Monday, November 3, 2008

RI harus kembangkan industri hilir CPO

Senin, 03/11/2008

Petani kelapa sawit saat ini kelimpungan lantaran anjloknya harga tandan buah segar (TBS) di pasaran. Sebenarnya kemerosotan harga TBS bukan kali ini saja terjadi, melainkan sudah berulang kali. Oleh karena itu, kasus rendahnya harga TBS yang pernah terjadi sebelumnya itu semestinya bisa menjadi pelajaran bagi para petani.

Lebih dari 75% produksi kelapa sawit Indonesia diekspor dalam bentuk minyak mentah sawit atau crude palm oil (CPO). Ini berbeda dengan Malaysia, di mana 80% produksi diekspor dalam bentuk produk yang bernilai tambah hasil kreasi industri hilir.

Ekspor membuat kita menjadi bergantung pada pembeli dari luar negeri. Kalau keuangan mereka sedang sehat, produk kita dibeli semua. Akan tetapi sebaliknya, kalau sedang sakit, kita juga yang harus menanggung derita seperti yang terjadi saat ini sebagai imbas krisis global.

Belajar dari kejadian ini, Indonesia harus segera menggalakkan industri hilir. Untuk masuk ke industri hilir, Indonesia jelas memiliki potensi. Berdasarkan data Kantor Menteri Negara BUMN, sekitar 7,5% dari 29 juta ton produksi CPO dunia dihasilkan oleh 11 BUMN sektor perkebunan di Indonesia, yakni PTPN I hingga VIII, XIII, XIV, dan PT Rajawali Nusindo Indonesia.

Produksi CPO PTPN ini merupakan bagian dari 23% seluruh konsumsi lemak dan minyak dunia. Badan Palm Oil World menyatakan total produksi CPO dunia kini mendekati 29 juta ton per tahun. Indonesia bersama Malaysia menjadi produsen terbesar dengan produksi 83%.

Dari realisasi ekspor CPO dunia yang mendekati 22 juta ton per tahun, 92% di antaranya berasal dari Indonesia dan Malaysia. Sebagai salah satu penghasil CPO terbesar, Indonesia menjadi barometer dunia. Perubahan apa pun yang terjadi dalam produksi kelapa sawit di Indonesia akan selalu disorot komunitas CPO internasional.

Persoalan dalam pengembangan industri hilir CPO bukanlah kurangnya pasokan di dalam negeri sehingga perlu dibatasi melalui peningkatan PE dan/atau kuota seperti yang selama ini dilakukan pemerintah, melainkan ketiadaan grand design dan roadmap dengan sasaran yang jelas dalam setiap tahapannya.

Selama ini CPO umumnya diekspor dan nilai tambahnya kecil. Padahal jika digunakan untuk industri dalam negeri, nilai tambahnya bisa lebih ditingkatkan. Dibandingkan dengan Malaysia, pengembangan industri hilir Indonesia masih tertinggal jauh. Meski di atas kertas Indonesia menikmati keunggulan komparatif berupa luas lahan sawit, tapi Malaysia jauh lebih riil dalam menikmati hasil dari olahan kelapa sawit karena serius mengembangkan keunggulan kompetitif (value added) di sektor hilir.

Industri hilir Malaysia mampu mengolah CPO menjadi lebih dari 120 jenis produk bernilai tambah tinggi, sedangkan Indonesia baru belasan produk. Malaysian Palm Oil Board (MPOB), yang merupakan institusi tertinggi dalam pelaksanaan kebijakan industri kelapa sawit di Malaysia adalah institusi di balik kesuksesan sawit Malaysia.

?Harga CPO tak akan menjadi bulan-bulanan perdagangan dunia sepanjang Indonesia mau membangkitkan industri hilir. Bangkitnya industri hilir akan dirasakan manfaatnya oleh banyak pihak. Petani akan lebih aman karena sudah ada pihak industri yang siap menampung usaha tani mereka. Pengusahaan berbagai industri hilir pengolah CPO pun akan menjadi peluang baru penyerapan tenaga kerja di Indonesia.

Produk olahan dari CPO dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu produk pangan dan nonpangan. Produk pangan terutama minyak goreng dan margarin, sedangkan produk nonpangan a.l. oleokimia yaitu ester, asam lemak, surfaktan, gliserin dan turunan.

Oleokimia

Industri penghasil oleokimia termasuk industri kimia agro (agrobased chemical industry) mempunyai peranan penting dalam upaya pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat seperti kosmetik, produk farmasi dan produk konsumsi lainnya.

Sampai saat ini beberapa produk industri bahan kimia khusus yang berbasis CPO sepenuhnya masih bergantung impor, seperti produk isopropyl palmitat, isopropyl miristat, asam palmitat, dan asam oleat. Pengembangan industri bahan kimia khusus di dalam negeri yang menghasilkan produk-produk tersebut mempunyai prospek yang baik, karena didukung potensi pasar yang besar dari perusahaan kosmetik dan farmasi yang berjumlah 600 perusahaan.

?Kajian yang dilakukan Seafast Center IPB menunjukkan bahwa produk oleokimia sangat prospektif untuk dikembangkan sebagai jawaban atas gonjang-ganjing harga CPO karena berlawanan dengan kondisi supply-demand minyak mentah nabati yang saat ini berada dalam posisi excess supply. Produk oleokimia dunia diperkirakan masih berada dalam kondisi excess demand hingga beberapa tahun mendatang.

?Kondisi excess demand pada produk oleokimia ini tentu merupakan sebuah indikasi akan prospektifnya harga komoditas tersebut. Menurut FAO, pertumbuhan permintaan terhadap produk oleokimia setiap tahunnya mencapai 3%.

Diramalkan pertumbuhan industri oleokimia yang terbesar akan terjadi di kawasan Asia. Hal ini tidak terlepas dari pertumbuhan produksi minyak nabati yang sangat tinggi di kawasan ini.

Pada 1960 produksi minyak dan lemak Asia baru 7,5 juta ton atau 24,12% dari produksi minyak dan lemak dunia, tetapi pada 1980 melonjak menjadi 8,4 juta ton atau 20,95% dari total produksi dunia.

Pada 2000 Asia telah menjadi kawasan produsen minyak dan lemak nabati utama dunia dengan total produksi 39,3 juta ton atau 37,43% dari total produksi dunia.

Selama kurun waktu 1960-2000, produksi minyak dan lemak kawasan Asia telah tumbuh rata-rata 53,63% per tahun.

Oleh Rahmat Pramulya
Mahasiswa Pascasarjana Manajemen dan Bisnis (MB) IPB, anggota Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (Maksi).

source: bisnis.com

No comments:

Post a Comment

Cari di Google

Google
 
Web kabarsawit.blogspot.com