Thursday, November 6, 2008

TBS Sawit Sentuh Rp 680/Kg

Jumat, 07-11-2008
*bambang s
MedanBisnis – Medan
Setelah dirundung kelabu akibat anjloknya harga tandan buah segar (TBS) sampai ke titik terendah, para petani sawit di sejumlah daerah di Sumatera Utara sedikit agak sumringah, karena hasil panenan sawit mereka mulai direspon pasar.

Meski kenaikannya masih jauh dari harga layak jual yang sempat dinikmati petani, tapi yang jelas harga TBS mulai menggeliat bergerak naik. Harga penjualan di tingkat petani ke pabrik kelapa sawit (PKS) seperti yang dipantau MedanBisnis, memang belum merata.
Hingga kemarin, harga transaksi (dari petani melalui pedagang pengumpul ke PKS) tertinggi terjadi di Tebingtinggi (Sumut). PKS PT Paya Pinang, salah satu perkebunan swasta tertua dan memiliki perkebunan sawit seluas 4.000 hektar di kabupaten tersebut, mencatat harga pembelian TBS tertinggi, yakni Rp 680 per kg.
Transaksi harga TBS tersebut, menunjukkan terjadinya pergeseran harga buah sawit, yang sejak tiga bulan terakhir ini, tak bergeming di seputaran Rp 250 – Rp 300 per kg. “Mudah-mudahan, harga (pembelian) di PKS ini bisa bertahan. Kalau mungkin bisa naik lagi,” harap Haris, salah seorang pedagang pengumpul yang kerap memasok sawit ke PKS tersebut.
Kenaikan sawit juga terjadi di beberapa PKS baik milik badan usaha milik negara (BUMN) maupun swasta. Seperti PKS Adolina milik PTPN-4 di Kabupaten Serdang Bedagei, kemarin juga bergerak naik berkisar antara Rp 580 – Rp 590 per kg. Dua pekan lalu, harga TBS di PKS tersebut masih bertahan di harga paling rendah, Rp 250 per kg.
Di Kabupaten Padang Lawas, yang kini mengklaim sebagai salah satu kabupaten paling banyak dihuni perkebunan berskala besar, harga TBS sawitnya bervariasi. PT Torganda, salah satu perkebunan kelapa sawit paling luas di kabupaten tersebut, melakukan pembelian berkisar Rp 580 per kg.
Dilaporkan dari perbatasan Sumut – Riau, tepatnya di Baganbatu, lokasi terkonsentrasinya perkebunan kelapa sawit, harga TBS justru belum terkatrol, masih antara Rp 480 – Rp 490 per kg.

RI-Malaysia pangkas 250.000 ha kebun sawit

Kamis, 06/11/2008 19:19 WIB

oleh : Erwin Tambunan
JAKARTA (bisnis.com): Pemerintah Indonesia dan Malaysia sepakat memangkas 250.000 ha perkebunan kelapa sawit untuk mengurangi kelebihan produksi komoditas itu.

"Kami akan mengatur stok produksi bersama-sama untuk memperoleh harga yang pas, tidak jatuh seperti sekarang ini," ujar Mentan Anton Apriantono seusai menandatangani kesepakatan bersama dengan Menteri Perusahaan Perladangan dan Komoditas Malaysia, Peter Chin Fah Kui, hari ini.

Dalam kesepakatan itu, Malaysia mulai 2009 berencana memangkas 200.000 ha perkebunan sawitnya, sedangkan Indonesia memangkas 50.000 ha. "Malaysia mengklaim produksi sawitnya sebanyak 2,5 ton per ha, sedangkan Indonesia 1,5 ton/ha."

Pengaturan pemangkasan perkebunan kelapa sawit, menurut Anton, dilaksanakan awal Januari 2009. "Pemangkasan itu diprioritaskan pohon yang sudah tua yang tujuannya mengurangi produksi, sehingga ekspansinya sesuai kebutuhan pasar," katanya.

Sebelumnya Dirjen Perkebunan Deptan Achmad Manggabarani mengatakan harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit yang berlaku sekarang Rp4.500 per kg. "Dua minggu lalu harganya sempat anjlok hingga mencapai Rp3.900 per kg," katanya.

Mengantisipasi perkembangan perdagangan kelapa sawit internasional, kedua negara sebagai produsen 85% kebutuhan minyak sawit dunia bersepakat setiap bulan saling tukar menukar informasi tentang perdagangan kelapa sawit dan karet. (tw)

source: bisnis.com

Petani dan Buruh Sawit Itu Makin Butuh BLT

Kamis, 06 November 2008
PEKANBARU-Saat menyusuri sepanjang jalan menuju Kantor Pos Kabupaten Siak, tempat pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT)—80 kilometer ke arah timur dari Kota Pekanbaru, Riau—sepanjang perjalanan ternyata berupa tanjakan, turunan, dan sesekali tikungan yang tajam.
Para pelintas juga disuguhi pemandangan kebun kelapa sawit yang terhampar luas di sepanjang perjalanan, serta terlihat pipa-pipa besar berisi minyak mentah milik PT Chevron Pasific Indonesia (dahulu PT Caltex Pasific Indonesia). Di beberapa tempat, permukaan pipa berwarna hitam legam dan bertuliskan, “Awas pipa bertekanan tinggi.”
Perjalanan darat yang ditempuh sekitar dua jam memang tidak semulus yang dibayangkan. Terkadang permukaan jalan bergelombang, tidak rata. Sesekali juga berpapasan dengan truk-truk bermuatan kayu. Jika berpapasan dengan truk tersebut di tanjakan atau tikungan, jantung terpaksa berdetak kencang karena truk itu membawa beban melebihi kapasitas.
Sesampainya di tempat pembagian BLT di Kantor Pos Kabupaten Siak, ternyata para penerima BLT sudah siap sejak pagi hari. Mereka rata-rata menggunakan sepeda motor. Jarak yang ditempuh pun tidak tanggung-tanggung demi mendapatkan uang Rp 400.000. Contohnya Asim (34), warga Desa Belutu, Siak, mengatakan akibat anjloknya harga kelapa sawit di tingkat petani yang awalnya Rp 2.000 menjadi Rp 150, mata pencarian para petani pun terancam. “Setelah lebaran, harga sawit tidak terkendali. Kalau ini berlangsung beberapa bulan, banyak buruh akan kehilangan pekerjaan,” ungkapnya.
Uang yang diterima Asim akan digunakan untuk membeli kebutuhan pokok, seperti beras, dan membayar buku sekolah anaknya. “Rumah saya jauh. Sekitar 30 kilometer. Selain itu, belum mendapat listrik. Kami menggunakan lampu minyak untuk penerangan,” kata ayah dari dua putri itu. Kabupaten Siak memang belum terkena program konversi minyak tanah ke gas.
Akibat anjloknya harga sawit, banyak petani sawit yang terbelit utang. Bahkan, akibatnya lagi, menurut Kanitintel Polsek Ujung Batu Aris Taslim, kasus penjambretan jadi meningkat karena berkurangnya pendapatan petani dan buruh angkut kelapa sawit. “Akhir-akhir ini kasus penjambretan terus marak karena harga sawit yang terus menurun” kata Aris kepada SH di sela-sela pembagian BLT di Kantor Pos Ujung Batu.
Sayangnya, program pengentasan kemiskinan yang ditawarkan Pemprov Riau masih jauh dari harapan. Terbukti penerima BLT masih dari kalangan mampu. Ini terlihat dari pengamatan SH, dimana para penerima BLT ialah mereka yang memiliki sepeda motor. Daerah seperti Riau Kepulauan yang jauh dari listrik, tampaknya masih jauh dari jangkauan BLT.
Kepala Camat Ujung Batu Syaiful Bahri pun mengakui masih banyak daerah yang belum menerima karena sulitnya medan yang harus ditempuh, seperti di kawasan Suku Sakai yang berjarak 30 kilometer dari Kantor Pos Ujung Batu. Tampaknya, program yang ditawarkan Pemprov Riau seperti program pengentasan kemiskinan, pemberantasan kebodohan, dan penyedian infrastruktur pun hanya menyentuh orang-orang di pinggiran Kota Pekanbaru.
Maka, pemerintah pusat seharusnya bekerja lebih keras agar penyaluran BLT tidak salah sasaran dan jangkauan sasarannya lebih luas. (cr-4)

source: sinarharapan.co.id

Penetapan Harga TBS Kelapa Sawit Diusulkan Tiap Minggu


Kamis, 6 November 2008 | 17:10 WIB
PONTIANAK, KAMIS - Periode penetapan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Kalimantan Barat yang dilakukan tiap bulan, dinilai sangat memberatkan pengusaha perkebunan sawit manakala harga crude palm oil (CPO) di pasaran global anjlok. karena itu, Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPPI) Kalbar mengusulkan periode penetapan harga TBS diubah menjadi tiap minggu.

"Dengan harga CPO di pasar dunia yang fluktuatif seperti ini, seharusnya ada penyesuaian harga TBS tiap minggu sehingga industri pengolahan sawit bisa tetap berjalan meski harga CPO turun. Daerah lain seperti di Sumatera Utara sudah menerapkan penetapan harga TBS tiap pekan. Kalbar yang masih menetapkan harga TBS tiap bulan akan didorong untuk menetapkan harga TBS tiap pekan," kata Ketua GPPI Kalbar Ilham Sanusi.

Menurutnya, terakhir kali TBS di Kalbar ditetapkan bulan Oktober lalu. Harga TBS paling rendah untuk tanaman sawit berumur 3 tahun Rp 782,71 per kg, sedangkan harga TBS tertinggi untuk tanaman sawit 10-20 tahun Rp 1.063 per kg. Asumsi yang digunakan waktu itu adalah harga CPO masih berkisar Rp 5.211 tiap kg. Sementara harga CPO dalam dua pekan terakhir turun drastis hingga Rp 3.600 tiap kg.

Perusahaan pengolahaan CPO di Kalbar masih terikat untuk membeli TBS dengan harga Rp 1.063 tiap kg, sementara mereka hanya bisa menjual CPO Rp 3.600 tiap kg. Padahal untuk memproduksi 1 kg CPO dibutuhkan 5 kg TBS. Kondisi ini membuat industri pengolahan sawit terus merugi.

"Untuk menekan kerugian, 17 pabrik pengolahan CPO di Kalbar mengurangi produksinya tiap hari hingga separuh," katanya.

Dalam kondisi normal, kapasitas produksi CPO Kalbar tiap tahun berkisar 850.000 ton atau sekitar 2.300 ton per hari. Dengan pengurangan produksi hingga separuhnya, ini berarti produksi CPO Kalbar saat ini tingga 1.150 ton per hari.

Diakui Ilham, tidak semua TBS dari petani dibeli oleh pabrik. Jika petani sepakat dengan kemampuan beli dari pabrik, maka TBS milik petani itu dibeli. Jika petani tidak sepakat dengan harga itu, terpaksa pabrik tidak membelinya.

Penyesuaian harga TBS yang ditetapkan pemerintah daerah menjadi salah satu solusi agar TBS petani bisa terbeli dan industri pengolahan bisa tetap berjalan, katanya.

source: kompas.com

Cari di Google

Google
 
Web kabarsawit.blogspot.com