Thursday, October 30, 2008

Pengusaha dan Pelaku Industri Sambut Baik Pemanfaatan CPO Jadi Biodiesel

Medan, (Analisa)

Pengusaha dan pelaku industri menyambut baik kebijakan pemerintah yang mewajibkan pemakaian Bahan Bakar Nabati (BBN).

Langkah ini dinilai efektif untuk menyerap kelebihan stok minyak sawit mentah (CPO) yang melimpah. Selain itu, pemakaian Bahan Bakar Nabati (BBN) dipastikan dapat menghemat biaya produksi industri di tengah krisis.

Hal itu dikatakan bendahara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumatera Utara (Sumut) Laksamana Adiyaksa kepada wartawan, Kamis (30/10).

Menurutnya, kebijakan tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 tahun 2008 tentang Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar Lain.

Dalam Permen tersebut dinyatakan pemanfaatan biodiesel untuk transportasi pada Oktober-Desember 2008 sebanyak 1 persen akan dinaikkan secara bertahap menjadi 20 persen pada tahun 2025. Sedangkan untuk industri dan komersial sebesar 2,5 persen serta pembangkit listrik 0,1 persen.

Untuk itu pengusaha siap produksi dan menggunakannya, karena pemakaian BBN ini memang lebih efisien. Khusus bagi industri CPO tentu akan menjadi pasar baru. Sehingga diharapkan bisa menyerap Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit petani di daerah ini.

Dia menambahkan, jika ini yang terjadi harga TBS juga diharapkan naik.

Lebih efektif

Menurut Laksamana, pemanfaatan biodiesel untuk bahan bakar ini juga lebih efektif dan cepat daripada harus mengembangkan industri hilir yang membutuhkan investasi besar dan waktu relatif lebih lama.

Pada prinsipnya yang dilakukan hanya pencampuran BBM fosil dengan minyak RBD (Refine Bleached Dedorize olein). Untuk komposisi tergantung peruntukan mesin yang disiapkan.

Jika motor bergerak seperti alat transportasi komposisi RBD bisa mencapai 20 persen dan BBM fosil 80 persen. Sedangkan untuk motor tak bergerak, seperti genset dan mesin pengolahan, RBD bisa lebih banyak mencapai 80 persen.

Investasinya tentu lebih murah dibandingkan membangun industri hilir. Karena yang diperlukan hanya mesin pencampur dan tangki penyimpanan campuran katanya.

Dengan pencampuran ini harga bahan bakar yang dihasilkan jauh lebih murah ketimbang menggunakan BBM fosil. Ditambahkannya, beberapa perusahaan juga telah menerapkannya sejak tahun 2006 lalu.

Mengenai produksi, pihaknya menjamin produksi cukup dan dipastikan selalu tersedia. Dia mengatakan produksi CPO nasional mencapai 18 juta ton per tahun.

Dari jumlah tersebut dimanfaatkan untuk minyak goreng sekitar 4,5 juta ton, produksi RBD 4 juta ton. Kondisi saat ini stok biodiesel mencapai 2,5 juta per tahun, dan selebihnya ekspor.

Sementara itu, Sekretaris I Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Timbas Prasad Ginting, juga mengatakan, pentingnya pemerintah mensterilkan produk impor berbahan CPO.

Hal ini dimaksudkan agar produsen bisa memproduksi lebih banyak produk turunan CPO. Seperti halnya minyak goreng, mentega, dan produk turunan lainnya yang sudah banyak beredar di dalam negeri.

Dari harga, produksi lokal jauh lebih murah. Begitu juga dengan kualitas yang lebih baik. Tetapi produsen sulit menambah produksinya karena kebutuhan konsumsi produk ini tidak terlalu banyak, katanya.

Ia juga menghimbau industri memanfaatkan BBN. Sebab selain efisiensi biaya produksi, BBN juga lebih ramah lingkungan, ungkapnya. (ms)

source: analisadaily.com

Pengusaha Siap Produksi dan Pakai Biodiesel

Jumat, 31-10-2008
*herman saleh/ant

MedanBisnis – Medan
Meski dinilai terlalu kecil, pengusaha dan pelaku industri menyambut baik kebijakan pemerintah yang mewajibkan pemakaian bahan bakar nabati (BBN). Pasalnya, langkah ini dinilai efektif untuk menyerap kelebihan stok crude palm oil (CPO) yang melimpah. Selain itu, pemakaian BBN dipastikan dapat menghemat biaya produksi industri di tengah krisis.

Bendahara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumatera Utara (Sumut) Laksamana Adiyaksa mengungkapkan, kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain. Dalam Permen tersebut, dinyatakan pemanfaatan biodiesel (B100) untuk transportasi pada Oktober-Desember 2008 sebanyak 1%, dan akan dinaikkan secara bertahap menjadi 20% pada tahun 2025. Sedangkan untuk industri dan komersial sebesar 2,5%, serta pembangkit listrik 0,1%.
“Pengusaha siap produksi dan pakai, karena pemakaian BBN ini memang lebih efisien. Khsusus bagi industri CPO, tentu akan menjadi pasar baru. Sehingga, diharapkan bisa menyerap tandan buah segar (TBS) kelapa sawit petani,” katanya, di Medan, Kamis (30/10). Dia menambahkan, jika ini yang terjadi harga TBS juga diharapkan terdongkrak naik.
Satu solusi yang sangat dinantikan, katanya, mengingat pengembangan ekspor masih terasa sulit dilakukan. Namun, jika pasar dalam negeri menjanjikan, maka bukan hal yang mustahil jika pengusaha akan memfokuskan pemasaran dalam negeri, dan meningkatkan produksi BBN berbahan CPO, seperti halnya biodiesel.
“Saat krisis, pasar dalam negeri memang harus dioptimalkan. Gapki optimis pengusaha akan termotivasi jika pasar ini bisa digarap,” katanya. Menurut Laks, pemanfaatan biodiesel untuk bahan bakar ini juga lebih efektif dan cepat, ketimbang harus mengembangkan industri hilir yang membutuhkan investasi besar, dan waktu relatif lebih lama.
Pada prinsipnya, kata Laks, yang dilakukan hanya pencampuran BBM fosil dengan minyak RBD (refine Bleached dedorize olein). Untuk komposisi, tergantung peruntukan mesin yang disiapkan. Jika motor bergerak seperti alat transportasi, komposisi RBD bisa mencapai 20% dan BBM fosil 80%. Sedangkan untuk motor tak bergerak, seperti genset dan mesin pengolahan, RBD bisa lebih banyak mencapai 80%.
“Investasinya tentu lebih murah dibandingkan membangun industri hilir. Soalnya, yang diperlukan hanya mesin pencampur dan tangki penyimpanan campuran,” katanya menjelaskan. Dengan pencampuran ini, lanjutnya, harga bahan bakar yang dihasilkan jauh lebih murah ketimbang menggunakan BBM fosil (lihat tabel). Ditambahkannya, beberapa perusahaan juga telah menerapkan ini sejak tahun 2006 lalu. Tepatnya, ketika da pembatasan pemakaian BBM Industri.
Mengenai produksi, katanya lagi, pihaknya menjamin produksi cukup dan dipastikan selalu tersedia. Dia mengatakan produksi CPO nasional mencapai 18 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut dimanfaatkan untuk minyak goreng sekitar 4,5 juta ton, produksi RBD 4 juta ton. Kondisi saat ini, stok biodiesel mencapai 2,5 juta per tahun, dan selebihnya ekspor.
“Dengan kondisi sekarang, produksi minyak goreng tentu bisa ditingkatkan. Untuk proteksi, pemerintah bisa meminimalisir atau bahkan menghentikan masuknya produk impor berbahan CPO,” terangnya, seraya mengatakan, berkurangnya pasokan luar negeri akan mendongkrak harga kembali.
Asistem Costumer Relation Pertamina Pemasaran BBM Retail Region I Rustam Aji memaparkan, alokasi pemakaian solar tahun 2008 mencapai 717.000 kiloliter, premium 998.000 kiloliter, dan minyak tanah 661.000 kiloliter. Sementara konsumsi rata-rata BBM bersubsidi di Sumut mencapai 3.200 kiloleter/hari premium, minyak tanah 1.800 kiloliter/hari, dan solar 2.200 kiloliter/hari.

Stop Impor
Sekretaris I Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Timbas Prasad Ginting, juga menekankan pentingnya pemerintah mensterilkan produk impor berbahan CPO. Hal ini dimaksudkan agar produsen bisa memproduksi lebih banyak produk turunan CPO. Seperti halnya minyak goreng, mentega, dan produk turunan lainnya yang sudah banyak beredar di dalam negeri.
“Dari harga, produksi lokal jauh lebih murah. Begitu juga dengan kualitas yang lebih baik. Tetapi, produsen sulit menambah produksi, karena kebutuhan konsumsi produk turunan ini tidak terlalu banyak,” katanya. Ia juga menghimbau industri memanfaatkan BBN. Sebab, selain efisiensi biaya produksi, BBN juga lebih ramah lingkungan
Sementara PT Pertamina (Persero) menyatakan kesiapannya menyerap seluruh bahan baku biodiesel (fatty acid methyl ester/FAME) menyusul penurunan harga kelapa sawit akhir-akhir ini. “Berapapun FAME (bahan baku biodiesel) yang ada, kami siap menyerap,” kata Deputi Pemasaran Pertamina Hanung Budya di Jakarta, Kamis.
Pada 1 Nopember ini, Pertamina akan meluncurkan perluasan pemakaian biodiesel dengan kandungan FAME sebesar lima persen di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Jabodetabek dan Surabaya.
Pertamina juga menargetkan sebanyak 3.000 SPBU di Jawa atau 80 persennya menjual biodiesel lima persen hingga akhir tahun 2008. Per 11 April 2008, komponen FAME dalam biodiesel hanya satu persen.
Menurut Hanung, pihaknya juga akan memasukkan FAME lima persen pada produk solar yang diperuntukkan bagi industri. Bahkan, lanjutnya, kalau persediaan FAME memungkinkan, Pertamina akan meningkatkan kandungan FAME hingga 10 persen pada tahun ini.
Saat ini, SPBU yang menjual bahan bakr nabati (BBN) baru 279 unit yang terdiri dari jenis biodiesel 232 unit, biopremium satu unit, dan biopertamax 46 unit.
Dengan volume penjualan mencapai 48.661 kiloliter yang terdiri dari biodiesel 46.700 kiloliter, biopremium 310 kiloliter, dan biopertamax 1.651 kiloliter.
Total jumlah SBPU yang menjual BBM Pertamina di seluruh Indonesia mencapai 4.600 unit.
Sebelumnya, pemerintah meminta produsen biodiesel segera meningkatkan kapasitas produksinya dengan menyerap sebanyak-banyaknya kelapa sawit yang kini sedang melimpah.
Dirjen Migas Departemen ESDM Evita Legowo di Jakarta, Selasa mengatakan, penurunan harga kelapa sawit belakangan ini membuat harga biodiesel akan semakin kompetitif.
Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit terus mengalami penurunan dari sebelumnya sekitar Rp2.000 per kg menjadi hanya Rp200-300 per kg.
Pemerintah, lanjutnya, tertanggal 26 September 2008 telah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM No 32 Tahun 2008 yang berisi mandatory atau kewajiban minimal pemakaian BBN.
Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) memperkirakan produksi biodiesel tahun 2009 akan mencapai 2.521.000 ton dengan pemakaian domestik 1.121.000 ton.
Produksi biodiesel itu dihasilkan sebelas perusahaan yakni PT Asian Agri Tbk, PT Energi Alternatif Indonesia, PT Eterindo Wahanatama Tbk, PT Darmex Biofuel, Ganesha Energy Group, PT Indo Biofuels Energy, PT Multikimia Intipelangi, Musim Mas Group, Pertama Hijau Group, PT Sumi Asih, dan Wilmar Group.

source: medanbisnisonline.com

Ekspor Minyak Sawit Indonesia Masih Terbesar

Kamis, 30 Oktober 2008 | 17:33 WIB


TEMPO Interaktif, Jakarta: Indonesia berpeluang menjadi negara produsen dan pengekspor crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah terbesar di dunia pada 2010. Peluang ini melihat potensi sumber daya alam yang ada.

Namun turunnya harga CPO membuat para ahli, pelaku bisnis, dan Departemen Pertanian mendorong dibuatnya produk turunan dari minyak sawit ke berbagai produk.

Hal tersebut terungkap dalam seminar "Membangun Kelapa Sawit yang Lestari untuk Industri Pangan, Energi, dan Oleokimia (produk turunan) Lainnya" di Gedung Manajemen Bisnis Institut Pertanian Bogor Kampus Gunung Gede, Bogor, Jawa Barat, Kamis (30/10).

Menteri Pertanian Anton Apriantono dalam sambutan tertulisnya mengatakan ekpor kelapa sawit Indonesia masih terbesar di dunia. Ia menggambarkan perkembangan kelapa sawi pada 2007 seluas 6,78 hektar dengan produksi CPO sebesar 17,38 juta.

Sementara itu, devisa yang diterima dari ekspor minyak kelapa dan produk turunannya (oleokimia) pada 2007 sebesar 11,9 juta ton atau senilai US$ 7,9 miliar dolar (sekitar Rp 85 triliun).

Saat ini Indonesia memiliki sekitar 850 ribu hektar kebun kelapa sawit dan areal swadaya seluas 1.715 ribu hektar dengan melibatkan lebih dari 1.282 ribu kepala keluara petani.

Apalagi dalam program revitalisasi perkebunan telah disepakati pendanaan perkebunan rakyat seluas lebih dari 100 ribu hektar. “Pada bidang lain kami juga sedang membangun pabrik biodiesel dengan kapasitas 2,5 juta ton,” kata Menteri Anton.

Di tempat yang sama, Direktur Industri Kimia Hulu Direktorat Jenderal Indsutru Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian Alexander Barus, mengungkapkan, saat ini produk CPO di Indonesia sangat melimpah namun harganya sedang jatuh. Hal ini disebabkan pengaruh krisis keuangan global. “Banyak negara Eropa yang menahan uangnya untuk tidak membeli CPO kita,” tuturnya.

Untuk mengantisipasi terpuruknya harga CPO, Pemerintah mendorong produk turunan pangan seperti minyak goreng, margarin, cocoa butter, reodroan, palm oil, dan lainnya. Kelompok oleokimia yang bisa diproduksi yakni fatty aceid, fatty alcohol, gliserin dan lilin.

Sedangkan kelompok energi untuk membuat acid methil ester. “Kami juga mendorong agar industri jangan hanya di hulu tetapi sampai ke hilir dengan memproduksi produk turunannya,” ujar Alexander.

Deffan Purnama

source: tempo.co.id

RM200 Million Govt Allocation For Oil Palm Replanting

October 30, 2008 22:01 PM

KUALA LUMPUR, Oct 30 (Bernama) -- Prime Minister Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi on Thursday announced an allocation of RM200 million for replanting 200,000 hectares of oil palm nationwide, saying the time when the price of palm oil was low was good to replace low-yielding, old palms.

He said the replanting would give rural smallholders the opportunity to maintain their yield and step up downstream industries.

"The rise in supply of palm oil will result in an increase in the downstream industries. This is important as the government regards the oil palm industry as strategic because the product is a national resource and the sector provides many job opportunities," he told reporters after chairing a meeting of the Cabinet committee on the Competitiveness of the Oil Palm Sector, at Parliament House here.

"Palm oil is used not only to produce foodstuff but also in making cosmetics and medical-related items and may be used as fuel to meet our needs," he said.

Abdullah said replanting could not be introduced earlier as the high price of palm oil was prohibitive for such an exercise.

Today's meeting also decided on the use of biofuel -- comprising five per cent methyl ester (palm oil) and diesel -- for government vehicles from February 2009, he said.

The implementation, in stages, would be followed by the industrial sector and the transport sector after that, he said.

Asked whether biofuel would be implemented for public vehicles, Abdullah said it could be done once the government had developed the infrastructure for the purpose nationwide.

It is estimated that the production of biofuel with five per cent palm oil would require 500,000 tonnes of palm oil annually when fully implemented in early 2010, he said.

"This does not pose a problem as we have large reserves of palm oil. We produce 17.8 million tonnes of palm oil. As such, it is not difficult to use 500,000 tonnes of palm oil annually to produce biofuel and it will not hamper other ongoing activities such as production of food, medicines, food supplements, cosmetics and other uses," he said.

Asked how the replanting exercise could boost the global price of palm oil, Abdullah said the government was trying to sustain the local production of palm oil in the future and produce high quality palm oil.

"A lot of palm oil trees must be chopped down, thus it cannot be sustainable. When the price is low, then the decision to begin replanting would be a good decision," he said.

-- BERNAMA

source: bernama.com

“PE Nol Persen Terlambat”

Kamis, 30-10-2008
MedanBisnis – Jakarta

Produsen minyak kelapa sawit (CPO) memperkirakan target ekspor CPO sebanyak 14 juta ton tidak bisa tercapai meski pemerintah telah memutuskan penurunan Pungutan Ekspor (PE) CPO November dari 2,5% menjadi nol persen.

“Ini kebijakan yang sebenarnya sedikit terlambat. Sekarang masalahnya permintaan turun akibat krisis keuangan global yang berdampak pada turunnya konsumsi,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Akmaluddin Hasibuan, di Jakarta, Rabu.

Turunnya konsumsi CPO di negara tujuan ekspor menyebabkan terjadinya pembatalan kontrak oleh importir terutama dari China dan India. Selain itu, India juga ditengarai sedang berencana menaikkan kembali bea masuk (BM) impornya karena harga CPO terus mengalami penurunan. “Stok sekarang 2,4 juta ton menandakan demand di luar negeri sedang turun,” ujarnya.

Oleh karena itu, dia berharap kewajiban penggunaan bahan bakar nabati bagi transportasi, industri, komersial dan pembangkit listrik dalam negeri dapat menyerap kelebihan pasokan CPO yang tidak bisa diekspor dan mendongkrak harga. “Harga tender CPO Rp4.100 per kg, tapi harga itu terlalu bawah sehingga kita tidak melakukan tender,” ujarnya seraya menambahkan harga CPO yang ideal adalah sekitar Rp5.500 per kg.

Target Tak Tercapai
Ketua Harian Gapki, Derom Bangun mengatakan, target ekspor CPO kemungkinan tidak tercapai mengingat banyaknya pembatalan kontrak yang terjadi dan turunnya harga minyak mentah dunia yang menyebabkan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) naik dan bahan bakar nabati (BBN) turun. “Rata-rata ekspor per bulan memang sebesar 1 juta ton. Tapi, ekspor bulan Nopember nanti saya kira tidak mencapai satu juta ton, perkiraan saya sekitar 500-700 ribu ton,” ujar Derom.

Gapki menargetkan ekspor CPO tahun 2008 ini mencapai 14 juta metrik ton dari produksi tahun 2008 sebanyak 18,8 juta metrik ton. Sisanya sebanyak 4,8 juta metrik ton diserap pasar dalam negeri. Ekspor tahun 2007 tercatat sekitar 12,6 juta metrik ton. Ekspor CPO terutama ditunjukan ke Belanda, India, Jerman, Italia, Spanyol, dan Cina.

Data Gapki per akhir Juli 2008 menyebutkan, ekspor CPO baru mencapai 8 juta metrik ton. Derom mengaku ragu volume ekspor CPO dalam enam bulan terakhir bisa mencapai 6 juta ton atau rata-rata satu juta ton per bulan.

Terkait kebijakan PE CPO nol persen, menurut dia, hal itu membuktikan pemerintah masih peduli pada nasib pengusaha dan petani. Namun, dengan anjloknya harga CPO maka dampaknya terhadap kinerja ekspor tidak terlalu besar. “Tapi, tentu saja kami sangat merespon positif upaya pemerintah yang bertindak cepat menjadikan PE CPO nol persen, supaya ekspor tidak tertahan dan harga Tandan Buah Sawit (TBS) di tingkat petani bisa naik, meski perhitungan saat ini kenaikannya masih sedikit,” jelasnya.
Dia memperkirakan harga TBS di tingkat petani yang saat ini hanya Rp300 per kg bisa naik Rp100 per kg saja. Selama ini, PE dibebankan eksportir kepada petani dengan mengurangi harga beli. (ant/dtf)

source: medanbisnisonline.com

Petani Desak Pengusaha Naikkan Harga TBS 20%

Kamis, 30-10-2008
*herman saleh

MedanBisnis – Medan
Pemerintah akhirnya mengabulkan tuntutan pengusaha dan petani kelapa sawit menghapuskan pungutan ekspor (PE) minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) mulai 1 Novemper 2008. Hal ini pun langsung mendapatkan reaksi dari petani kelapa sawit, dengan mendesak pengusaha menaikkan harga tandan buah segar (TBS) 15-20% dari harga yang sekarang.

“PE sudah turun, artinya pengusaha bisa menggenjot ekspor dan meningkatkan produksi. Karena itu, kita berharap agar harga TBS dinaikkan 15-20%,” kata Sekretaris Jenderal (Sekjend) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsjad, ketika dihubungi MedanBisnis, Rabu (29/10).
Pemerintah sebelumnya mengeluarkan sepuluh langkah menyelamatkan perekonomian dari pukulan krisis finansial, di antaranya dengan menghapuskan pajak ekspor CPO (crude palm oil) padahal sebelumnya sudah menetapkan 2,5% untuk ekspor bulan November. Kebijakan ini diharapkan mendongkrak ekspor dan harga TBS di tingkat petani.
Asmar Arsjad mengatakan peningkatan produksi tersebut terutama bisa digalakkan oleh pabrik kelapa sawit (PKS) tanpa kebun yang kapasitas produksinya masih minim. Sedangkan bagi perusahaan eksportir bisa dilakukan dengan menggenjot ekspor, dan atau mengembangkan produksi hilir CPO. Dengan demikian, besar kemungkinan TBS petani semakin banyak yang terserap.
“Eksportir CPO diharapkan bisa meningkatkan produksi hilir, dan pengembangan biodiesel. Saya optimis, jika ini dilaksanakan maka harga TBS akan terdongkrak naik, karena kebutuhannya meningkat,” lanjut Asmar, seraya meminta pemerintah juga memberi kemudahan-kemudahan bagi pengembangan industri hilir tersebut.
Ditambahkannya, Apkasindo juga menyadari kendala pengusaha seiring penumpukan CPO di kilang-kilang pabrik, dan juga pelabuhan. Namun demikian, lanjutnya, jika pengusaha bersedia masih banyak produk yang bisa diproduksi dari kelapasawit. “Pengusaha lebih taulah itu, makanya kita berharap itu bisa dikembangkan,” tambahnya.
Pengamat ekonomi Jhon Tafbu Ritonga menilai penurunan PE CPO tersebut sudah terlambat. Mengingat CPO di pabrik sudah menumpuk, dan permintaan belum juga kembali seperti dulu. Sehingga, kondisi ini tidak akan begitu berpengaruh lagi terhadap harga TBS.
“Untuk ekspor mungkin masih bisa naik, tetapi untuk harga TBS masih menunggu waktu dulu. Soalnya, sekarang ini stok CPO mungkin masih banyak,” katanya, seraya menilai penghapusan PE CPO yang terlambat, bisa menyebabkan kebijakan tersebut tidak lagi efektif.
Sementara Bendahara Gabungan Pengusaha Kelapasawit Indonesia (Gapki) Sumut Laksamana Adiyaksa mengatakan, permintaan pasar internasional yang masih lemah menjadi kendala. Sebab, ekspor tidak serta merta bisa dinaikkan. Karena itu, pihaknya belum bisa memperkirakan harga TBS bisa naik.

PKS Tolak Beli TBS
Asmar Arsjad mengemukakan kini petani kelapasawit semakin kewalahan setelah harga TBS ambruk menjadi Rp 150/kg. Pasalnya, beberapa Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang memiliki perkebunan plasma mulai mengurangi pembelian Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit dari petani, bahkan beberapa di antaranya ada yang melakukan penolakan. “PKS yang punya kebun sudah membatasi produksi. Sehingga mereka cukup memanfaatkan hasil dari perkebunan plasma masing-masing,” katanya.
Ditambahkannya, pada keadaan normal, sekitar 40% hasil produksi petani masih bisa diserap oleh PKS plasma ini. Akan tetapi, terjadinya penumpukan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di pabrik menyebabkan, pengusaha mengurangi produksi. Keadaan ini, semakin parah dengan menurunnya permintaan dari negara-negara buyer.
“Saat pasar lelang sangat minim. Begitu juga dengan harga yang masih sangat rendah Rp4.180/kg. Penumpukan pun semakin menjadi, akibat sedikitnya transaksi,” papar Asmar Arsjad.
Dengan kondisi ini, lanjutnya, petani mulai mengarahkan penjualan TBS-nya bagi PKS yang tidak memiliki kebun. Meskipun, harus menanggung resiko harga yang lebih murah. Dan pada umumunya, yang menempuh jalur ini adalah petani yang belum memiliki hubungan kemitraan dengan pabrik. “Tidak ada pilihan lain bagi petani, karena PKS tanpa kebun masih membutuhkan TBS untuk diolah,” lanjutnya, seraya mengatakan, PKS tanpa kebun ini tetap mengambil bahan baku dari petani-petani bebas tersebut.
Ditambahkannya, dari total sekitar 45 PKS di Sumut, 16 diantaranya belum memiliki kebun plasma.
Untuk itu, lanjutnya, PKS tanpa kebun dan kebun yang masih belum memenuhi produksi sesuai kapasitas terpasang diharapkan mampu meningkatkan produksinya. Sehingga, TBS yang diproduksi petani bisa terserap dan membantu petani dari keterpurukan.
Menanggapi hal ini, Laksamana Adiyaksa kembali mengatakan, pembatasan pembelian itu mungkin saja terjadi. Pasalnya, hingga saat ini rata-rata tangki penyimpanan CPO di pabrik sudah mencapai 80%. Jika ini maksimalkan, dapat menggangu operasi pabrik yang bersangkutan. “Kalau dimaksimalkan, tentu sangat beresiko di tengah permintaan pasar yang masih rendah. Kita justeru khawatir pabrik bisa stop beroperasi, kalau itu dipaksakan,” katanya, melalui saluran telepon.

Volume Meningkat, Nilai Ekspor Tetap

Kamis, 30 Oktober 2008

JAKARTA - Pemerintah telah mengelurkan 10 paket kebijakan stabilisasi ekonomi. Salah satu adalah tentang penurunan pungutan ekspor (PE) minyak kelapa sawit (crude palm oil atau CPO) menjadi nol persen. Lewat kebijakan itu, diharapkan mampu mendongkrak volume ekspor CPO.

"Volume ekspor CPO November nanti bisa meningkat menjadi satu juta ton. Namun, nilainya tetap akan rendah," ujar Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Derom Bangun kemarin (29/10). Pungutan ekspor nol persen memang akan diberlakukan secara efektif mulai 1 November mendatang. Departemen Perdagangan sendiri sempat menetapkan PE CPO 2,5 persen untuk bulan November, dari sebelumnya 7,5 persen di bulan Oktober.

Derom mengatakan, volume ekspor CPO bulanan saat ini hanya berkisar 700 ribu ton per bulan. Itu terjadi setelah harga CPO internasional turun drastis dalam dua bulan terakhir. Memang, harga CPO pada Juli 2008 sempat mencapai USD 1.220 per ton, sehingga PE saat itu ditetapkan sebesar 20 persen.

"Biasanya, untuk mengekspor 1 juta ton per bulan, kalau harganya USD 1.000 maka nilai ekspornya bisa USD 1 miliar. Dengan harga sekarang (USD 500-600 per ton) dan volume hanya 700 ribu ton per bulan, paling nilainya berapa," terangnya.

Sementara itu, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan, harga patokan ekspor (HPE) CPO yang baru akan segera keluar dalam dua hari ini, untuk menyertai penetapan pungutan ekspor nol persen. Untuk itu, Depdag akan segera merevisi Permendag No.38/M-DAG/PER/10/2008 tentang HPE CPO sebelum 1 November. "Seharusnya selesai dalam dua hari ini untuk berlaku per 1 November"lanjut Mari.

Pada 22 Oktober lalu, Depdag telah menerbitkan Permendag yang menetapkan HPE untuk November dan patokan harga penentu persentase PE masing-masing USD 573 per ton dan trigger price USD 646,84 per ton, sehingga PE November menjadi 2,5persen. Namun Permendag itu harus direvisi dengan keluarnya 10 kebijakan stabiisasi ekonomiyang salah satu poinya menurunkan PE CPO menjadi nol persen. (wir/bas)

Timbang-timbang Saham CPO

30/10/2008 05:57
Asteria

INILAH.COM, Jakarta – Harga komoditas dunia yang anjlok membuat saham berbasis perkebunan minyak kelapa sawit dihindari investor. Namun, berbagai sentimen masih perlu dicermati karena saham sektor ini masih memiliki potensi menarik.

Pada penutupan perdagangan Rabu (29/10), saham-saham perkebunan minyak kelapa sawit (CPO) terpantau bergerak variatif. Saham PT Astra Agro Lestari (AALI) menguat 100 poin ke level Rp 4.700, setelah sebelumnya terperosok jauh dari posisi awal Oktober di level Rp 10.000 dan di awal September di level Rp 18.200 per lembarnya.

Demikian juga saham PT London Sumatera Plantations (LSIP) terpantau naik 90 poin ke Rp 1.570, setelah awal Oktober bertengger di level Rp 2.675 dan awal September di level Rp 5.900.

Adapun saham PT Bakrie Sumatera Plantation (UNSP) tercatat terus melemah. Kemarin saham ini turun 20 poin ke level Rp 205, setelah awal Oktober di level Rp 460 dan awal September lalu masih bercokol di harga Rp 1.170 per lembar.

Secara keseluruhan sejak awal September hingga hari ini, saham UNSP anjlok paling parah yaitu mencapai 47,07%, diikuti AALI yang turun 28,7%, dan kemudian LSIP yang jatuh 27,8%. Jatuhnya saham CPO dipicu melorotnya harga minyak kelapa sawit di pasar internasional.

Harga CPO di Rotterdam untuk pengiriman November-Desember 2008, terpantau turun US$ 60 (12,1%) menjadi US$ 435 per ton. Padahal awal bulan ini saja, harga CPO masih di level US$ 675 per ton.

Analis Ikhsan Binarto mengatakan, harga CPO masih akan mengalami pelemahan karena merosotnya permintaan dunia sebagai dampak dari resesi. Namun, lanjutnya, yang lebih dikhawatirkan sebenarnya adalah penurunan demand CPO dari China akibat pelambatan ekonomi di negeri tirai bambu tersebut.

Pasalnya, produksi minyak kelapa sawit Indonesia lebih banyak diolah menjadi minyak sayur (cooking oil) yang menjadi konsumsi China. Sedangkan industri sawit Indonesia tidak banyak mengolah CPO menjadi biofuel yang banyak dikonsumsi negara besar seperti AS dan Eropa.

Penurunan harga komoditas pun berimbas pada kinerja perseroan. Lihat saja UNSP yang semula optimistis dapat mencapai target perseroan, mulai menunjukkan keraguannya.

Pada paparan publik beberapa waktu lalu, manajemen mengatakan kinerja perseroan pada kuartal IV 2008 akan melemah sehingga target laba bersih perseroan tahun 2008 sebesar Rp 600 miliar diperkirakan tidak tercapai. Adapun konsensus laba bersih UNSP untuk 2008 adalah Rp 504 miliar.

Sementara perusahaan perkebunan sawit LSIP melakukan pembelian kembali saham (buyback) untuk mendongkrak nilai sahamnya. LSIP menganggarkan dana Rp 627,7 miliar untuk buyback saham untuk membeli 3,145 juta unit senilai Rp 6,231 miliar. Jumlah maksimal saham yang akan dibeli kembali sebanyak 20%.

Adapun kinerja AALI pada kuartal ketiga 2008 menunjukkan peningkatan penjualan bersih 62,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi Rp 6,7 triliun. Sedangkan laba bersih konsolidasi naik 65,6% menjadi Rp 2,1 triliun.

Kendati menunjukkan peningkatan, penjualan bersih AALI sebenarnya turun 13,4% dibanding kuartal kedua kemarin. Demikian juga laba bersih yang turun 30,9%. Hal ini disebabkan harga jual CPO kuartal ketiga ini yang merosot 15,2% menjadi Rp 7,285 dari sebelumnya Rp 8,587.

Namun, analis Kresna Graha Sekurindo Jordan Zulkarnaen mengatakan, sektor perkebunan CPO sebenarnya masih mengalami pertumbuhan di tengah perlambatan ekonomi.

Hal ini mengingat, minyak kelapa sawit adalah salah satu kebutuhan pokok energi atau energi alternatif primer pertama. “Demandnya masih akan terus ada, tidak pernah nol,” katanya.

Jordan memaparkan, pendapatan sektor ini masih bisa menunjukkan pertumbuhan karena ekspansi sudah dilakukan perseroan sejak 2006. Pendapat ini merujuk pada industri perkebunan kelapa sawit yang sudah beroperasi sejak generasi pertama, seperti AALI dan UNSP.

Kedua perusahaan ini ini sudah mempunyai landbank yang luas seiring gencarnya aksi akuisisi lahan, berlanjut pada peningkatan produksi. “Ini berarti, kalau harga CPO sekarang turun, ongkos produksi mereka masih relatif rendah. Sehingga profit marginnya masih ada,” paparnya.

Hal senada diungkapkan Analis IndoMitra Securities, David MJ Ferdinandus yang merekomendasi beli untuk AALI dan UNSP dengan target harga masing-masing Rp 4.700 dan Rp 200 per lembarnya. “Meskipun tergerus sentimen negatif dari penurunan harga CPO, kinerja perseroan masih cukup baik,” katanya.

Selain itu, kabar baik datang dari Pemerintah yang akhirnya menurunkan pungutan ekspor (PE) CPO menjadi nol persen per 1 November. Keputusan ini diambil pemerintah dan dicantumkan dalam 10 langkah mengatasi krisis. “Penurunan PE ini akan menggairahkan sektor CPO di tengah harga jual yang terus turun,” pungkas David. [E1]

source: inilah.com

Jurus Antisipasi Krisis Jangan Melempem di Pelaksanaan

Kamis, 30 Oktober 2008 00:03 WIB

TERBITNYA jurus baru penangkal krisis oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono Selasa (28/10) malam, mendapat tanggapan positif oleh kalangan usaha.
Sejauh ini mereka menilai jurus-jurus tersebut bisa membantu pemulihan ekonomi nasional, asalkan ada komitmen agar kebijakan tersebut tidak 'melempem' di tengah jalan.
"Pengusaha senang, setuju, dan mendukung keputusan itu (langkah atasi
krisis), akan tetapi jangan ragu dalam mengimplementasi berbagai kebijakan demi mendukung dunia usaha," kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi menanggapi 10 kebijakan untuk mengatasi gejolak keuangan yang terjadi saat ini.
Seperti diberitakan Media Indonesia (29/10), 10 jurus tersebut juga menyentuh sektor riil. Antara lain membatasi impor barang garmen, elektronik, makanan, minuman, mainan anak-anak, dan sepatu.
Juga akan membatasi tempat pembongkaran komoditas tersebut, yakni di Pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Emas, Tanjung Perak, Belawan, Makassar, serta dua bandara yakni Bandara Soekarno-Hatta dan Bandara Juanda.
"Dari dulu... berantas barang ilegal, berantas penyelundupan. Tetapi, kenyataannya barang impor membanjiri dan merusak pasar dalam negeri," kata Sofyan.
Karena itu, saat ini, tegasnya, yang penting adalah pelaksanaan di lapangan harus konkret. Tidak hanya janji-janji yang selalu menjadi jargon dalam menjaga kesinambungan ekonomi.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno bahwa keputusan yang tepat membutuhkan kecepatan untuk mengeksekusinya.
"Agar kepercayaan tidak semakin tererosi. Sebelumnya Presiden telah mengeluarkan arahan serupa dalam ten commandemend terdahulu. Namun upaya menggerakkan sektor riil belum terlaksana di tataran teknis," papar Benny.
Soal itu, Sekjen Electronic Marketer Club (EMC) Handojo Sutanto mencontohkan masih ada beberapa bank yang enggan memfasilitasi penjaminan ekspor akibat terlalu berisiko. "Ada beberapa bank yang mengurangi transaksi letter of credit (LC) karena adanya risiko di bank korespondensi," ucap Handojo.
Adapun, soal pembiayaan ekspor ini, dalam 10 langkah yang akan diambil pemerintah untuk atas krisis disebutkan bahwa untuk menjaga keberlangsungan ekspor, pemerintah dan BI akan menyediakan fasilitas rediskonto wesel ekspor mulai 1 November mendatang.

Pajak ekspor CPO
Sementara itu, mengenai penghapusan pajak ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) pengusaha sawit menyambut baik kebijakan tersebut. Aturan baru itu diharapkan dapat menggenjot ekspor CPO dalam dua bulan terakhir dari 500 ribu ton menjadi 700 ribu ton.
Menurut Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Derom Bangun, ekspor CPO per bulan telah mengalami penurunan sejak Agustus sebesar 50%, dari satu juta ton menjadi setengah juta ton. "Dengan ketentuan PE 0% ini, untuk ekspor November diharapkan naik jadi 700 ribu ton," katanya di Jakarta, Rabu (29/10).
Kendati demikian, secara terpisah, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Akmaluddin Hasibuan mengatakan target ekspor CPO sebanyak 14 juta ton tetap tidak bisa tercapai.
"Ini kebijakan yang sebenarnya sedikit terlambat. Sekarang masalahnya permintaan turun akibat krisis keuangan global yang berdampak pada turunnya konsumsi," katanya.(Ant/E-1)

source: mediaindonesia.com

Aturan Pajak Ekspor Nol Persen Segera Terbit

Rabu, 29 Oktober 2008 | 15:41 WIB


TEMPO Interaktif, Jakarta: Pemerintah akan segera mengeluarkan peraturan yang menetapkan pungutan ekspor nol persen untuk minyak kelapa sawit.

"Kami masih menunggu surat keputusan Menteri Keuangan. Setelah itu baru Peraturan Menteri Perdagangan dikeluarkan," kata Direktur Jenderal Perdagangan Diah Maulida, hari ini.

Kemarin malam, pemerintah mengeluarkan sepuluh kebijakan untuk menanggulangi krisis ekonomi global. Salah satunya menurunkan pungutan ekspor minyak sawit menjadi nol persen mulai tanggal 1 November nanti.

Padahal, 28 Oktober lalu, baru saja Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menetapkan pungutan ekspor sebesar 2,6 persen. Menurut Mari, keputusan baru itu nantinya akan berlaku untuk bulan November saja, tidak untuk seterusnya.

Bunga Manggiasih

Kebutuhan CPO Domestik Aman

Rabu, 29 Oktober 2008 | 11:42 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) untuk kebutuhan dalam negeri saat ini masih aman meskipun pajak ekspor produk komoditas itu diturunkan nol persen.

"Produksi CPO Indonesia mencapai 19 juta ton per tahun. Kebutuhan dalam negeri mencapai 5 persen dari total produksi," ujar Sekretaris Tim Nasional Bahan Bakar Nabati dan Direktur Jenderal Migas Departemen ESDM Evita Legowo pagi tadi, Rabu (29/10), di Jakarta.

Evita melihat Indonesia tidak harus membatasi ekspor mengingat kebutuhan CPO untuk produk makanan dalam negeri mencapai 4 juta ton per tahun. Sementara CPO untuk bahan bakar mencapai 3 juta ton per tahun.

Namun demikian, pemerintah perlu mengeluarkan Domestic Mandatory Obligation (DMO) untuk menjamin pasokan dan produksi dalam negeri. "Kita perlu mewaspadai Amerika Serikat yang mulai membatasi impor CPO," katanya.

Sorta Tobing

Ekspor Sawit Anjlok Hingga Akhir 2008

Rabu, 29 Oktober 2008 20:34 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Kebijakan pemerintah menurunkan pungutan ekspor menjadi nol persen belum mampu manaikkan ekspor minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO). Kebijakan itu merupakan salah satu dari 10 jurus pemerintah untuk mengatasi dampak krisis keuangan global.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Derom Bangun memperkirakan, sampai akhir tahun ekspor masih lemah, hanya berkisar antara 500-700 ribu ton. "November mendatang, ekspor CPO belum bisa pulih, karena permintaan dunia sedang lesu," ujarnya, Rabu (29/10).

Derom menuturkan, sejak Agustus lalu, ekspor CPO anjlok hampir 50 persen, dari satu juta ton per bulan menjadi sekitar 500 ribu ton. Padahal dari Januari sampai Juli lalu, ekspor CPO masih satu juta ton. Anjloknya ekspor karena para pembeli dari luar negeri banyak yang membatalkan kontrak. Target ekspor tahun ini sekitar 14 juta ton dari total produksi CPO dalam negeri sekitar 18,8 juta ton. Sisanya untuk memasok kebutuhan CPO domestik.

Para pembeli CPO Indonesia antara lain, India, Pakistan, Cina dan Eropa. Ekspor CPO ke India sekitar empat juta ton, Pakistan 740 ribu ton, Cina sebesar 2-2,5 juta ton, sisanya Eropa.

Menurut Derom, ekspor CPO akan pulih enam bulan mendatang atau pada April-Mei tahun depan. Alasannya, ekspor CPO dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, seberapa besar pengaruh krisis keuangan global terhadap pembeli. Kedua, harga minyak mentah dunia. Apabila harga minyak mentah dunia lemah, maka harga CPO turut melemah. Selain itu, ketika harga minyak mentah dunia lemah, penyerapan CPO ikut lemah. "Tergantung, apakah negara-negara pengimpor itu bisa mengatasi dampak krisis keuangan global atau tidak," ujarnya.

Harga CPO saat ini Rp 4.100 per ton, sedangkan di Eropa US$ 460 per ton. Maret lalu, harga di Eropa US$ 1.300 per ton. Artinya, ada penurunan harga sekitar 60 persen. Meski terjadi penurunan harga, kata Derom, para petani tetap memanen kelapa sawit mereka. "Mereka tidak akan membiarkan buah membusuk," katanya.

Harga sawit di tingkat petani saat ini sekitar Rp 300 dan Rp 600-700 per kilogram di pabrik. Akibat penurunan harga saat ini stok CPO melimpah sekitar tiga juta ton dari 1,6-1,8 juta ton.

NIEKE INDRIETTA

source: tempointeraktif.com

Industri Hilir Kelapa Sawit Harus Dibangun di Riau

29 Oct 2008 11:19 wib
ad

PEKANBARU (RiauInfo) - Upaya yang dapat dilakukan untuk mkengantisipasi anjloknya harga buah sawit di Riau adalah dengan membangun industri hilir kelapa sawit di daerah ini. Jika industri hilir ini ada di Riau, maka harga sawit di daerah ini tidak lagi tergantung pada permintaan CPO dari luar negeri.

Pengamat ekonomi dari Universitas Riau Edyanus Herman Halim mengatakan, upaya Pemprov Riau agar dibangun industri hilir di Riau tidak bisa hanya dengan memohon pada pemerintah saja. Pemprov Riau harus lebih dahulu membangun infrastruktur yang dibutuhkan untuk industri tersebut.

Tanpa adanya dibangunnya infrastruktur yang dibutuhkan, tidak mungkin investor akan tertarik menanamkan modalnya di bidang industri hilir kelapa sawit di Riau. "Pemerintah pusat juga tidak akan merespon keinginan Pemprov Riau itu," jelasnya.

Dia mengatakan, salah satu infrastruktur yang diperlukan investor adalah jalan, air dan listrik. Ketiga hal inilah yang sangat mendasar dibutuhkan untuk membangun industri hilir kelapa sawit. "Makanya Pemprov Riau harus terlebih dahulu menyediakannya," jelas dia lagi.(Ad)

source: riauinfo.com

Kemiskinan Riau Bakal Naik dari 11 menjadi 32 Persen

29 Oct 2008 11:17 wib
ad

PEKANBARU (RiauInfo) Anjloknya harga sawit akhir-akhir ini tidak pelak lagi membuat banyak petani sawit di Riau jatuh miskin. Hal ini berdampak dari naiknya angkat kemiskinan di Riau yang sebelumnya hanya tercatat 11 persen, kini menjadi 32 persen.

Hal itu dikatakan Kepala Dinas Perkebunan Riau, Soesilo di Pekanbaru terkait masih anjloknya harga buah sawit saat ini. Dia mengatakan naik pesatnya angka kemiskinan ini disebabkan jumlah warga Riau yang berkecimpung dalam bidang persawitan ini sangat besar.

Dia menyebutkan, untuk saat ini saja jumlah petani sawit di Riau sudah mencapai 941 ribu kepala keluarga. Jumlah ini belum termasuk yang bekerja sebagai pendodok sawit, pembersihan pohon sawit, dan transportasi buah sawit dan sebagainya.

"Jadi kalau anjloknya harga sawit ini berlangsung berbulan-bulan, maka dapat dipastikan orang-orang yang berkecimpung di usaha sawit akan jatuh miskin," ujarnya. Kendati selama ini mereka memiliki saving uang, tapi karena anjloknya sawit dalam waktu lama, uang tersebut pasti akan terpakai juga.

Terkait hal itu, dia berharap pemerintah pusat memberikan kemudahan bagi investor untuk mendirikan industri yang menggunakan bahan baku CPO di dalam negeri. Kalau bahan baku CPO itu termanfaatkan di dalam negeri, tentunya produksi CPO tidak lagi tergantung pada permintaan luar negeri. "Dengan demikian buah sawit yang diproduksi para petani akan termanfaatkan secara maksimal sehingga dengan sendirinya harga akan bisa terdongkrak," jelasnya. Dia menyebutkan, kalau kondisi masih tetap seperti sekarang ini dia memperkirakan anjloknya harga sawit akan terus terjadi sampai 6 bulan mendatang.(ad)

source: riauinfo.com

Harga TBS Kelapa Sawit Terus Anjlok

ekonomi
Rabu, 29 Oktober 2008 - 10:09 wib

MEDAN - Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit terpuruk hingga di bawah Rp200 per kg. Akibatnya, petani tidak memanen karena biaya operasional lebih tinggi.

Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumatera Utara (Sumut) Timbas Ginting mengatakan, penurunan harga minyak internasional menyeret harga kelapa sawit ke level terendah. Dengan kondisi ini, Pabrik Kelapa Sawit Tanpa Kebun (PKSTK) kini kesulitan bahan baku akibat tidak ada pasokan dari petani."Pabrik yang tidak memiliki kebun dan pabrik dengan 30 persen bahan baku dari rakyat kekurangan pasokan, karena banyak petani tidak melakukan panen," ujar Timbas di Medan.

Saat ini terdapat 21 PKSTK yang tersebar di Sumut yang bergantung pada pasokan bahan baku dari petani. Hanya pabrik kelapa sawit PTPN yang tidak menggunakan pasokan bahan baku dari hasil perkebunan rakyat. Dengan demikian, sebagian pabrik di Sumut masih membutuhkan pasokan dari petani, setidaknya 30 persen dari kapasitas produksi. Menurut dia, pemilik pabrik tidak mampu menaikkan harga sawit agar petani tetap melakukan panen.

Persoalannya, harga saat ini sudah sangat tipis dengan biaya produksi. "Pabrikan saat ini masih menghargai kelapa sawit pada kisaran Rp600-700 per kg. Sementara harga di tingkat petani ditentukan pengumpul atau lebih murah, karena dipotong biaya transportasi," jelas Timbas.

Dengan harga pabrik Rp600-700 per kg, harga TBS di tingkat petani akan bervariasi tergantung jarak dari pabrik. Harga bisa dibanderol mulai Rp300 ke bawah. Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Asmar Arsyad mengatakan, harga impas (break even point/BEP) kelapa sawit petani setidaknya Rp400 per kg.

Jadi, wajar jika petani tidak memanen karena harga kelapa sawit di bawah Rp300 per kg.Apalagi lokasi kebun jauh dari jalan raya, maka TBS hanya dihargai Rp150 per kg. "Untuk biaya dodos (alat pemetik buah sawit) dan pemikulan ke pinggir jalan saja, harga Rp150 tidak cukup. Padahal, kebun sawit rakyat kebanyakan jauh dari pabrik,"ujarnya.

Luas perkebunan kelapa sawit rakyat mencapai sekitar 32 persen dari total luas perkebunan sawit di Sumut. Berdasarkan data 2007, luas perkebunan rakyat mencapai 354.044 ha, 302.241 ha milik PTPN, dan 436.970 ha milik perusahaan swasta.

Khaidir Aprin, 48, petani asal Asahan, mengatakan sebagian petani saat ini menyerahkan kelapa sawitnya untuk dipetik siapa saja tanpa dipungut bayaran."Sebab, jika tandan matang tidak diturunkan akan merusak tanaman kelapa sawit," katanya. Tindakan itu dilakukan warga yang memiliki kebun jauh dari pabrik. Meski sudah diserahkan begitu saja, tidak semua kelapa sawit dipanen, karena biaya pemetikan tidak sesuai lagi dengan harga jual.

Petani lainnya, Kamil, 50, warga Padang Lawas, menyatakan sudah dua pekan terakhir harga sawit mereka jual seharga Rp200 per kg. "Terpaksalah, karena harga kelapa sawit saat ini untuk biaya hidup saja tidak cukup," ujarnya.

Biodiesel

Sementara itu, pemerintah meminta produsen biodiesel segera meningkatkan kapasitas produksinya dengan menyerap sebanyak-banyaknya kelapa sawit yang kini sedang melimpah. Dirjen Migas Departemen ESDM Evita Legowo mengatakan, penurunan harga kelapa sawit belakangan ini membuat harga biodiesel akan semakin kompetitif.

"Pengusaha harus menangkap peluang ini," katanya. Apalagi, lanjutnya, PT Pertamina sudah berkomitmen menyerap secara maksimal produk biodiesel. Evita menambahkan, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM No32/ 2008 yang mewajibkan pemanfaatan bahan bakar nabati bagi industri. (sindo//rhs)

source: okezone.com

Tuesday, October 28, 2008

PE CPO Nol, Volume Ekspor Bisa Tembus 1 Juta Ton

Rabu, 29/10/2008 08:44 WIB
Suhendra - detikFinance

Jakarta - Volume ekspor sawit mentah atau crude palm oil (CPO) bakal melonjak setelah pemerintah mengumumkan paket kebijakan stabilitas ekonomi yang salah satunya adalah menurunkan pajak ekspor (PE) CPO menjadi 0% yang efektif berlaku per 1 November 2008. Volume ekspor CPO bulanan selama ini hanya di kisaran 700.000 ton per bulan, setelah harga CPO turun drastis 2 bulan terakakhir. Dengan kebijakan tersebut dipastikan akan mendongkrak volume ekspor hingga 1 juta ton pada bulan November 2008.

PE CPO sebelumnya pada bulan Oktober ditetapkan 7,5%, dan sebelum pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ini, Departemen Perdagangan sempat menetapkan PE bulan November sebesar 2,5%.

"Adanya PE 0% pasti disambut positif oleh petani, ini bukti ada pembelaan pemerintah, terhadap pengusaha dan petani tetapi karena harga sawit sudah parah maka tidak terlalu besar dampaknya tetapi secara psikologis dan politis itu baik terhadap respons keluhan petani dan pelaku usaha," kata Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Derom Bangun saat dihubungi detikFinance, Rabu (29/10/2008).Menurut Derom, penetapan PE 0% akan berdampak positif terhadap penetrasi ekspor CPO Indonesia ke berbagai negara seperti India dan China sehingga diperkirakan bisa meningkat.

"Biasanya mengekspor 1 juta ton per bulan, kalau harga US$ 1.000 maka bisa US$ 1 miliar nilai ekspornya, dengan harga sekarang dan volume hanya 700.000 ton per bulan paling US$ 300 jutaan. Mungkin volume di November bisa meningkat menjadi 1 juta ton," katanya.(hen/ir)

source: detik.com

Biofuel: Peluang atau Angan-angan (3)

Rabu, 29-10-2008

*Bersihar Lubis
SYAHDAN, Indonesia sudah punya master plan pengembangan biofuel, baik tentang lahan, infrastruktur, pabrik, marketing, maupun dana. Biofuel terdiri dari biodiesel dari kelapa sawit dan jarak pagar serta bioetanol dari singkong atau tebu.

Angan-angannya, pada 2010 porsi substitusi biofuel mencapai 10 persen konsumsi BBM. Targetnya, pada 2010 sudah berdiri 11 pabrik biofuel di lahan 6 juta hektare. Dana dari hulu ke hilir, sekitar Rp 200 triliun. Di hulu, dengan asumsi US$ 1 miliar per hektar diprediksi perlu dana Rp 53 triliun. Di hilir, terutama pabrik, perlu Rp 150 triliun.Sebetulnya, oke-oke sajalah, asalkan jangan terulang lagi sikap “tambal sulam.

”Tatkala harga minyak mentah membubung, kita menengok lagi biofuel. Tapi jika berfluktuasi menurun, dilupakan lagi.Patut dicatat bahwa hingga Maret 2008 lalu, ternyata dari 70 calon investor masih banyak yang belum merealisasikannya karena tidak adanya kepastian pasar domestik (Pertamina menurunkannya dari 5% menjadi 1% saja).

Setidaknya, Begitulah yang diungkapkan oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Biofuel Indonsia (Aprobi) Paulus Cakrawan kepada pers. Jangan sampai terjadi pula miss koordinasi antarinstansi, suatu penyakit egosektoral yang belum sembuh. Memang, dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2006, disebutkan selain bupati dan gubernur, 13 menteri, seperti Menteri ESDM, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan terlibat langsung. Menko Perekonomian sebagai komandonya pula.

Koordinasi menjadi penting, untuk menjaga jangan gara-gara kelak ada harapan besar dari pasar, dan akan men-drive harga nabati, kemudian memunculkan ancaman berupa terjadinya kompetisi lahan. Yang tadinya untuk pangan disedot ke bionabati untuk menghasilkan bio energi.

Mestilah ditemukan harmoni yang proporsional antara bionabati dan bioenergi. Untuk itu, jangan terlalu all out di energi dan mengakibatkan sektor pangan terancam. Ketahanan pangan (food security) harus berimbang dengan bioenergi/energy security/ketahanan energi. Jangan sampai ada rebutan lahan, dan kanibalisasi, sehingga diperlukan adanya regulasi dari pemerintah.Sangat pradoks jika pabrik bioethanol marak, tetapi kebun sawit tidak bertambah. Setelah bahan baku siap di berbagai perkebunan, barulah pabrik bioethanol dibangun. Jangan sebaliknya. Bisa-bisa energi melahap pangan.

Paling penting, peran pekebun jangan diabaikan. Fakta berbicara, bahwa perkebunan swasta dan BUMN pada 2000 hanya 3,4 juta hektare dari total area 11,7 juta hektare. Dari jumlah itu, 70 persen adalah perkebunan kelapa sawit swasta menengah dan kecil, yang tumbuh cepat karena subsidi bunga, seperti juga petani karet. Mereka sabar menunggu lima sebelum karet disadap, karena berkebun bagi mereka sudah menjadi kultur.Jika sehektare kebun karet dihargai Rp 10 juta, investasi petani mencapai Rp 37 triliun. Berapa nilai 7,5 juta hektare sawah, kebun kopi, teh, dan yang lain, yang sebagian besar investasi rakyat? Petani adalah investor sejati. Hasil ekspor perkebunan rakyat US$ 5 miliar setahun.

Padahal, dividen dan pajak PTPN I-XIV setahun, kurang dari Rp 1 triliun. Kita terkenang tuan Douwes Dekker alias Multatuli. Penulis roman “Max Havelaar” itu memprotes tanaman paksa ala kolonial Belanda, dan Ratu Belanda mengabulkannya. “Katakan kepada saya, bukankah si petani miskin, bukankah padi menguning seringkali untuk memberi makan orang yang tidak menanamnya?” kata Dekker saat berpidato menjadi Asisten Residen di Lebak, Banten. (Habis)*Wartawan MedanBisnis

source: medanbisnisonline

CPO Dikonsentrasikan Untuk Dalam Negeri

Rabu, 29-10-2008

MedanBisnis – JakartaMengatasi rendahnya harga jual minyak mentah kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) di pasar luar negeri, pemerintah memutuskan untuk mengkonsentrasikan penggunaan komoditas ini bagi pasar dalam negeri.

“Itu kebijakan politik kita. Politik dagang kita akhirnya meniscayakan untuk betul-betul bisa digunakan lebih banyak lagi di dalam negeri,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada konferensi pers di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Selasa.

Harga CPO di pasar dunia kini terus merosot, bahkan telah jatuh di bawah level US$ 500 per ton, seiring banyaknya buyer di luar negeri yang membatalkan kontrak pembelian akibat terpukul krisis finansial global. Kondisi ini menekan pengusaha dan petani sawit.

Untuk itu, Presiden telah menginstruksikan kepada Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro dan Pertamina agar CPO dapat terserap untuk konsumsi dalam negeri. “Kita minta Menteri ESDM, Pertamina, untuk segera melaksanakan langkah-langkah nyata. Jangan sampai ada jarak keputusan yang kita ambil dengan implementasi nanti di lapangan,” tuturnya.

Penurunan harga jual CPO di pasar luar negeri, menurut Presiden, merupakan imbas tak terhindarkan dari krisis keuangan global akibat penciutan permintaan di pasar dunia.Konsentrasi konsumsi CPO untuk pasar dalam negeri, kata Presiden, bisa disinkronkan dengan langkah pemerintah yang sejak 2005 ingin mengembangkan bahan bakar nabati.“Waktu itu sesungguhnya untuk menyelamatkan uang kita dari harga BBM yang berasal dari fosil yang mahal. Itu yang terjadi meskipun minyak turun, tapi harga jual produk CPO kita di luar negeri juga rendah,” jelasnya. (ant)

source: medanbisnisonline.com

10 Kebijakan Atasi Gejolak Keuangan

By Republika Contributor
Rabu, 29 Oktober 2008 pukul 01:31:00

JAKARTA -- Pemerintah menggariskan sepuluh kebijakan untuk mengatasi gejolak keuangan, di antaranya membeli kembali Surat Utang Negara (SUN) dan menurunkan pungutan ekspor (PE) CPO menjadi nol persen.Kebijakan itu dihasilkan pada rapat kabinet terbatas di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Selasa malam, yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan juga dihadiri oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla serta jajaran menteri Kabinet Indonesia Bersatu dan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono.

Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam keterangan pers usai rapat menjelaskan pembelian kembali SUN dilakukan untuk menjaga kepercayaan pelaku pasar terhadap SUN dengan melakukan stabilisasi pasar SUN.Pembelian kembali, menurut Menkeu, dilakukan untuk memberi sinyal bahwa pemerintah dan BI memberi perhatian kepada surat berharga mereka dan untuk meyakinkan pasar bahwa surat itu bukanlah barang tidak berharga.

"Pembelian kembali SUN dilakukan secara bertahap dalam jumlah yang terukur," ujarnya.Namun, Menkeu maupun Gubernur BI belum menyebutkan jumlah dana yang dialokasikan pemerintah untuk pembelian kembali SUN tersebut."'Buy back' nanti akan dibahas antara Depkeu dan BI. Jumlahnya cukup untuk mempengaruhi. Berapanya lihat saja nanti setelah terjadi," ujar Boediono.

Pemerintah juga melakukan langkah untuk menjaga kesinambungan neraca pembayaran dan devisa dengan mewajibkan seluruh BUMN menempatkan seluruh hasil valuta asingnya di bank dalam negeri.BUMN diwajibkan menyimpan dananya dalam satu kliring "house" dan melaporkan informasi tentang penghasilan dan kebutuhan valas ke Kantor Kementerian Negara BUMN.

Transaksi itu pun dilaksanakan melalui bank-bank BUMN dengan laporan yang harus diperbarui setiap hari.Untuk menjaga stabilitas likuiditas dan mencegah terjadinya kompetisi bunga, BUMN juga telah diinstruksikan agar tidak melakukan pemindahan dana dari bank ke bank.Untuk menjaga kesinambungan neraca pembayaran atau devisa dan mempercepat pembangunan infrastruktur, pemerintah memutuskan mempercepat pelaksanaan proyek-proyek yang sudah mendapat komitmen pembiayaan bilateral maupun multilateral.

"Berbagai proyek pemerintah yang dibiayai oleh pinjaman asing diusahakan segera mendapat 'approval' sehingga pinjaman itu segera masuk ke 'account' pemerintah dan menambah valuta asing yang masuk ke kita," jelas Sri Mulyani.Untuk menjaga kesinambungan neraca, pemerintah juga akan memanfaatkan bilateral "swap arrangement" yang telah disepakati oleh negara ASEAN+3 yakni Cina, Korea, dan Jepang.

"Ini akan dilakukan untuk menjaga-jaga neraca pembayaran. Sekarang sedang disiapkan mekanismenya," ujar Sri Mulyani.Sedangkan untuk menjaga keberlangsungan ekspor dengan memberikan garansi terhadap risiko pembayaran dari pembeli, pemerintah dan BI akan menyediakan fasilitas rediskonto wesel ekspor "with recourse" yang mulai berlaku 1 November 2008.

"Tujuannya untuk menjaga agar ekspor tetap dapat berjalan dengan memberikan garansi terhadap resiko pembayaran. Pemerintah akan melakukan monitoring ketat agar fasilitas ini tidak disalahgunakan oleh eskportir, misalnya seperti ekspor fiktif," tutur Sri Mulyani. Untuk menjaga keberlangsungan ekonomi sektor riil, pemerintah mengambil kebijakan untuk menyelamatkan pasar ekspor minyak kelapa sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO).Mulai 1 November 2008, pemerintah mengurangi PE CPO menjadi nol persen dari sebelumnya 2,5 persen.

Sedangkan untuk mencegah impor barang ilegal yang diduga akan masuk ke Indonesia secara sistemik, pemerintah akan menerbitkan ketentuan pembatasan impor barang tertentu yang mulai berlaku 1 November 2008.Komoditi yang dikenakan pembatasan impor adalah garmen, elektronika, makanan dan minuman, mainan anak-anak, sepatu, dan hanya bisa diimpor oleh importir terdaftar dengan kewajiban dilakukan verifikasi di pelabuhan muat.Pelabuhan untuk membongkar komoditi tersebut pun hanya bisa dilakukan di tempat yang telah ditentukan, yaitu Pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Emas, Tanjung Perak, Belawan, Makassar, dan dua bandara yakni Bandara Soekarno-Hatta dan Bandara Juanda.

Pemerintah juga akan menerbitkan peraturan Mendag berlaku sejak 1 November 2008 tentang pembentukan gugus tugas terpadu antar instansi terkait guna meningkatkan pengawasan terhadap barang-barang yang beredar.Sedangkan untuk menjaga kesinambungan fiskal 2009, pemerintah telah berdiskusi dengan DPR agar RAPBN 2009 yang akan disetujui DPR pada Kamis, 28 Oktober 2008, dapat diubah secara fleksibel untuk menghadapi imbas krisis ekonomi global yang diperkirakan masih terjadi sampai tahun depan.

"Situasi ini diperkirakan akan berlangsung sampai 2009, sehingga pemerintah dimungkinkan melakukan perubahan APBN tanpa mengurangi hak-hak DPR," ujar Sri Mulyani.Sepuluh kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengatasi gejolak pasar keuangan, menurut Menkeu, diambil sebagai langkah untuk melindungi tiga pilar yang terus dijaga pemerintah, yaitu keseimbangan neraca pembayaran, kredibilitas BI, serta kredibilitas APBN."Tujuan kebijakan ini untuk menjaga ekonomi agar tidak mengalami gangguan terlalu banyak dan sebagai respon terhadap kesulitan-kesulitan dihadapi pelaku ekonomi," ujarnya.Pemerintah, lanjut Menkeu, tetap mengikuti perkembangan kondisi keuangan terakhir dan terus menyusun rencana-rencana kerja mengikuti perkembangan tersebut.ant/kp

Lahan Kelapa Sawit untuk Orangutan

KUALA LUMPUR -- Menyempitnya habitat alami sejumlah satwa liar akibat pembukaan perkebunan kelapa sawit tak membuat para pejuang pelestarian lingkungan Malaysia hilang akal. Kini mereka meluncurkan strategi baru untuk melindungi orangutan Kalimantan, gajah pygmy, dan satwa yang terancam punah lainnya dengan membeli lahan dari pemilik perkebunan untuk dijadikan hutan suaka.

Langkah ini diambil untuk menjaga kelestarian orangutan yang jumlahnya terus merosot akibat pembalakan liar dan meluasnya perkebunan kelapa sawit dengan cepat di Malaysia dan Indonesia, dua negara tempat orangutan ditemukan di alam.

Kelompok konservasi LEAP yang berbasis di Malaysia tengah merundingkan pembelian 89,8 hektare lahan hutan tropis di negara bagian Sabah, Kalimantan, dari operator perkebunan sawit.
Lahan seluas itu dibutuhkan untuk dijadikan sebagai koridor yang menghubungkan dua wilayah suaka margasatwa yang menjadi rumah bagi 600 orangutan, 150 gajah pygmy, dan beragam jenis satwa dilindungi lainnya, seperti monyet proboscis, burung rangkong, dan berang-berang.

"Untuk membeli lahan itu, LEAP melakukan aksi penggalangan dana melalui sumbangan masyarakat dan pribadi," kata Cynthia Ong, Direktur Eksekutif LEAP. World Land Trust, sebuah yayasan amal untuk konservasi alam yang bekerja sama dengan LEAP dalam inisiatif itu, mengatakan bahwa mereka membutuhkan Rp 5,3 miliar untuk membeli lahan tersebut.

Ong mengatakan ini adalah pertama kalinya sebuah lembaga swadaya masyarakat berusaha membeli tanah di Kalimantan, Malaysia, untuk perlindungan lingkungan dengan bantuan pemerintah. Dia belum bisa memastikan kapan pembelian hutan itu dilaksanakan.

"Pembelian lahan ini amat mendesak," tutur Ong. "Kami tak punya jalan lain untuk menghindari potensi timbulnya konflik antara manusia dan satwa liar."

Jumlah orangutan di Malaysia dan Indonesia turun hingga separuhnya dalam 20 tahun terakhir hingga mencapai angka di bawah 60 ribu ekor akibat aktivitas pembukaan hutan. Para ilmuwan memperkirakan populasi primata turun lebih dari 5.000 ekor setiap tahun sejak 2004. AP

source: korantempo.com

317.615 Hektar Hutan Lindung Lampung Dilirik Perdagangan Karbon

Selasa, 28 Oktober 2008 20:31 WIB

BANDAR LAMPUNG, SELASA - Hutan lindung di wilayah Lampung seluas 317.615 hektar saat ini dilirik negara-negara maju untuk diikutkan dalam perdagangan karbon. Saat ini Pemerintah Provinsi Lampung tengah mengkaji prosedur dan kontrak perdagangan karbon yang ditawarkan.

Asisten II Gubernur Lampung Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan (Ekubang), Djunaedi Jaya, Selasa (28/10) pada acara ekspose kerjasama perdagangan karbon internasional di Gedung Gubernur Lampung mengatakan, kerjasama perdagangan karbon tersebut akan menguntungkan Lampung. Selama ini, diketahui hutan lindung di Lampung sudah banyak yang rusak.

"Kerusakan terjadi karena faktor ekonomi, masyarakat masuk hutan dan merambah. Selain itu hutan rusak juga akibat penebangan liar. Sementara kita tidak memiliki dana cukup untuk menjaga dan memelihara hutan," ujar Djunaedi Jaya.

Berdasarkan ekspose, satu ton karbon dihargai sekitar 1013 dollar Amerika Serikat (AS). Harga tersebut diperkirakan akan terus meningkat menjadi 100 dollar AS per ton pada 2012.
Menurut Djunaedi, tawaran tersebut cukup menarik. Apabila Lampung dengan luasan hutan lindung 317.615 hektar yang terletak di lima kabupaten mampu menjaga kelestarian hutan, Lampung bisa mendapat kompensasi sekitar 80 persen dari perdagangan karbon.
"Pemprov Lampung akan mempelajari rancangan kerjasama perdagangan karbon tersebut. Kami akan segera memaparkan tawaran ini kepada bapak gubernur untuk ditindaklanjuti," ujar Djunaedi.

Erlyn Rommel, mitra lokal Carbon Strategic Global Ltd (CSG) atai IBN Group yang berkedudukan di Australia pada ekspose tersebut mengatakan, dana kompensasi tersebut harus bisa dimanfaatkan untuk menjaga kelestarian hutan. Sesuai mekanisme perdagangan, CSG akan melihat potensi hutan lindung Lampung dan kemampuan produksi karbon.

Kemampuan produksi akan dikalikan dengan harga per ton karbon. Hasilnya akan dibagi antara Pemprov Lampung, kabupaten pemilik hutan, serta CSG. Apabila dalam masa kontrak terjadi kerusakan hutan yang cukup parah, kontrak akan langsung dihentikan.

Untuk bisa menjaga hutan, CSG akan memfasilitasi Pemprov Lampung dalam hal penjagaan dan pengawasan hutan. CSG akan merekrut polisi hutan dan membayar dengan bayaran tinggi untuk membantu menjaga hutan dari pen ebangan liar atau aksi perusakan. CSG juga akan memberikan pendidikan mengenai kehutanan kepada masyarakat sekitar hutan lindung.
Menurut Erlyn, perdagangan karbon tersebut menarik. Perdagangan karbon merupakan kompensasi dari negara-negara industri maju untuk membayar kerusakan lingkungan yang sudah mereka buat. Asap karbon dioksida yang dihasilkan pabrik-pabrik di Eropa dan AS sudah merusak lapisan ozon.

Salah satu cara untuk memperbaiki kerusakan ozon adalah dengan mempertahankan produksi karbon dari hutan-hutan di Indonesia, Asia Pasific, Amerika Selatan, ataupun Papua New Guinea. Kompensasi diambilkan dari pembayaran negara-negara maju tersebut atas kerusakan lingkungan yang dibuat.

CSG berupaya memfasilitasi daerah-daerah di Indonesia yang memiliki hutan untuk mendapatkan kompensasi atas karbon yang dihasilkan, sekaligus untuk menjaga dan memelihara hutan lindung.

Astra Agro Raup Untung Rp 2,13 Triliun

Selasa, 28 Oktober 2008 20:27 WIB
TEMPO Interaktif, JakartaLaba Bersih Astra Agro Lestari Tbk Rp : Perusahaan perkebunan PT Astra Agro Lestari Tbk hari ini melaporkan sampai kuartal ketiga 2008 berhasil membukukan laba bersih sebesar Rp 2,13 triliun. Pencapaian ini meningkat 65,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2007 sebesar Rp 1,29 triliun.

Dari laporan keuangan konsolidasi Astra Agro yang tidak diaudit sampai akhir September 2008, disebutkan penjualan bersih konsolidasi Astra Agro tercatat sebesar Rp 6,7 triliun, atau tumbuh 62,6 persen dibanding periode yang sama tahun 2007 sebesar Rp 4,12 triliun.

Widya Wiryawan, Presiden Direktur Astra Agro mengatakan, tingginya harga minyak sawit serta produk turunannya hingga kuartal ketiga telah mendorong pertumbuhan penghasilan perseroan. Harga rata-rata minyak sawit perseroan sampai kuartal ketiga Rp 7.995 per kilogram, atau naik 40,9 persen dibanding periode yang sama 2007 sebesar Rp 5.673 per kilogram.

Selain itu, pertumbuhan penghasilan juga dipicu naiknya volume penjualan minyak sawit perseroan seiring dengan peningkatan produksi minyak sawit. Penjualan minyak memberikan kontribusi penjualan terbesar yaitu 84,3 persen, sedangkan sisanya disumbangkan dari penjualan produk turunan minyak sawit dan lain-lain.

Seiring krisis keuangan global serta melemahnya permintaan pasar minyak sawit, memasuki kuartal keempat 2008 ini harga minyak sawit merosot. “Kondisi ini tentu saja mempengaruhi usaha perkebunan kelapa sawit,” kata Widya.
EFRI RITONGA

source: tempo.co.id

Produsen Biodisel Diminta Tingkatkan Produksi

Selasa, 28 Oktober 2008 14:36 WIB
JAKARTA--MI: Pemerintah meminta produsen biodiesel segera meningkatkan kapasitas produksinya dengan menyerap sebanyak-banyaknya kelapa sawit yang kini sedang melimpah. Dirjen Migas Departemen ESDM Evita Legowo di Jakarta, Selasa (28/10) mengatakan penurunan harga kelapa sawit belakangan ini membuat harga biodiesel akan semakin kompetitif. "Pengusaha harus menangkap peluang ini," katanya.

Apalagi, lanjutnya, PT Pertamina (Persero) sudah berkomitmen menyerap secara maksimal produk biodiesel. Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit terus mengalami penurunan dari sebelumnya Rp3.000 per kg menjadi hanya Rp200-300 per kg.

Pada 26 September 2008, kata Evita, pemerintah telah mengeluarkan aturan Peraturan Menteri ESDM No 32 Tahun 2008 yang yang mewajibkan pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN). Menurut dia, besaran mandatory yang ditetapkan merupakan angka minimal, sehingga akan semakin mendorong pemanfaatan BBN.

Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) memperkirakan produksi biodiesel tahun 2009 akan mencapai 2.521.000 ton dengan pemakaian domestik 1.121.000 ton. Produksi biodiesel itu dihasilkan sebelas perusahaan yakni PT Asian Agri Tbk, PT Energi Alternatif Indonesia, PT Eterindo Wahanatama Tbk, PT Darmex Biofuel, Ganesha Energy Group, PT Indo Biofuels Energy, PT Multikimia Intipelangi, Musim Mas Group, Pertama Hijau Group, PT Sumi Asih, dan Wilmar Group. (Ant/OL-06)

source: mediaindonesia.com

Govt announces steps to overcome financial crisis

10/29/08 07:22

Jakarta, (ANTARA News) - The government will buy back state debentures (SUN) and cut down crude palm oil (CPO) export tax to zero percent in an effort to face financial crisis, Finance Minister Sri Mulyani said Tuesday night.

The minister said the decision to buy back the SUN and cut the export tax of CPO were among the ten point-policy taken by the government in the face of the present economic condition. The ten-point decision was decided in a limited cabinet meeting at the Presidential office Tuesday night, which was chaired by President Susilo Bambang Yudhoyono.

The meeting was also attended by Vice President Yusuf Kalla, cabinet ministers and Bank Indonesia (BI) Governor Boediono.Finance Minister Sri Mulyani told the press that the SUN buy-back would be carried out in an effort to stabilize market conditions and to maintain market players` confidence.

"The buy-back of the SUN will be carried out in stages," the minister said. The government also is taking a step to maintain the continuation of the balance of payment and the availability of foreign exchange reserves.

She said the government will accelerate infrastructure development, provide an export rediscount facility and secure market for Indonesia`s crude palm oil (CPO) exports. Beginning November 1, 2008, the government cut its CPO export tax from 2.5 percent to zero percent.

In an effort to prevent the entry into Indonesia of illegal imports, the government will issue a regulation which will limit the import of certain goods which will also be enforced beginning November 1, 2008.

The government will also issue a home affairs minister`s regulation on the establishment of an integrated task force to charged with the task of supervising goods in circulation.All policies taken by the government are intended to cope with market turbulence and to protect three pillars that the government has to safeguard, namely the balance of payment, BI credibility and the credibility of the state budget.(*)
COPYRIGHT © 2008

source: antara.com

Riau reports oil palm fruit price drop to VP

10/29/08 06:57

Pekanbaru (ANTARA News) - The Riau provincial government planned to report to Vice President Jusuf Kalla the drop in the price of the oil palm fruits of the oil palm fruit growers in Riau. "We would report the fate of the oil palm growers in the region to the vice president," Riau Governor Wan Abubakar said here Tuesday.

The Governor also said that the reporting to the vice president was his own initiative.However, he said he will pick the right time for the vice president to receive the report, not when he is still too preoccupied.

The Governor said that the Riau Government is expected the vice president to give a solution to the declining oil palm fruit prices in Riau, which may have been caused by a drop in demands from the export market due to the current financial crisis.

Besides reporting to the VP, the Riau Government set up an oil palm price supervisory team. Meanwhile based on the result of the meeting at the Riau Provincial agricultural agency in Pekanbaru, Tuesday, the price of oil palm fruits of 10-year old trees dropped to Rp766.88 per kilogram (kg) from Rp823.33. Meanwhile the price of oil palm fruits from three years trees reached Rp546.74 per kg.

COPYRIGHT © 2008
source: antara.com

Palm oil crisis can even tie to Halloween candy

Do the pros of using palm oil outweigh the cons?

By Christina Salvo
Monday, October 27, 2008 at 7:13 p.m.

COLORADO SPRING, COLO. -- Health concerns with trans-fatty acids found in partially hydrogenated oil has led the push for palm oil as a substitute. But its increased use is causing a domino effect, creating new problems.

Trees are cleared to create oil plantations. As oil plantations expand in South America, Southeast Asia, the Pacific and Africa, environmentalists say they are transforming the ecosystems and contributing heavily to climate change.

While deforestation accounts for a quarter of global greenhouse gas emissions, it also threatens the extinction of millions of plant and animal species, including the orangutans.

"The rainforest is crucial. They need it to be able to find food and shelter," explained Dina Bredahl, Animal Care Manager at the Cheyenne Mountain Zoo.

In many areas, especially Indonesia, the rainforest is being leveled to make way for profitable palm oil plantations.

"Right now Indonesia is third highest as far as producing greenhouse gases in the world, yet they use so little as far as automobiles and other things like that. The problem is because of removing rain forests," said Bredahl.

Demand for palm oil is so high right now as people look for alternatives to trans-fat plus it can be cheaply produced, said Bredahl.

But many consumers aren't even aware any controversy exists surrounding palm oil farming.
"What you buy at the grocery store really does affect not just people in other countries, but animals as well and entire ecosystems," said Bredahl.

It's a bit of a balancing act weighing the pros against the cons of palm oil. In the meantime, Cheyenne Mountain Zoo encourages consumers to support companies that use sustainable palm oil vs. nonsustainable.

"Sustainable palm oil is produced by using already cleared land. That way you're not taking more rainforest away from orangutan and many hundreds of other species," explained Bredahl.
Click here to learn ways to help in the palm oil crisis.

source: fox21news.com

UPDATE 1-Indonesia's Astra Agro 9-mth net profit up 66 pct

Tue Oct 28, 2008 7:02am EDT

(Adds details, quote)
JAKARTA, Oct 28 (Reuters) - PT Astra Agro Lestari (AALI.JK: Quote, Profile, Research, Stock Buzz), Indonesia's largest listed plantation firm, reported on Tuesday a 66 percent rise in nine-month net profit on the back of strong output and higher CPO prices.

Astra Agro, owned by Indonesia's largest automotive distributor, PT Astra International Tbk (ASII.JK: Quote, Profile, Research, Stock Buzz), reported a net profit of 2.13 trillion rupiah ($195.4 million) in January-September, compared to 1.29 trillion rupiah a year ago.

Sales rose 62.6 percent to 6.70 trillion rupiah, largely due to higher palm oil sales volumes.
"High CPO prices and its derivative products until the third quarter boosted the firm's revenue growth," Astra Agro's president director, Widya Wiryawan, said in a statement, adding that average CPO prices until September 2008 were 41 percent higher than the year-ago period.
"The firm's revenue growth was also contributed by higher CPO sales volume, which is in line with an increase in production," he said, adding lower CPO prices in the fourth quarter "would definitely affect palm oil plantations and farmers".

The company, which has a market capitalisation of $803 million, had said its crude palm oil sales volume climbed 14.6 percent to 735,497 tonnes in the January-September period.

Sales from crude palm oil contributed to around 84 percent of the company's total sales in the first nine month period of 2008.

Astra Agro, which accounts for about 5 percent of Indonesia's total crude palm oil production, benefited from soaring palm oil prices earlier this year.

But palm oil prices have fallen over 60 percent from an all time high of 4,486 ringgit a tonne hit in March.

Indonesia has overtaken Malaysia as the world's top palm oil producer. It is expected to produce 18.4 million tonnes of CPO this year, up around 7.5 percent from 2007.

The company is aiming to boost its output by 7.5 percent to 990,000 tonnes in 2008, on the back of better productivity and a larger plantation area. It is in the process of expanding its plantation area by 60,000-70,000 hectares by 2009. ($1 = 10,900 rupiah) ($1 = 3.578 Malaysian ringgit) (Reporting by Harry Suhartono and Andreas Ismar, editing by Sugita Katyal)

source: reuters.com

Monday, October 27, 2008

IOI still the top pick despite recent hedging losses

Tuesday October 28, 2008
By DANNY YAP

PETALING JAYA: IOI Corp Bhd, Malaysia’s second largest plantation company, remains the top pick among analysts for the sector despite its recent losses from hedging of palm oil purchases in euro.

Citi Investment Research analyst Penny Yaw, who rates IOI a buy/low risk stock with a target price of RM7.46, said it was still the most efficient oil palm plantation company with a yield per mature hectare of 28.54 tonnes.

“This is the highest yield per mature hectare for the industry,” she said, adding that the research house believed the current downward pressure in crude palm oil (CPO) price was short-term and the price was close to floor level.

Last Friday, CPO price fell RM160 to close at RM1,390 per tonne amid growing fears of a global recession slowing down demand.

The last time CPO price hit such a low level was in the early 1980s, when it dropped to RM1,444 per tonne.

Most analysts believe the current fundamentals warrant a minimum CPO price of RM1,300 to RM1,400 per tonne for the industry players, especially the smaller ones, to survive.
However, Yaw said, based on the underlying long-term fundamentals for vegetable oils over the medium term, the outlook remained positive for IOI due to its size and efficiency.

“The company also has a strong record of re-investing its capital and it enjoys the highest return on equity among the big-cap plantation groups in Malaysia,” she said, adding that IOI’s financial position was strengthening due to its strong operating cash flow.

TA Securities analyst James Ratnam concurred with Yaw that IOI’s overall performance outlook remained good, describing the recent fall in its share price as a knee-jerk reaction following the company’s hedging losses.

Last Friday, IOI’s share price fell as low as RM2.40 and closed at RM2.45, representing the lowest closing price since September 1998.

Ratnam said IOI’s overall earnings were unlikely to be seriously dented by the foreign exchange (forex) losses in the longer term.

For the financial year ended June 30, IOI announced unrecognised losses from currency options contracts of RM61.78mil, of which RM59.3mil was from sales contracts.

A foreign analyst said making losses or gains on forward currency contracts was a normal course of events for many large companies, including IOI.

“The forex losses are not a reflection of IOI’s core business competency, which is efficient CPO production,” he said.

He added that investors’ jitters due to the massive fall in CPO prices over the past months were exarcebated by the forex losses.

The analyst said the cost of production was between RM1,200 and RM1,700 for most plantation companies.

“If the CPO price hits RM1,200 per tonne, the earnings capability of all the plantation companies, including IOI, will be affected significantly as will their contribution to the country’s economy,” he said.

However, he said, IOI was probably in a better position than other plantation players to weather the storm if the CPO price dipped further.

Gubernur Riau Didesak Membuat Peraturan Harga TBS

Edisi Selasa, 28 Oktober 2008
Pekanbaru, (Analisa)

Gubernur Riau didesak membuat Peraturan Gubernur (Pergub) tentang standarisasi harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, menyusul anjloknya harga komoditi tersebut di pasaran.
Desakan itu terungkap dalam dengar pendapat (‘hearing') antara anggota Komisi B DPRD Riau dengan utusan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Riau (Gapki) dan instansi terkait lainnya di gedung dewan setempat, Senin (27/10).

Hearing yang dipimpin Wakil Ketua Komisi B, AB Purba, SH berjalan cukup alot karena masing- masing pihak memberikan penjelasan terkait fenomena turunnya harga TBS, sebagai implikasi krisis keuangan global.

“Yang paling terpukul itu adalah petani sawit swadaya, karena tidak bermitra dengan pihak pabrik kelapa sawit (PKS). Akibatnya harga beli TBS ditentukan PKS. Dengan alasan harga CPO turun, PKS menggunakannya sebagai senjata untuk membeli sawit petani serendah-rendahnya bahkan hanya Rp200 per kilogram (kg),” tuturnya.

Di Riau sendiri, imbuh Purba, jumlah petani swadaya cukup besar. Akan menjadi masalah besar jika kondisi ini tidak bisa dicari jalan keluarnya.

Hearing yang berlangsung hingga tiga jam ini, akhirnya menyimpulkan mendesak gubernur untuk membuat Pergub Riau yang mengatur standarisasi harga TBS di pasaran. Hal ini bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi petani sawit. Untuk menggagasnya perlu dibentuk tim yang terdiri dari lintaskerja.

Dalam kesempatan itu, Kepala Dinas Perkebunan (Kadisbun) Riau Susilo SE mengatakan, sejumlah Pabrik Kelapa Sawit (PKS) terancam tutup, jika harga jual Cruide Palm Oil (CPO) tidak membaik.

PKS tidak mungkin menjual CPO ke pasaran karena harga jualnya sangat rendah dan tidak sebanding dengan harga produksi. Rendahnya harga jual CPO ini dengan sendirinya akan mengancam kelangsungan hidup petani-petani kelapa sawit di Riau.

Menurut Susilo, turunnya harga jual CPO saat ini selain terjadinya krisis global juga disebabkan isu lingkungan yang dihembuskan NGO-NGO (Non Government Organisation/LSM) yang ada.
Isu yang dihembuskan NGO adalah CPO yang diproduksi dari Indonesia tersebut tidak ramah lingkungan dan banyak tanaman kelapa sawit yang ditanam di lahan-lahan rawa, sehingga pasaran dunia enggan membeli CPO tersebut.

Ke depan tambahnya, hendaknya harus ada industri hilir yang bisa mengolah CPO yang ada jika pasaran dunia tidak mau membeli CPO tersebut. Jika industri hilir tersebut tidak juga didirikan persoalan ini tidak akan pernah selesai, karena ketergantungan terhadap pasaran dunia sangat kuat sekali. Sementara pasar bisa sewenang-wenang menetapkan harga dengan berbagai dalih.
Terlepas dari soal itu, hingga berita ini turunkan Senin (27/10) pukul 20.30 WIB masih berlangsung pertemuan antara Gubernur Riau Wan Abubakar dengan pengusaha kelapa sawit dan karet di daerah itu.

Pertemuan yang berlangsung di Balai Pauh Janggi, kediaman Gubernur, Jalan Diponegoro, Pekanbaru untuk mencari solusi penanganan krisis harga sawit dan harga karet di Riau. (dw)

source: analisadaily.com

Replanting Baru 90 Hektar Lahan Sawit Tanjung Kasau 2.272 Hektar

Edisi Selasa, 28 Oktober 2008
Sei Suka, (Analisa)

PT Perkebunan Sumatera Utara (Sumut) di Tanjung Kasau Kecamatan Sei Suka Batubara selesai melakuakan replanting 90 hektar tanaman rambung. Tanaman rambung tersebut dikonversi dengan sawit.

Kini PT Perkebunan Tanjung Kasau yang merupakan milik Pemprovsu itu menjadi 2.272 hektar.
Sumber Analisa menjelaskan Senin (27/10), selama ini lahan Hak Guna Usaha (HGU) Kebun Tanjung Kasau luasnya 2591 hektar. Dengan konversi lahan baru sawit tersebut, tanaman rambung hanya tinggal 319 hektar.

Sampai saatnya nanti, semua lahan HGU ditanamai sawit. Dari satu tahap ke tahapan berikutnya, sisa tanaman rambung bisa sampai batas usia juga akan dikonversi dengan sawit.
Menurut sumber Analisa, meski harga sawit turun, bagi pihak perkebunan tidak jadi masalah. Tanjung Kasau memiliki pabrik kelapa sawit (PKS) sendiri.

Tanda Buah Segar (TBS) produksi perkebunan diolah sendiri menjadi crude palm oil (CPO) dan selanjutnya dipasarkan untuk dijadikan minyak goreng dan lainnya.

Di sisi lain sumber Analisa menjelaskan, dalam waktu dekat pihak perkebunan akan melakukan penutupan kanal di hulu Sungai Hitam agar air tidak terlalu berlebihan masuk ke areal lahan sawit seperti selama ini.

Demikian juga bila musim hujan, kawasan perkebunan sering tergenang akibat bagian hilir daerah luar lahan kebun tak mampu lagi menampung volume air yang tinggi. Akibatnya air tersebut sering tergenang.

Sementara kantong-kantong air sulit dibuat karena volume air jauh lebih tinggi. Karenanaya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Batubara juga harus ikut serta mengambil langkah kebijakan mengatasi kondisi air yang sering tergenang khususnya pada mausim hujan seperti baru-baru ini.

Demikian juga PTPN 3 yang memiliki kebun di Simujur, hilir Kebun Tanjung Kasau.
Meski banyak air tergenang, namun kegiatan pekerjaan karyawan di Perkebunan Tanjung Kasau tetap berjalan normal, aman dan lancar, ujar sumber Analisa. (al)

source: analisadaily.com

Biofuel: Peluang atau Angan-angan (2)

Selasa, 28-10-2008
*Bersihar Lubis

NUN jauh di utara, Brasil memulai program biofuel pada 1973 ketika negeri itu dilibas krisis BBM. Padahal, mereka mengimpor 80 persen BBM. Dicetuskanlah bahan alkohol sebagai energi alternatif. Dirangsang pula dengan diskon pajak bagi produsen dan pengguna mobil etanol. Brasil membidik singkong, jarak pagar, dan primadonanya adalah alkohol yang disuling dari tebu. Tak ayal, industri alkohol dan gula marak mencapai 300-an.

Sektor ini, menurut Asosiasi Agroindustri Tebu Sao Paulo, menyedot 1 juta tenaga kerja di 5,44 juta hektare (2004) lahan tebu, yang terluas di dunia. Separo dari produksi digunakan untuk etanol, dan bertumbuh 6% saban tahun. Cost industri etanol Brasil supermurah. Hanya (sebelum pajak) US$ 17,5 per barel atau sekitar Rp 1.080 per liter. Sedang industri berbasis tebu berbiaya US$ 10 untuk saban kesempatan kerja.

Lebih rendah ketimbang industri petrokimia (US$ 200), industri baja (US$ 145), industri otomotif (US$ 91), industri pengolahan bahan baku (US$ 70), dan industri produk konsumsi (US$ 44).

Brasil beruntung, tapi juga cerdas. Walau punya 20,4 juta ton gula dan 14 miliar liter etanol, hanya 9,5 juta ton gula dan 12,7 miliar liter etanol untuk konsumsi domestik. Sisanya, diekspor. Pada 2005, konsumsi biofuel Brasil mencapai 13 miliar liter, dan mengurangi 40 persen dari total kebutuhan bensin. Produksi etanol tumbuh 8,9 persen setahun, yang harganya lebih rendah dari harga BBM impor.

Biodiesel berbahan baku singkong dan jarak pagar) juga digarap jutaan hektare lahan. Hasilnya, pada 2003, Brasil mengkonsumsi solar 38 miliar liter—6 miliar liternya berasal dari pasar impor. Luar biasa. Di kita ini, ampas tebu percuma. Di Brasil dibakar dan menghasilkan enerji pabrik yang perlu setrum 60 megawatt dari 160 MW yang diproduksi. Harga etanol ini kompetitif, hanya US$ 30-40 per MWh.

Ampas tebu bisa menghasilkan setrum 9.000 MW, 15 kali produksi PLTN di sana. Bahkan, production cost etanol (US$ 0,63 per galon) sangat irit daripada bensin (US$ 1,05). Padahal, Indonesiapun punya limbah tebu 3,5 juta ton menurut data 2002.Yang membuat decak kagum, tak sedikit mobil berbahan bakar etanol meluncur di jalanan Brasil. Ada Fiat, General Motors, Ford, sampai Volkswagen. Lima tahun kemudian, 90 persen mobil Brasis telah minum alkohol. Bahkan, pesawat terbang ringan, menjadi peserta baru. Konon, akan dipakai untuk menyiram lahan pertanian. Brasil sukses karena ada lembaga khusus yang mengurus biofuel bernama Badan Pengembangan Gula dan Alkohol, di bawah Kementerian Pertanian. Merekalah perumus kebijakan. Kemudian, memaksimalkan pasar dalam negeri, sehingga ketergantungan kepada pasar internasional gula teratasi karena adanya industri etanol.

Pemerintah Brasil juga memfasilitasi kredit berbunga rendah (11-12 persen, sementara bunga pasar 26 persen) kepada pengusaha dan petani yang mengembangkan energi terbarukan.Terakhir, juga ditopang oleh lembaga riset dan pengembangan, yang berorientasi kepada produksi agrobisnis yang modern, efisien, dan kompetitif.

Kita punya apa? Mungkin, potensi pasar domestik yang besar, meskipun Pertamina menetapkan hanya 1% dari tadinya 5% biofuel. Juga punya lembaga riset. Ada LIPI, BPPT, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia dan kampus. Nah, soal kelembagaan khusus dan fasilitas kredit perlu regulasi, dan sangat penting. Kadang, kita mendengar ada anggapan bahwa sektor agro itu unbankable. Jika pun ada good will, setidaknya tidak seprogresif di Brasil, negeri sepakbola yang tersohor dengan goyang samba itu. (Bersambung)*Wartawan MedanBisnis

source: medanbisnisonline.com

Biofuel: Peluang atau Angan-angan (1)

Senin, 27-10-2008
*Bersihar Lubis

Pengantar: Bank Indonesia menggelar seminar bertema “Peranan Perbankan Dalam Mendukung Ketahanan Pangan & Energi di Sumatera Utara pada 29 Oktober 2008 di Medan. Berikut ini, disajikan tulisan serial tentang biofuel di Indonesia, yang tampaknya belum sehebat di Brasil (Red).

PRODUK CPO Indonesia sekitar 16-17 juta ton setahun, mirip calon anggota DPR-DPRD (caleg) yang bagai cendawan di musim hujan. Tidak seimbang dengan sedikitnya kursi tersedia yang diperebutkan di parlemen, sehingga kompetisi sangat ketat dan tajam.Tak heran ketika harga sedang pahit di pasaran dunia, produk CPO yang berlimpah-ruah itu menjadi lost economics. Maklum, untuk kebutuhan domestik (minyak goreng) hanya 26% saja. Sisanya, maaf, mirip caleg yang mayoritas diprediksi kandas untuk mencapai “pulau impian.”Fenomena inikah gerangan yang disebut budaya mangan ora mangan asal ngumpul? Tatkala harga minyak nilam tinggi, ramai-ramai bertanam nilam seraya memberangus kebun karet. Akibatnya, over produksi, lalu harga nilam jatuh.

Padahal prospek harga karet alam lebih terjamin karena karet sintetis yang membutuhkan energi BBM semakin mahal pula.Semestinya, ibarat berjualan telur, letakkanlah di banyak keranjang. Alokasi CPO tak cuma untuk migor, dan komoditas ekspor. Selain untuk bahan baku industri hilir domestik (farmasi, kosmetik dsb), ada peluang baru, yakni untuk industri biofuel.

Ini sangat strategis karena bisa menggantikan cadangan minyak bumi yang semakin langka. Apalagi kebijakan harga BBM pun rawan merembes ke wilayah politik. Mulai dari Gus Dur, Mega dan SBY didemo habis-habisan disertai pergolakan politik di DPR. Tragisnya, era keemasan BBM murah pun kian meredup.Sebetulnya, cita-cita pengembangan bahan bakar alternatif berbahan baku nabati (biofuel) telah diwujudkan dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) pada 25 Januari 2006 silam.

Angan-angan cemerlang ini pernah tercetus pada 1980-an. Seandainya 28 tahun silam intensif dilakukan, mungkin kisah getir CPO dewasa ini tidak akan terjadi. Ironisnya, program itu setop karena harga BBM menurun. Ketika “musuh” pergi kita pun terlena. Tidak konsepsional, tidak konsisten. Kala itu, ada program gasohol: bensin dicampur 10 persen etanol. Bahkan, lembaga penelitian dan pilot plant pembuatan etanol dari pati singkong di Lampung telah beroperasi. Tapi tragisnya, dokumennya hilang. Mudah-mudahan saja, target biofuel 10 persen pada 2010 tidak menjadi angan-angan belaka. (Bersambung)*Wartawan MedanBisnis

source: medanbisnisonline.com

Pedagang Pengumpul Tetap Tekan Harga TBS

Senin, 27-10-2008
*herman saleh

MedanBisnis – Medan, Jalur distribusi penjualan tandan buah segar (TBS) diduga menjadi faktor penyebab rendahnya harga di tingkat petani. Pasalnya, kebanyakan petani tidak menjual langsung ke pabrik, tetapi melalui pedagang perantara (pengumpul). Kondisi ini menyebabkan harga TBS masih tetap rendah, padahal di tingkat pabrik harga masih lebih tinggi.

Bendahara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Laksamana Adiyaksa mengemukakannya kepada MedanBisnis, Minggu (26/10). Pemerintah sudah memutuskan untuk menurunkan pajak ekspor (PE) crude palm oil (CPO) menjadi 2,5% untuk November dari 7,5% pada Oktober.

Penurunan ini semestinya mengangkat harga TBS karena pengusaha selalu mengkambinghitamkannya sebagai penyebab rendahnya harga komoditas itu di tingkat petani.Menurut Laksmana Adiyaksa, adanya jalur perantara tersebut menimbulkan perbedaan harga yang diterima oleh petani dan pemilik pabrik kelapa sawit (PKS). “Sebenarnya harga di tingkat pabrik jauh lebih tinggi dibandingkan harga di tingkat petani,” katanya ketika ditanyakan mengenai harga TBS yang masih rendah.

Karena itu, katanya, solusi untuk mengatasi permasalahan ini bisa dilakukan oleh petani, yakni dengan cara membentuk wadah atau koperasi yang bermitra dengan pengusaha PKS. Hal ini diyakini bisa memangkas jalur distribusi, sehingga harga yang diterima petani sama dengan harga yang ditetapkan oleh pabrik.“Hal seperti inilah yang dilakukan petani di Riau. Sehingga, ketika harga di daerah lain turun hingga Rp 250/kg, harga yang mereka terima berada di kisaran Rp 750/kg,” katanya, seraya menambahkan wadah seperti ini sangat penting, mengingat pabrik sangat sulit untuk melakukan pembelian langsung kepada petani.

Ditambahkannya, ketika pungutan ekspor (PE) crude palm oil (CPO) turun harga TBS di tingkat pabrik diperkirakan mengalami kenaikan. Bahkan, sebelumnya ketika PE turun menjadi 5% dari yang sebelumnya 10%, harga TBS di tingkat pabrik mengalami kenaikan antara 10-20%.“Kalau faktor lain tidak mengalami perubahan, jelas harga TBS di tingkat pabrik akan mengalami kenaikan. Tetapi, di tingkat petani saya tidak bisa perkirakan,” lanjutnya.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsjad mengakui perdedaan harga di tingkat pabrik dan petani. Begitupun, perbedaan harga yang ditetapkan melalui rapat mingguan antara pengusaha, PTPN, Dinas Perkebunan, dan Apkasindo.“Dalam pertemuan rutin itu, harga yang ditetapkan berlaku untuk harga di tingkat pabrik. Memang, ada perbedaan dengan harga di tingkat petani,” katanya, ketika dihubungi MedanBisnis.

Mengenai kemitraan, Asmar Arsjad berujar, selama terus digalakkan. Namun demikian, yang sudah efektif berlaku adalah kemitraan pengolahan, yang dikenal dengan sistim titip olah. Untuk kemitraan, dengan perkebunan swasta, sedang diupayakan.“Kemitraan ini sangat penting, karena itu kita akan terus mencari partner-partner kerjasama, baik itu dari BUMN maupun pihak swasta,” terangnya, seraya menambahkan, kemitraan ini jelas akan menguntungkan petani. Karena harga ditentukan oleh kedua belah pihak, berikut kesepakan-kesepakatan yang akan dilaksanakan.

Seorang petani kelapa sawit di Tapanuli Selatan (Tapsel) Kamil Hasibuan menuturkan, harga TBS di tingkat petani sekarang ini berkisar antara Rp250-350/kg. “Kalau dijual ke pabrik harganya sekitar Rp500-600/kg,” katanya.Pengamat ekonomi Jhon Tafbu Ritonga mengatakan, jauhnya jarak petani dan pabrik, serta infrastruktur jalan yang tidak memadai menjadi kendala petani ketika akan menjual TBS langsung ke pabrik.

Belum lagi produksi yang sedikit, sehingga tidak memungkinkan untuk diangkut dengan mobil pengangkut ke pabrik, karena ongkosnya akan lebih mahal.“Jadi kondisinya memang sudah kritis bagi petani. Harga pupuk juga sudah naik hingga empat kali lipat. Karena itu saya menilai sikap pemerintah yang masih mengenakan PE sudah keterlaluan,” tegasnya.

source: medanbisnisonline.com

Pabrik di Simalungun Beli TBS Rp 580/kg

Petani Tanggapi Dingin
Selasa, 28-10-2008
*samsudin harahap

MedanBisnis – Pematangsiantar Setelah sempat ambruk ke harga Rp 150/kg, maka minggu ini harga TBS (tandan buah segar) sawit di Simalungun mulai merangkak naik menjadi Rp 580/kg. Namun kenaikan harga TBS tersebut belum cukup untuk menutupi biaya pemanenan, apalagi untuk biaya pemupukan.

Karena itu, informasi tentang harga jual TBS yang tinggi ke pabrik kelapa sawit(PKS) secara langsung dianggap dingin saja oleh petani. Soalnya, petani tidak punya akses langsung ke PKS, selama ini mereka hanya menjual produknya ke agen pengumpul saja.

Soal usulan untuk membentuk wadah petani sawit agar bisa berhubungan langsung dengan pabrik juga tidak mereka gubris, sebab mereka sudah tidak percaya lagi dengan wadah-wadah seperti itu. Mereka lebih percaya kepada agen pengumpul yang bisa memberikan pinjaman modal, hanya dengan jaminan petani akan menjual hasil panen sawit kepada agen tersebut.

Bahkan mereka tidak mau tahu soal kebijakan pemerintah untuk mendongkrak harga dengan menurunkan pajak ekspor(PE) TBS dari 7,5% menjadi 2,5%. Mereka hanya menunggu harga sawit bisa naik kembali hingga minimal Rp 1.000/kg. Kondisi ini dipaparkan oleh beberapa orang petani sawit di Kabupaten Simalungun kepada kepada MedanBisnis, Senin (27/10).

Hardono Purba (35) petani sawit di Raya Kahean mengakui bahwa minggu ini harga sawit telah bergerak naik hingga mencapai Rp 520 – Rp 580/kg. Namun, katanya, dengan harga sebesar itu belum bisa mengatasi biaya produksi petani. “Jangankan untuk biaya pemupukan, untuk ongkos memanen saja harga Rp 580/kg itu tidak cukup,” cetusnya.

Menurut Hardono,agar petani sawit tidak terpuruk serta mampu untuk menutupi biaya produksi dan pemupukan, maka harga TBS minimal Rp 1.000/kg. Hermanto Sipayung(30), petani sawit di kecamatan Silau Kahean kabupaten Simalungun, mengatakan ambruknya harga sawit baru-baru ini sangat mengancam kelangsungan para petani sawit. Kenaikan harga sawit minggu ini, katanya, juga belum bisa meringankan beban petani.”Kenaikan harga sawit minggu ini belum berarti apa-apa untuk bisa meringankan para petani,”katanya.

Hermanto juga tidak setuju dengan usulan pembentukan wadah petani,agar petani bisa menjual langsung ke pabrik dengan harga tinggi. Karena,lanjutnya,sebenarnya sudah lama ada wadah seperti itu,namun fungsi dan manfaatnya kepada petani sama sekali tidak ada.Dia mencontohkan wadah seperti KUD(Koperasi Unit Desa) yang sama sekali tidak bisa membantu peningkatan pendapatan petani. “Malah pengurus KUD tersebut berperan sebagai tengkulak-tengkulak yang ganas kepada petani,”katanya. Kondisi itulah yang menyebabkan petani lebih suka menjalin kesepakatan dengan agen pengumpul yang bisa memberi pinjaman modal dengan ikatan menjual hasil panennya kepada agen tersebut.

Wakil Ketua Komisi A DPRD Sumut Abdul Hakim Siagian SH Mhum,melalui telepon seluler,Senin(27/10) sore mengatakan kepada Medan Bisnis,bahwa untuk menjaga situasi harga yang stabil dan pantas untuk didapatkan petani,maka pemerintah harus proakttif turun kelapangan mengawasinya.

Menurutnya,setelah menurunkan PE dari 7,5% menjadi 2,5%,maka pemerintah harus mengawalnya sampai ke lapangan.Dikatakannya bahwa nantinya penurunan PE itu jangan hanya menguntungakan pengusaha dan agen sawit saja,sementar petani tetap terpuruk karena harga tidak naik juga.“Jangan penurunan PE tersebut nantinya hanya dimanfaatkan agen-agen dan pengusaha sawit nakal untuk keuntungan mereka saja”ujarnya.Untuk itu,lanjutnya,pemerintah harus dengan tegas menindak pengusaha dan agen sawit yang nakal dan merugikan petani sawit.

source: medanbisnisonline.com

Rupiah Melemah, Penggunaan Biodiesel Dipercepat

Senin, 27/10/2008 18:20 WIB
Anwar Khumaini - detikFinance

Jakarta - Pelemahan nilai tukar rupiah akan dijadikan momen untuk mempercepat penggunaan energi alternatif seperti biodiesel. Selain harganya yang dipatok dalam rupiah, penggunaan biodiesel bisa membantu industri sawit nasional.

Hal tersebut disampaikan Menneg BUMN Sofyan Djalil di Istana Presiden, Jakarta, Senin (27/10/2008). Sofyan Djalil dan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati dipanggil oleh Presiden SBY, untuk menjelaskan kondisi perekonomian terkini selama ditinggalkan Presiden ke China."Kita akan cepat mempergunakan biodiesel karena biodiesel itu dibayar dengan rupiah, selain juga membantu sawit nasional," ujar Sofyan.

Pada perdagangan valas pukul 17.00 WIB, Senin (27/10/2008) berdasarkan data CNBC, rupiah melemah hingga 744 poin ke posisi 10.749 per dolar AS.

Menurut Sofyan, dengan pelemahan rupiah itu, semua BUMN akan diminta membawa pulang dolarnya. Sementara Pertamina akan diminta membayar transaksinya dalam rupiah sebisa mungkin."Pertamina yang bisa dibayar dengan rupiah harus dibayar dengan rupiah supaya mereka tidak banyak keluarkan dolar," jelas Sofyan Djalil."Kita lakukan minimalisasi penggunaan valuta asing di BUMN agar suplai valas meningkat dan pengaruhi permintaan valas," imbuhnya.

Sementara Menkeu Sri Mulyani mengatakan, pemerintah akan terus melakukan evaluasi dan observasi atas pengaruh pelemahan nilai tukar rupiah ke APBN.(anw/qom)

source: detik.com

Cari di Google

Google
 
Web kabarsawit.blogspot.com