Monday, November 3, 2008

Ekspor Turun Terimbas Harga Migas

[ Selasa, 04 November 2008 ]

JAKARTA - Turunnya harga minyak dan gas (migas) ikut memengaruhi nilai ekspor. Secara keseluruhan, nilai ekspor mengalami penurunan. Ekspor September misalnya, hanya mencapai USD 12,23 miliar atau menurun 2,15 persen dibanding Agustus 2008. Namun jika dibandingkan September tahun lalu, masih bertumbuh 28,53 persen.

Ekspor migas sendiri anjlok drastis hingga 17,13 persen, yakni dari USD 2,9 miliar menjadi USD 2,4 miliar. "Ekspor total turun karena penurunan tajam pada ekspor migas," kata Kepala BPS Rusman Heriawan di kantornya kemarin (3/11).

Untuk ekspor non migas, kata Rusman, masih tumbuh 2,45 persen hingga mencapai USD 9,8 miliar. Dibanding September tahun lalu, ekspor non migas malah tumbuh lebih tinggi, yakni 31,7 persen.

Minyak kelapa sawit (CPO) masih terus memegang peranan kinerja ekspor. Peningkatan tertinggi ekspor non migas pada September terjadi pada lemak dan minyak hewan dan nabati, termasuk CPO sebesar USD 191,2 juta.

Secara kumulatif, ekspor Januari-September telah mencapai USD 107,65 miliar, atau tumbuh 29,69 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Sedangkan ekspor nonmigas mencapai USD 83,31 miliar atau meningkat 23,36 persen.

Rusman mengatakan ekspor tahun ini masih belum akan terpengaruh krisis finansial di AS dan Eropa. Ini karena efek putaran pertama tidak dialami oleh Indonesia. Ekspor ke AS bahkan masih berada di urutan kedua setelah Jepang dengan nilai USD 1,23 miliar. Revisi target ekspor baru akan dilakukan pada 2009, karena dampak putaran keduanya sudah akan menerpa Indonesia.

"Ekspor 2008 ini biar bagaimanapun masih aman, karena kita tidak kena first round effect," jelas Rusman. Di sisi lain, nilai impor pada September mencapai USD 11,21 persen atau menurun 5,53 persen dibanding Agustus. Impor migas mencapai USD 2,52 miliar dan non migas USD 8,69 miliar.

Terkait industri dalam negeri, produksi industri pengolahan besar dan sedang pada Triwulan III 2008 naik 1,60 persen. Pertumbuhan tersebut paling besar disumbang oleh industri jenis alat angkutan selain kendaraan bermotor roda empat sebesar 48,03 persen. Juga, industri furnitur dan pengolahan lainnya 43,43 persen. "Jadi belum terlihat gejala industrialisasi," timpalnya.

Namun lampu kuning terjadi pada industri pengolahan besar dan sedang yang mengalami penurunan produksi sebesar 1,79 persen pada September. Jika dibandingkan dengan September tahun lalu, juga menurun 0,85 persen. (sof/bas)

source: jawapos.com

Harga patokan ekspor CPO November 573 dolar AS

Tuesday, 04 November 2008 06:01 WIB
WASPADA ONLINE

JAKARTA - Setelah menerapkan pungutan ekspor sebesar 0 persen, pemerintah mengubah Harga Patokan Ekspor (HPE) untuk kelapa sawit, CPO dan produk turunannya untuk periode 130 November 2008.
Menurut siaran pers dari Depdag, Senin (3/11), keputusan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No: 40/MDAG/PER/10/2008.

Harga rata-rata produk CPO untuk November sebesar 646,84 dolar AS per metrik ton. Berikut harga patokan ekspor untuk beberapa produk CPO.

HPE Crude Palm Oil (CPO) menjadi 573 dolar AS per metrik ton. Buah dan Kernel Kelapa Sawit ditetapkan sebesar 320 dolar AS per metrik ton, crude olein sebesar 603 dolar AS per metrik ton, crude stearin sebesar 480 dolar AS per metrik ton, crude palm kernel oil sebesar 823 dolar AS per metrik ton, crude kernel stearin sebesar 823 dolar AS per meterik ton, RBD palm olein sebesar 636 dolar AS per metrik ton.

Pemerintah sebelumnya menerapkan PE CPO sebesar 0 persen pada Selasa 28 Oktober lalu. Keputusan itu merupakan bagian dari 10 kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengantisipasi krisis keuangan global.

Ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) kembali mencatat kenaikan. Penurunan pungutan ekspor CPO diyakini menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kenaikan ekspor CPO. Hal tersebut disampaikan Kepala Badan Pusat Statistik Rusman Heriawan dalam jumpa pers di gedung BPS, Jalan Dr Sutomo, Jakarta, Senin (3/11).

"Ekspor terbesar di September tetap CPO yang memainkan peranan. Jadi dalam 5 bulan terakhir, naik turunnya ekspor itu karena CPO. sebab kan terjadi fluktuasi harga CPO. Kemudian kebijakan penurunan pajak ekspor CPO juga berpengaruh terhadap kenaikan ekspor CPO pada September," ujarnya.

Pada September, pajak ekspor CPO diturunkan menjadi 10 persen, kemudian Oktober pajak ekspor ditetapkan sebesar 7,5 persen. Setelah itu di November ini, pajak ekspor CPO ditetapkan sebesar 0 persen.
"Saya kira kalau CPO bisa diterapkan 0 persen bisa lebih kencang lagi ekspornya, jadi naik turunnya ekspor masih ditentukan oleh CPO sampai saat ini," ujarnya.

Pada September, berdasarkan catatan BPS memang ekspor non migas khususnya untuk lemak dan minyak hewan nabati mengalami peningkatan terbesar 303 juta dolar AS.

Di sisi lain, penurunan harga minyak justru mengurangi ekspor produk minyak dan bahan bakar mineral. Penurunan terbesar terjadi pada ekspor bahan bakar mineral sebesar 191,2 juta dolar AS.
"Itu karena penurunan harga minyak di mana ekspor minyak mentah itu turun 14,5 persen menjadi 1,011 miliar dolar AS," ujarnya.

Ekspor hasil minyak juga turun 39,05 persen menjadi 234,7 juta dolar AS. Ekspor gas juga mengalami penurunan 13,23 persen menjadi 1,187 miliar dolar AS pada September 2008.
"Hal ini dikarenakan harga minyak mentah Indonesia di pasar dunia turun dari 115,56 dolar AS per barel di Agustus menjadi 99,06 dolar AS per barel di September 2008.
(wir/dcm)

source: waspada.co.id

Pengusaha Kelapa Sawit Tunda Pengembangan Usaha


Senin, 3 November 2008 21:36 WIB

MEDAN, SENIN - Pengusaha kelapa sawit di Sumatera Utara menunda pengembangan usaha sampai satu tahun ke depan. Penekanan usaha ini dilakukan sampai 50 persen dari seluruh rencana sebelumnya. Mereka menunggu sampai harga sawit kembali menguntungkan seperti pada bulan April lalu.

Sekarang kondisinya sulit. Pupuk mahal, harga sawit turun tajam. "Kami tidak melakukan kegiatan yang tidak perlu terlebih dahulu," kata Direktur Produksi PT Perkebunan Nusantara IV Balaman Tarigan, Senin (3/11) di Medan.

Balaman mengatakan penekanan pengembangan usaha ini tidak sampai menghentikan produksi di PTPN IV. Secara umum, hal yang sama juga dilakukan perusahaan perkebunan di Sumut. Efisiensi usaha ini dilakukan sejak terjadinya gejolak harga kelapa sawit.

PTPN IV mempunyai lahan tanam kelapa sawit seluas 141.379 hektar, 5.396 di antaranya merupakan area lahan tanam teh. Sampai Senin (3/11) sore, harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) di pasaran Rp 4.900 per kilogram (kg) termasuk pajak 10 persen. Pengusaha baru bisa menikmati untung jika harga pasaran minyak sawit mentah lebih dari Rp 6.000 per kg.

Lesunya perdagangan CPO di pasaran terlihat di Pelabuhan Belawan, Medan. Penyelia Perencanaan Pusat Pelayanan Satu Atap PT Pelabuhan Indonesia I Cabang Belawan, Mulyono mengatakan Senin kemarin hanya ada satu kapal yang melakukan pengapalan. Padahal, biasanya dermaga curah cair Ujung Baru Belawan Medan bisa disandari sampai empat kapal tangker.

Sekarang sepi sekali. Di perairan lampu satu Belawan hanya ada dua kapal yang parkir. Kapal berbendera Singapura dan Panama ini menunggu sampai pungutan pajak ekspor turun menjadi 0 persen. Dua kapal ini berencana menuju India, kata Mulyono.

source: kompas.com

Sawit Turun, Penjualan Pupuk Nol %

Senin, 03 November 2008
KOTA (RP) — Kian merosotnya harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit bukan hanya dikeluhkan oleh petani, namun juga berdampak terhadap sepinya penjualan pupuk di tempat penjualan pupuk. Bahkan sebelum dan pasca-hari raya, pedagang pupuk nyaris sepi penjualan pupuk.

Seperti yang diungkapkan Drs H Zaidin Zam, salah seorang pedagang pupuk di Jalan HR Soebrantas Pekanbaru. Menurutnya penjualan pupuk sepi seiring kian merosotnya harga sawit.

‘’Sejak puasa hingga sekarang ini penjualan nol persen. Petani langganan biasanya pun tak datang-datang lagi, mungkin kesulitan keuangan sejak harga sawit merosot,’’ ujar pengusaha sukses ini.

Hal ini bisa dimakluminya, karena petani kesulitan keuangan akibat merosotnya harga sawit yang berdampak menurunnya daya beli petani.

‘’Petani sawit saat ini memang sedang kesulitan akibat menurunnya harga sawit. Bukan hanya tidak memakai pupuk, panen saja petani sudah malas. Bahkan ada suatu daerah seperti kita baca di koran, petaninya membiarkan sawit mereka busuk di pokok sawit,’’ sebutnya.

‘’Kalau dibandingkan sewaktu hari raya harga pupuk saat ini sedikit mengalami penurunan, tapi penurunan itu tetap tidak sesuai dengan harga penjualan sawit. Harga sawit tinggal Rp300, bahkan banyak petani yang milih tidak memanen kebun sawitnya. Akibatnya petani tak sanggup membeli pupuk,’’ sebut Caleg Partai Golkar untuk DPRD Riau dari Dapil Siak-Pelalawan tersebut.(mar)

source: riaupos.com

Bawalah CPO kembali terbang

Senin, 03/11/2008
Bagian pertama dari dua tulisan

Pada Mei 2008. saat harga crude palm oil mendekati US$800 per ton, sikap optimistis dari kalangan minyak sawit mentah itu-harga akan menembus level harga tertinggi sepanjang sejarah sawit di Indonesia yakni US$450 per ton pada 2007-terasa sekali. Kebahagiaan memuncak dalam dada mereka.

"Awal Mei baru sebesar US$ 740 per ton. Tidak tertutup kemungkinan, harga akan terus naik," kata Ketua Harian Gabungan Produsen Kelapa Sawit Indonesia Derom Bangun kala itu.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Akmaluddin Hasibuan memperkirakan, pada tahun depan akan ada koreksi harga pada kisaran US$800 per ton.

Prediksi itu nyaris tidak meleset. Harga yang pada 2005-2006 berada di kisaran US$300 per ton dan US$450 pada 2007, kemudian, tahun ini, sempat mencapai level US$1.200 per ton. Bahkan, kembali diprediksi, akan menembus angka US$1.300 per ton. Sebab, harga minyak mentah dunia terus melonjak.

Kemudian, lembaga pemeringkat Moody`s mengatakan produsen CPO Asia masih akan menikmati tingginya harga komoditas itu di pasar internasional 12-18 bulan mendatang, meski pertumbuhan biofuels hanya tumbuh sedikit.

"Peningkatan yang cepat dan harga tinggi yang terus berlangsung selama 18 bulan terakhir memperkuat neraca keuangan produsen CPO di Asia yang meresponsnya dengan membeli lebih banyak perkebunan dan memperluas areal penanaman," kata Moody`s.

Berdasarkan riset Mandiri Sekuritas belum lama ini, sebelum harga CPO anjlok, saham emiten sektor perkebunan sudah tergolong mahal harganya, tetapi tetap menarik untuk jangka panjang. Hal tersebut ditopang potensi kenaikan harga CPO. Dibandingkan dengan saham-saham emiten perkebunan di Malaysia, saham-saham Indonesia jauh lebih rendah. Oleh sebab itu, Mandiri Sekuritas memprediksi, harga CPO berpotensi meningkat hingga 25% sampai akhir 2008.

Pasar dunia

Tingginya permintaan industri biodiesel dengan menggunakan bahan baku CPO dan minyak nabati lainnya ikut mendorong kenaikan harga CPO di pasar dunia, sedangkan rata-rata kenaikan pendapatan emiten perusahaan perkebunan sawit diproyeksikan tumbuh 5-16% tahun ini.

Di tengah kondisi 'hujan duit' dan prediksi yang melelapkan tidur itu, sejumlah perusahaan ekspansi. PT Sampoerna Agro Tbk, misalnya, melakukan penanaman baru kelapa sawit seluas 4.827 hektare di dua provinsi selama Juni 2008. Hingga Juni 2008, perseroan itu telah merealisasikan penanaman baru di Ogan Komering Ilir (OKI) Sumsel, seluas 3.528 ha.

Per 30 Juni, mereka menambah sekitar 3.500 ha di OKI. Sampai akhir tahun ini, akan tambah lagi. Kendati luasnya akan diperhitungkan kembali. Di Kalbar, Sampoerna diketahui telah merealisasikan penanaman baru di lahan seluas 1.327 ha dari konsesi di kawasan itu seluas 27.370 ha.

PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) juga merencanakan mengakuisisi lahan kosong seluas 200.000 hektare (ha) di Pulau Kalimantan dan Sulawesi sepanjang tahun ini. Nilai akuisisi tersebut diperkirakan mencapai Rp5 triliun dengan asumsi satu hektare lahan senilai Rp 25 juta.

Seiring dengan kebijakan pemerintah lebih mengutamakan CPO di dalam negeri, kebijakan ini juga cukup menguntungkan bagi perseroan dan perusahaan CPO lainnya. Pasalnya, mereka tidak perlu mengeluarkan biaya untuk ekspor.

Tak ayal perusahaan yang ikut bermain di minyak kelapa sawit bertambah. PT Citra Kebun Raya Agri (CKRA) Tbk, ikut mengembangkan minyak kelapa sawit mentah, setelah melihat peluang besar pasar CPO di pasar internasional yang masih tinggi hingga 5-10 tahun mendatang.

Tidak ingin setengah-setengah dalam berbisnis, perusahaan yang awalnya bergerak di bidang properti, dengan nama PT Ciptojaya Kontrindoreksa, mengalihkan 100% fokus bisnis di sektor perkebunan, khusus kelapa sawit.

Di mata mereka, peluang CPO sangat bagus. Harga di dunia kan naik sampai 300%. Maka, perusahaan ini ikut terjun kembangkan CPO, yang baru berjalan 2007 .

PT Gozco Plantations Tbk, juga. Mereka menjajaki pinjaman bank sebesar Rp500 miliar untuk mendukung akuisisi lahan sawit seluas 10.000 hektare senilai Rp800 miliar-Rp1 triliun. (martin.sihombing@bisnis.co.id)

Oleh Martin Sihombing
Wartawan Bisnis Indonesia

source: bisnis.com

RI harus kembangkan industri hilir CPO

Senin, 03/11/2008

Petani kelapa sawit saat ini kelimpungan lantaran anjloknya harga tandan buah segar (TBS) di pasaran. Sebenarnya kemerosotan harga TBS bukan kali ini saja terjadi, melainkan sudah berulang kali. Oleh karena itu, kasus rendahnya harga TBS yang pernah terjadi sebelumnya itu semestinya bisa menjadi pelajaran bagi para petani.

Lebih dari 75% produksi kelapa sawit Indonesia diekspor dalam bentuk minyak mentah sawit atau crude palm oil (CPO). Ini berbeda dengan Malaysia, di mana 80% produksi diekspor dalam bentuk produk yang bernilai tambah hasil kreasi industri hilir.

Ekspor membuat kita menjadi bergantung pada pembeli dari luar negeri. Kalau keuangan mereka sedang sehat, produk kita dibeli semua. Akan tetapi sebaliknya, kalau sedang sakit, kita juga yang harus menanggung derita seperti yang terjadi saat ini sebagai imbas krisis global.

Belajar dari kejadian ini, Indonesia harus segera menggalakkan industri hilir. Untuk masuk ke industri hilir, Indonesia jelas memiliki potensi. Berdasarkan data Kantor Menteri Negara BUMN, sekitar 7,5% dari 29 juta ton produksi CPO dunia dihasilkan oleh 11 BUMN sektor perkebunan di Indonesia, yakni PTPN I hingga VIII, XIII, XIV, dan PT Rajawali Nusindo Indonesia.

Produksi CPO PTPN ini merupakan bagian dari 23% seluruh konsumsi lemak dan minyak dunia. Badan Palm Oil World menyatakan total produksi CPO dunia kini mendekati 29 juta ton per tahun. Indonesia bersama Malaysia menjadi produsen terbesar dengan produksi 83%.

Dari realisasi ekspor CPO dunia yang mendekati 22 juta ton per tahun, 92% di antaranya berasal dari Indonesia dan Malaysia. Sebagai salah satu penghasil CPO terbesar, Indonesia menjadi barometer dunia. Perubahan apa pun yang terjadi dalam produksi kelapa sawit di Indonesia akan selalu disorot komunitas CPO internasional.

Persoalan dalam pengembangan industri hilir CPO bukanlah kurangnya pasokan di dalam negeri sehingga perlu dibatasi melalui peningkatan PE dan/atau kuota seperti yang selama ini dilakukan pemerintah, melainkan ketiadaan grand design dan roadmap dengan sasaran yang jelas dalam setiap tahapannya.

Selama ini CPO umumnya diekspor dan nilai tambahnya kecil. Padahal jika digunakan untuk industri dalam negeri, nilai tambahnya bisa lebih ditingkatkan. Dibandingkan dengan Malaysia, pengembangan industri hilir Indonesia masih tertinggal jauh. Meski di atas kertas Indonesia menikmati keunggulan komparatif berupa luas lahan sawit, tapi Malaysia jauh lebih riil dalam menikmati hasil dari olahan kelapa sawit karena serius mengembangkan keunggulan kompetitif (value added) di sektor hilir.

Industri hilir Malaysia mampu mengolah CPO menjadi lebih dari 120 jenis produk bernilai tambah tinggi, sedangkan Indonesia baru belasan produk. Malaysian Palm Oil Board (MPOB), yang merupakan institusi tertinggi dalam pelaksanaan kebijakan industri kelapa sawit di Malaysia adalah institusi di balik kesuksesan sawit Malaysia.

?Harga CPO tak akan menjadi bulan-bulanan perdagangan dunia sepanjang Indonesia mau membangkitkan industri hilir. Bangkitnya industri hilir akan dirasakan manfaatnya oleh banyak pihak. Petani akan lebih aman karena sudah ada pihak industri yang siap menampung usaha tani mereka. Pengusahaan berbagai industri hilir pengolah CPO pun akan menjadi peluang baru penyerapan tenaga kerja di Indonesia.

Produk olahan dari CPO dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu produk pangan dan nonpangan. Produk pangan terutama minyak goreng dan margarin, sedangkan produk nonpangan a.l. oleokimia yaitu ester, asam lemak, surfaktan, gliserin dan turunan.

Oleokimia

Industri penghasil oleokimia termasuk industri kimia agro (agrobased chemical industry) mempunyai peranan penting dalam upaya pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat seperti kosmetik, produk farmasi dan produk konsumsi lainnya.

Sampai saat ini beberapa produk industri bahan kimia khusus yang berbasis CPO sepenuhnya masih bergantung impor, seperti produk isopropyl palmitat, isopropyl miristat, asam palmitat, dan asam oleat. Pengembangan industri bahan kimia khusus di dalam negeri yang menghasilkan produk-produk tersebut mempunyai prospek yang baik, karena didukung potensi pasar yang besar dari perusahaan kosmetik dan farmasi yang berjumlah 600 perusahaan.

?Kajian yang dilakukan Seafast Center IPB menunjukkan bahwa produk oleokimia sangat prospektif untuk dikembangkan sebagai jawaban atas gonjang-ganjing harga CPO karena berlawanan dengan kondisi supply-demand minyak mentah nabati yang saat ini berada dalam posisi excess supply. Produk oleokimia dunia diperkirakan masih berada dalam kondisi excess demand hingga beberapa tahun mendatang.

?Kondisi excess demand pada produk oleokimia ini tentu merupakan sebuah indikasi akan prospektifnya harga komoditas tersebut. Menurut FAO, pertumbuhan permintaan terhadap produk oleokimia setiap tahunnya mencapai 3%.

Diramalkan pertumbuhan industri oleokimia yang terbesar akan terjadi di kawasan Asia. Hal ini tidak terlepas dari pertumbuhan produksi minyak nabati yang sangat tinggi di kawasan ini.

Pada 1960 produksi minyak dan lemak Asia baru 7,5 juta ton atau 24,12% dari produksi minyak dan lemak dunia, tetapi pada 1980 melonjak menjadi 8,4 juta ton atau 20,95% dari total produksi dunia.

Pada 2000 Asia telah menjadi kawasan produsen minyak dan lemak nabati utama dunia dengan total produksi 39,3 juta ton atau 37,43% dari total produksi dunia.

Selama kurun waktu 1960-2000, produksi minyak dan lemak kawasan Asia telah tumbuh rata-rata 53,63% per tahun.

Oleh Rahmat Pramulya
Mahasiswa Pascasarjana Manajemen dan Bisnis (MB) IPB, anggota Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (Maksi).

source: bisnis.com

HPE CPO November Jadi US$ 573

Senin, 03/11/2008 10:14 WIB
Dadan Kuswaraharja - detikFinance

Jakarta - Setelah menerapkan pungutan ekspor sebesar 0 persen, pemerintah mengubah Harga Patokan Ekspor (HPE) untuk kelapa sawit, CPO dan produk turunannya untuk periode 1-30 November 2008.

Menurut siaran pers dari Depdag, Senin (3/11/2008), keputusan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No: 40/M-DAG/PER/10/2008

Harga rata-rata produk CPO untuk bulan November sebesar US$ 646,84 per metrik ton. Berikut harga patokan ekspor untuk beberapa produk CPO.

HPE Crude Palm Oil (CPO) menjadi US$ 573 per metrik ton. Buah dan Kernel Kelapa Sawit ditetapkan sebesar US$ 320 per metrik ton, crude olein sebesar US$ 603 per metrik ton, crude stearin sebesar US$ 480 per metrik ton, crude palm kernel oil sebesar US$ 823 per metrik ton, crude kernel stearin sebesar US$ 823 per meterik ton, RBD palm olein sebesar US$ 636 per metrik ton.

Pemerintah sebelumnya menerapkan PE CPO sebesar 0 persen pada Selasa 28 Oktober lalu. Keputusan itu merupakan bagian dari 10 kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengantisipasi krisis keuangan global.(ddn/ir)

source: detik.com

Petani Sawit Menunggu Uluran Tangan Pemerintah

By Republika Contributor
Minggu, 02 November 2008 pukul 19:03:00

JAKARTA -- Jutaan petani perkebunan sawit kini hanya pasrah tanpa mampu berbuat apa-apa kecuali menunggu uluran tangan pemerintah sejak anjloknya harga minyak mentah sawit (CPO) akibat dampak krisi moneter dunia.

Dari gejala makin menurunnya permintaan CPO dunia yang oleh kalangan ekonom dilukiskan ibarat penyakit "flu" sedang menjalar di Amerika Serikat, namun di Indonesia sudah terlihat "batuk-batuk" bagi petani sawit lantaran harga CPO terus merosot sejak dua bulan terakhir. Saat ini, harga CPO di bursa Rotterdam hanya berada di kisaran US$ 733 per ton. Padahal, harga rata-rata dua bulan sebelumnya masih US$ 1.175 per ton.

Penurunan harga CPO ini menurut para analis kemungkinan akan berlangsung hingga tahun depan. Karena itu, untuk menyelamatkan harga di dalam negeri yang juga merosot terus, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru menginstruksi kepada Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro dan Pertamina agar CPO nasional untuk konsumsi dalam negeri.

Menurut Presiden, konsentrasi konsumsi CPO untuk pasar dalam negeri, bisa disinkronkan dengan langkah pemerintah yang sejak 2005 ingin mengembangkan bahan bakar nabati.

Produksi CPO nasional menurut Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), produksi CPO nasional tahun ini mencapai 18,7 juta ton sementara Volume ekspornyai diprediksi 14 juta ton, artinya produksi nasional untuk ekspor melimpah ruah.

Menurunnya harga CPO tersebut tentunya mempengaruhi harga tanda buah segar (TBS) yang dihasilkan petani. Menurut informasi di daerah sentra kelapa sawit seperti di Sumatera Utara kini sudah mencapai Rp 250 per Kg, sementara harga normalnya mencapai Rp1.800 per Kg.

Jatuhnya harga kelapa sawit tersebut banyak petani di daerah tersebut kini enggan memanen sawit mereka dan banyak petani frustasi karena pembiayaan perawatannya lebih tinggi dibanding harga jualnya.

Untuk menyelamatkan terpuruknya kehidupan para peyani tersebut, pengamat Ekonomi dari Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak, Ali Nasrun, SE, M.SC, mengatakan pemerintah daerah maupun pusat perlu ikut campur tangan.
Wacana pengurangan produksi jelas tidak bagus karena di satu sisi mungkin akan berdampak adanya kenaikan harga, tetapi disisi lain, petani semakin terjepit.

Sebaiknya, pemerintah menyiapkan strategi lain, selain mencarikan pasar baru selain Eropa, juga program pemerintah untuk mengembangkan BBM nabati yang selama ini lesu karena tingginya harga sawit.

Selain itu, kebijakan pemerintah juga harus semakin membuka peluang untuk perluasan pemasaran di dalam negeri, kalau selamanya bergantung pada luar negeri bukan tidak mungkin suatu saat badai itu akan kembali lagi seperti sekarang, katanya.

Pengembangan Biodiesel

Langkah pemerintah yang strategis dengan menampung sawit untuk mengembangkan minyak biodiesel adalah langkah yang perlu ditindak lanjut segera mungkin karena selain saat ini harga minyak mentah masih berfluktuasi juga ketergantungan untuk minyak fosil bisa dikurangi.

Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) mengaku siap untuk memasok lima persen biodiesel dari total kebutuhan solar dalam negeri tahun 2009 yang diprediksi mencapai 30 juta ton.

"Kalau pada 2008 ini kebutuhan solar mencapai 26 juta ton kemungkinan kebutuhan solar akan meningkat menjadi 30 juta ton pada 2009 nanti. Kalau kebutuhannya untuk mencukupi lima persen saja berarti 1,5 juta ton kita masih bisa melayani," kata Ketua Bidang Produksi dan Pemasaran Aprobi, Immanuel Sutarto.

Dia mengatakan saat ini kapasitas terpasang produksi biodiesel dari 11 perusahaan yang ada di Indonesia mencapai 1.588.300 ton per tahun. Tetapi akibat penurunan permintaan dan kalah bersaing dengan harga bahan bakar fosil hanya lima perusahaan biodiesel yang masih berproduksi. "Kapasitas produksi yang terpakai saat ini hanya 10 sampai 12 persen saja per tahun," ujar dia.

Dengan menurunnya harga CPO dan adanya mandatori dari pemerintah untuk penggunaan bahan bakar nabati (BBN) sebesar lima persen, maka dia meyakini harga biodiesel akan dapat bersaing dengan bahan bakar fosil sehingga produsen biodiesel enam pabrik biodiesel lainnya akan kembali berproduksi.

Bahkan, dia mengatakan, produksi biodiesel akan bertambah menjadi 2.521.000 ton di tahun 2009 karena hampir semua produsen biodiesel menambah kapasitas produksinya.

Dia mengatakan, produksi CPO dalam negeri pun diperkirakan akan semakin bertambah pada 2009 mencapai 20 juta ton. Saat ini produksi CPO Indonesia sendiri mencapai 18 juta ton dimana 14 juta ton diekspor, empat untuk kebutuhan makanan, dan tiga juta untuk biodiesel.

"Untuk bahan baku tidak perlu khawatir, karena untuk memproduksi satu ton biodiesel hanya butuh satu ton CPO. harga biodiesel sendiri untuk saat ini sudah cukup ekonomis," kata Sutarto.

Dengan situasi yang serba sulit ini yang dinutuhkan petani adalah uluran tangan pemerintah untuk mendorong harga sawit untuk mencapai harga yang ekonomis bagi mereka .- ant/ah

source: republika.co.id

Cari di Google

Google
 
Web kabarsawit.blogspot.com