ada komitmen agar kebijakan tersebut tidak 'melempem' di tengah jalan.
"Pengusaha senang, setuju, dan mendukung keputusan itu (langkah atasi
krisis), akan tetapi jangan ragu dalam mengimplementasi berbagai kebijakan demi mendukung dunia usaha," kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi menanggapi 10 kebijakan untuk mengatasi gejolak keuangan yang terjadi saat ini.
Seperti diberitakan Media Indonesia (29/10), 10 jurus tersebut juga menyentuh sektor riil. Antara lain membatasi impor barang garmen, elektronik, makanan, minuman, mainan anak-anak, dan sepatu.
Juga akan membatasi tempat pembongkaran komoditas tersebut, yakni di Pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Emas, Tanjung Perak, Belawan, Makassar, serta dua bandara yakni Bandara Soekarno-Hatta dan Bandara Juanda.
"Dari dulu... berantas barang ilegal, berantas penyelundupan. Tetapi, kenyataannya barang impor membanjiri dan merusak pasar dalam negeri," kata Sofyan.
Karena itu, saat ini, tegasnya, yang penting adalah pelaksanaan di lapangan harus konkret. Tidak hanya janji-janji yang selalu menjadi jargon dalam menjaga kesinambungan ekonomi.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno bahwa keputusan yang tepat membutuhkan kecepatan untuk mengeksekusinya.
"Agar kepercayaan tidak semakin tererosi. Sebelumnya Presiden telah mengeluarkan arahan serupa dalam ten commandemend terdahulu. Namun upaya menggerakkan sektor riil belum terlaksana di tataran teknis," papar Benny.
Soal itu, Sekjen Electronic Marketer Club (EMC) Handojo Sutanto mencontohkan masih ada beberapa bank yang enggan memfasilitasi penjaminan ekspor akibat terlalu berisiko. "Ada beberapa bank yang mengurangi transaksi letter of credit (LC) karena adanya risiko di bank korespondensi," ucap Handojo.
Adapun, soal pembiayaan ekspor ini, dalam 10 langkah yang akan diambil pemerintah untuk atas krisis disebutkan bahwa untuk menjaga keberlangsungan ekspor, pemerintah dan BI akan menyediakan fasilitas rediskonto wesel ekspor mulai 1 November mendatang.

Pajak ekspor CPO
Sementara itu, mengenai penghapusan pajak ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) pengusaha sawit menyambut baik kebijakan tersebut. Aturan baru itu diharapkan dapat menggenjot ekspor CPO dalam dua bulan terakhir dari 500 ribu ton menjadi 700 ribu ton.
Menurut Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Derom Bangun, ekspor CPO per bulan telah mengalami penurunan sejak Agustus sebesar 50%, dari satu juta ton menjadi setengah juta ton. "Dengan ketentuan PE 0% ini, untuk ekspor November diharapkan naik jadi 700 ribu ton," katanya di Jakarta, Rabu (29/10).
Kendati demikian, secara terpisah, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Akmaluddin Hasibuan mengatakan target ekspor CPO sebanyak 14 juta ton tetap tidak bisa tercapai.
"Ini kebijakan yang sebenarnya sedikit terlambat. Sekarang masalahnya permintaan turun akibat krisis keuangan global yang berdampak pada turunnya konsumsi," katanya.(Ant/E-1)

source: mediaindonesia.com

Aturan Pajak Ekspor Nol Persen Segera Terbit

Rabu, 29 Oktober 2008 | 15:41 WIB


TEMPO Interaktif, Jakarta: Pemerintah akan segera mengeluarkan peraturan yang menetapkan pungutan ekspor nol persen untuk minyak kelapa sawit.

"Kami masih menunggu surat keputusan Menteri Keuangan. Setelah itu baru Peraturan Menteri Perdagangan dikeluarkan," kata Direktur Jenderal Perdagangan Diah Maulida, hari ini.

Kemarin malam, pemerintah mengeluarkan sepuluh kebijakan untuk menanggulangi krisis ekonomi global. Salah satunya menurunkan pungutan ekspor minyak sawit menjadi nol persen mulai tanggal 1 November nanti.

Padahal, 28 Oktober lalu, baru saja Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menetapkan pungutan ekspor sebesar 2,6 persen. Menurut Mari, keputusan baru itu nantinya akan berlaku untuk bulan November saja, tidak untuk seterusnya.

Bunga Manggiasih

Kebutuhan CPO Domestik Aman

Rabu, 29 Oktober 2008 | 11:42 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) untuk kebutuhan dalam negeri saat ini masih aman meskipun pajak ekspor produk komoditas itu diturunkan nol persen.

"Produksi CPO Indonesia mencapai 19 juta ton per tahun. Kebutuhan dalam negeri mencapai 5 persen dari total produksi," ujar Sekretaris Tim Nasional Bahan Bakar Nabati dan Direktur Jenderal Migas Departemen ESDM Evita Legowo pagi tadi, Rabu (29/10), di Jakarta.

Evita melihat Indonesia tidak harus membatasi ekspor mengingat kebutuhan CPO untuk produk makanan dalam negeri mencapai 4 juta ton per tahun. Sementara CPO untuk bahan bakar mencapai 3 juta ton per tahun.

Namun demikian, pemerintah perlu mengeluarkan Domestic Mandatory Obligation (DMO) untuk menjamin pasokan dan produksi dalam negeri. "Kita perlu mewaspadai Amerika Serikat yang mulai membatasi impor CPO," katanya.

Sorta Tobing

Ekspor Sawit Anjlok Hingga Akhir 2008

Rabu, 29 Oktober 2008 20:34 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Kebijakan pemerintah menurunkan pungutan ekspor menjadi nol persen belum mampu manaikkan ekspor minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO). Kebijakan itu merupakan salah satu dari 10 jurus pemerintah untuk mengatasi dampak krisis keuangan global.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Derom Bangun memperkirakan, sampai akhir tahun ekspor masih lemah, hanya berkisar antara 500-700 ribu ton. "November mendatang, ekspor CPO belum bisa pulih, karena permintaan dunia sedang lesu," ujarnya, Rabu (29/10).

Derom menuturkan, sejak Agustus lalu, ekspor CPO anjlok hampir 50 persen, dari satu juta ton per bulan menjadi sekitar 500 ribu ton. Padahal dari Januari sampai Juli lalu, ekspor CPO masih satu juta ton. Anjloknya ekspor karena para pembeli dari luar negeri banyak yang membatalkan kontrak. Target ekspor tahun ini sekitar 14 juta ton dari total produksi CPO dalam negeri sekitar 18,8 juta ton. Sisanya untuk memasok kebutuhan CPO domestik.

Para pembeli CPO Indonesia antara lain, India, Pakistan, Cina dan Eropa. Ekspor CPO ke India sekitar empat juta ton, Pakistan 740 ribu ton, Cina sebesar 2-2,5 juta ton, sisanya Eropa.

Menurut Derom, ekspor CPO akan pulih enam bulan mendatang atau pada April-Mei tahun depan. Alasannya, ekspor CPO dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, seberapa besar pengaruh krisis keuangan global terhadap pembeli. Kedua, harga minyak mentah dunia. Apabila harga minyak mentah dunia lemah, maka harga CPO turut melemah. Selain itu, ketika harga minyak mentah dunia lemah, penyerapan CPO ikut lemah. "Tergantung, apakah negara-negara pengimpor itu bisa mengatasi dampak krisis keuangan global atau tidak," ujarnya.

Harga CPO saat ini Rp 4.100 per ton, sedangkan di Eropa US$ 460 per ton. Maret lalu, harga di Eropa US$ 1.300 per ton. Artinya, ada penurunan harga sekitar 60 persen. Meski terjadi penurunan harga, kata Derom, para petani tetap memanen kelapa sawit mereka. "Mereka tidak akan membiarkan buah membusuk," katanya.

Harga sawit di tingkat petani saat ini sekitar Rp 300 dan Rp 600-700 per kilogram di pabrik. Akibat penurunan harga saat ini stok CPO melimpah sekitar tiga juta ton dari 1,6-1,8 juta ton.

NIEKE INDRIETTA

source: tempointeraktif.com

Industri Hilir Kelapa Sawit Harus Dibangun di Riau

29 Oct 2008 11:19 wib
ad

PEKANBARU (RiauInfo) - Upaya yang dapat dilakukan untuk mkengantisipasi anjloknya harga buah sawit di Riau adalah dengan membangun industri hilir kelapa sawit di daerah ini. Jika industri hilir ini ada di Riau, maka harga sawit di daerah ini tidak lagi tergantung pada permintaan CPO dari luar negeri.

Pengamat ekonomi dari Universitas Riau Edyanus Herman Halim mengatakan, upaya Pemprov Riau agar dibangun industri hilir di Riau tidak bisa hanya dengan memohon pada pemerintah saja. Pemprov Riau harus lebih dahulu membangun infrastruktur yang dibutuhkan untuk industri tersebut.

Tanpa adanya dibangunnya infrastruktur yang dibutuhkan, tidak mungkin investor akan tertarik menanamkan modalnya di bidang industri hilir kelapa sawit di Riau. "Pemerintah pusat juga tidak akan merespon keinginan Pemprov Riau itu," jelasnya.

Dia mengatakan, salah satu infrastruktur yang diperlukan investor adalah jalan, air dan listrik. Ketiga hal inilah yang sangat mendasar dibutuhkan untuk membangun industri hilir kelapa sawit. "Makanya Pemprov Riau harus terlebih dahulu menyediakannya," jelas dia lagi.(Ad)

source: riauinfo.com

Kemiskinan Riau Bakal Naik dari 11 menjadi 32 Persen

29 Oct 2008 11:17 wib
ad

PEKANBARU (RiauInfo) Anjloknya harga sawit akhir-akhir ini tidak pelak lagi membuat banyak petani sawit di Riau jatuh miskin. Hal ini berdampak dari naiknya angkat kemiskinan di Riau yang sebelumnya hanya tercatat 11 persen, kini menjadi 32 persen.

Hal itu dikatakan Kepala Dinas Perkebunan Riau, Soesilo di Pekanbaru terkait masih anjloknya harga buah sawit saat ini. Dia mengatakan naik pesatnya angka kemiskinan ini disebabkan jumlah warga Riau yang berkecimpung dalam bidang persawitan ini sangat besar.

Dia menyebutkan, untuk saat ini saja jumlah petani sawit di Riau sudah mencapai 941 ribu kepala keluarga. Jumlah ini belum termasuk yang bekerja sebagai pendodok sawit, pembersihan pohon sawit, dan transportasi buah sawit dan sebagainya.

"Jadi kalau anjloknya harga sawit ini berlangsung berbulan-bulan, maka dapat dipastikan orang-orang yang berkecimpung di usaha sawit akan jatuh miskin," ujarnya. Kendati selama ini mereka memiliki saving uang, tapi karena anjloknya sawit dalam waktu lama, uang tersebut pasti akan terpakai juga.

Terkait hal itu, dia berharap pemerintah pusat memberikan kemudahan bagi investor untuk mendirikan industri yang menggunakan bahan baku CPO di dalam negeri. Kalau bahan baku CPO itu termanfaatkan di dalam negeri, tentunya produksi CPO tidak lagi tergantung pada permintaan luar negeri. "Dengan demikian buah sawit yang diproduksi para petani akan termanfaatkan secara maksimal sehingga dengan sendirinya harga akan bisa terdongkrak," jelasnya. Dia menyebutkan, kalau kondisi masih tetap seperti sekarang ini dia memperkirakan anjloknya harga sawit akan terus terjadi sampai 6 bulan mendatang.(ad)

source: riauinfo.com

Harga TBS Kelapa Sawit Terus Anjlok

ekonomi
Rabu, 29 Oktober 2008 - 10:09 wib

MEDAN - Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit terpuruk hingga di bawah Rp200 per kg. Akibatnya, petani tidak memanen karena biaya operasional lebih tinggi.

Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumatera Utara (Sumut) Timbas Ginting mengatakan, penurunan harga minyak internasional menyeret harga kelapa sawit ke level terendah. Dengan kondisi ini, Pabrik Kelapa Sawit Tanpa Kebun (PKSTK) kini kesulitan bahan baku akibat tidak ada pasokan dari petani."Pabrik yang tidak memiliki kebun dan pabrik dengan 30 persen bahan baku dari rakyat kekurangan pasokan, karena banyak petani tidak melakukan panen," ujar Timbas di Medan.

Saat ini terdapat 21 PKSTK yang tersebar di Sumut yang bergantung pada pasokan bahan baku dari petani. Hanya pabrik kelapa sawit PTPN yang tidak menggunakan pasokan bahan baku dari hasil perkebunan rakyat. Dengan demikian, sebagian pabrik di Sumut masih membutuhkan pasokan dari petani, setidaknya 30 persen dari kapasitas produksi. Menurut dia, pemilik pabrik tidak mampu menaikkan harga sawit agar petani tetap melakukan panen.

Persoalannya, harga saat ini sudah sangat tipis dengan biaya produksi. "Pabrikan saat ini masih menghargai kelapa sawit pada kisaran Rp600-700 per kg. Sementara harga di tingkat petani ditentukan pengumpul atau lebih murah, karena dipotong biaya transportasi," jelas Timbas.

Dengan harga pabrik Rp600-700 per kg, harga TBS di tingkat petani akan bervariasi tergantung jarak dari pabrik. Harga bisa dibanderol mulai Rp300 ke bawah. Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Asmar Arsyad mengatakan, harga impas (break even point/BEP) kelapa sawit petani setidaknya Rp400 per kg.

Jadi, wajar jika petani tidak memanen karena harga kelapa sawit di bawah Rp300 per kg.Apalagi lokasi kebun jauh dari jalan raya, maka TBS hanya dihargai Rp150 per kg. "Untuk biaya dodos (alat pemetik buah sawit) dan pemikulan ke pinggir jalan saja, harga Rp150 tidak cukup. Padahal, kebun sawit rakyat kebanyakan jauh dari pabrik,"ujarnya.

Luas perkebunan kelapa sawit rakyat mencapai sekitar 32 persen dari total luas perkebunan sawit di Sumut. Berdasarkan data 2007, luas perkebunan rakyat mencapai 354.044 ha, 302.241 ha milik PTPN, dan 436.970 ha milik perusahaan swasta.

Khaidir Aprin, 48, petani asal Asahan, mengatakan sebagian petani saat ini menyerahkan kelapa sawitnya untuk dipetik siapa saja tanpa dipungut bayaran."Sebab, jika tandan matang tidak diturunkan akan merusak tanaman kelapa sawit," katanya. Tindakan itu dilakukan warga yang memiliki kebun jauh dari pabrik. Meski sudah diserahkan begitu saja, tidak semua kelapa sawit dipanen, karena biaya pemetikan tidak sesuai lagi dengan harga jual.

Petani lainnya, Kamil, 50, warga Padang Lawas, menyatakan sudah dua pekan terakhir harga sawit mereka jual seharga Rp200 per kg. "Terpaksalah, karena harga kelapa sawit saat ini untuk biaya hidup saja tidak cukup," ujarnya.

Biodiesel

Sementara itu, pemerintah meminta produsen biodiesel segera meningkatkan kapasitas produksinya dengan menyerap sebanyak-banyaknya kelapa sawit yang kini sedang melimpah. Dirjen Migas Departemen ESDM Evita Legowo mengatakan, penurunan harga kelapa sawit belakangan ini membuat harga biodiesel akan semakin kompetitif.

"Pengusaha harus menangkap peluang ini," katanya. Apalagi, lanjutnya, PT Pertamina sudah berkomitmen menyerap secara maksimal produk biodiesel. Evita menambahkan, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM No32/ 2008 yang mewajibkan pemanfaatan bahan bakar nabati bagi industri. (sindo//rhs)

source: okezone.com

Cari di Google

Google
 
Web kabarsawit.blogspot.com