Wednesday, October 15, 2008

Taufik Kiemas Kritik Pemerintah

Rabu, 15 Oktober 2008 12:11 WIB
JAKARTA, RABU - Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) DPP PDI Perjuangan, Taufiq Kiemas menyesalkan sikap pemerintah yang terlalu reaktif dalam menghadapi krisis keuangan global. Seharusnya pemerintah sudah melakukan antisipasi sejak tahun lalu.
"Kan, krisis keuangan global ini sudah dibicarakan oleh para pakar sejak tahun lalu. Apalagi Indonesia sudah pernah mengalami krisis serupa," ujar Taufik Kiemas Selasa malam (14/10) melalui email kepada Persda Network, Rabu (15/10).
Taufik Kiemas menjelaskan, selain tidak ada langkah yang antisipatif terhadap krisis tersebut, industri di Indonesia juga tidak memiliki kekuatan yang signifikan untuk menopang sistem perekonomian nasional. Selama empat tahun ini, katanya, industri di Indonesia tidak ada yang bisa menopang sistem perekonomian Indonesia. "Kalaupun ada industri yang dibangun, itupun mirip tukang jahit. Contohnya, investasi di bidang sumberdaya alam, khususnya minyak. Semua investasi yang dilakukan di sektor perminyakan itu dilakukan melalui transaksi saham," katanya. Minyak yang dikeruk di Indonesia, jelas Taufik Kiemas, adalah minyak mentah yang kemudian dijual lagi keluar negeri. Akhirnya, hasil olahan dari minyak mentah itu justru dijual kembali ke Indonesia. "Coba lihat, apakah selama sepuluh tahun ini ada kilang minyak baru yang dibangun? Atau ada nggak pabrik pupuk yang baru dibangun? Sektor perkebunan juga mengalami nasib serupa. Lahan perkebunan di Indonesia lebih banyak dikuasai Malaysia. Malaysia mengeruk bahan mentah dari kebun sawit di Indonesia berupa crude palm oil yang kemudian dijual ke luar negeri," papar Taufik Kiemas. Hasil olahan dari crude palm oil, sambungnya lagi, seperti sabun maupun kebutuhan pharmasi dijual lagi ke Indonesia. Ia kemudian menyarankan pada pemerintah untuk menerapkan industri yang mengarah ke borjuasi nasional untuk menopang sistem perekonomian nasional. "Artinya, harus ada industri yang mendirikan pabrik, dimana pabrik itu mengolah dari mulai bahan mentah sampai bahan jadi. Yang lebih menyedihkan, pemerintah juga kurang memperhatikan pembangunan infrastruktur. Kalau infrastruktur dibangun lebih dahulu, biaya ekonomi yang ditanggung pengusaha pasti lebih murah. Dengan begitu, harga jual produk pengusaha itu bisa bersaing," ungkapnya.
Rachmat HidayatSumber : Persda Network
source: kompas.com

Ekspor CPO Oktober Bisa Kembali ke US$ 2 Miliar

Rabu, 08/10/2008 17:43 WIBSuhendra - detikFinance
Jakarta - Penurunan pajak ekspor (PE) bulan Oktober menjadi 7,5% akan menyebabkan nilai ekspor Crude Palm Oil (CPO) kembali naik rata-rata menjadi US$ 2 miliar.
Departemen Perdagangan memperkirakan angka ini merupakan pencapaian rata-rata bulanan sepanjang 2008, bahkan lebih tinggi dari nilai ekspor bulan sebelumnya yang masih di bawah US$ 2 miliar.
Hal ini dikatakan oleh Dirjen Perdagangan Luar Negeri Diah Maulida di Gedung Departemen Perdagangan Jl Ridwan Rais, Jakarta, Rabu (8/10/2008).
"Umumnya kalau kita lihat data volume ekspor bulanan rata-rata US$ 2 miliar, waktu Juli hanya US$ 600 jutaan dan bulan kemarin mencapai US$ 1 miliar karena PE turun dari 15% ke 10%," ujar Diah.
Dia menambahkan, sekarang ini pihaknya sedang mewaspadai kemungkinan penurunan permintaan ekspor akibat krisis finansial global termasuk bagi permintaan produk CPO.
"Sekarang sudah ada peraturan kewajiban untuk menyerap CPO sebagai biofuel mulai 2009 sehingga paling tidak kita harapkan akan kelebihan produksi CPO kita bisa terserap ke arah sana," ungkapnya.
Menurut Diah, potensi negara-negara maju mengurangi permintaan konsumsi CPO sangat tinggi pada kondisi saat ini terutama bagi negara yang terkena krisis keuangan. Namun ia sangat yakin bagi negara-negara berkembang seperti India dan Pakistan masih sangat potensial untuk menyerap produk CPO Indonesia karena CPO belum memiliki alternatif lain sebagai bahan bakar nabati di negara-negara tersebut.(hen/ir)
source : detik.com

”Modalnya Rp750 per Kilo Dijual Rp200’’, Keluhan Petani Sawit di Tengah Melesunya Nilai Jual

15-October-2008
Rusli (40) warga Langgadai Hilir, Kecamatan Rimbamelintang, Kabupaten Rohil hanya bisa pasrah menyikapi dampak merosotnya nilai jual hasil panennya akibat pengaruh krisis global.
Laporan SYAHRI RAMLAN,Rimbamelintangsyahri-ramlan@riaupos.co.id
‘’HARGA kelapa sawit yang dijual dengan harga antara Rp200 hingga Rp300 perkilogram itu, lantas apa yang kita dapatkan. Perlu untuk diketahui, kegiatan memanen sampai diantar ke tempat penimbangan itu, kita menggunakan biaya yang tidak sedikit. Misalkan saja, untuk upah mendodos buah sawit itu, kita membayarnya sebesar Rp50 per kilogram. Itu baru mendodos,’’ keluh Rusli dengan suara memelas.
Dana lain yang dikeluarkan lagi oleh Rusli ini yakni untuk kegiatan mengangkut dari lokasi kebun menuju ke tempat penimbangan. Kemudian, kegiatan menimbang, juga masih dikenakan biaya.
‘’Dana yang harus kita keluarkan mulai mendodos, mengangkut dan menimbang, besarnya mencapai Rp 150 per kilogram. Kemudian harga pupuk mencapai Rp 600 per goni ukuran 50 kilogram. Secara keseluruhannya dana yang harus dikerluarkan itu mencapai Rp 750. Sedangkan hasil jualnya hanya Rp200 hingga Rp300. Artinya, jangankan mendapatkan untung, malah kita tekor atau rugi setelah menjual buah sawit itu. Jangankan untuk menyimpan duit, untuk kebutuhan sehari-hari saja tidak lepas,’’ kata Rusli.
Dampak krisis global yang gilirannya mampu mempengaruhi daya jual usaha khususnya di sektor perkebunan kelapa sawit, tampaknya telah menimbulkan pertanyaan besar bagi para petani. ‘’Katanya, harga jual kelapa sawit itu turun akibat krisis global. Lantas kenapa harga minyak dunia serta barang-barang komiditi termasuk sembako kok enggak turun. Malahan, ada kecenderungan untuk naik. Kalau harga minyak dunia dan komiditi termasuk sembako juga turun, saya pikir tidak masalah. Karena, kondisinya bisa berimbang dengan harga jual sawit tadi. Tapi, kalau yang lain tetap berada di level yang tinggi kemudian harga jual sawit turun, lantas kita mau dapat apa. Di tengah harga jatuh, harga kebutuhan yang lain naik,’’ kata Rusli.
Sebelum munculnya krisis global, masyarakat yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit, setiap bulannya boleh dikatakan memiliki pemasukan ekonomi yang lumayan besar. Dimana, setiap kali panen, masyarakat mendapatkan keuntungan bersih setelah dipotong segala bentuk biaya pemeliharaan dan perawatan serta lainnya mencapai Rp800.000. ‘’Waktu harganya mencapai Rp1.200 per kilogram hingga Rp1.400 per kilogram, kita bisa menampung dan membiayai anak untuk sekolah. Dimana, kita mendapatkan keuntungan sebesar Rp800.000. Setelah ada krisis, tidak ada keuntungan,’’ kata Rusli.
Sektor tanaman keras lainnya yang ikuti dipengaruhi oleh krisis global, yakni karet. Dimana, sebelum krisis global mencuat di atas permukaan, harga karet mencapai antara Rp14.000 hingga Rp12.000 per kilogram.
Namun, setelah krisis global menjadi isu hangat yang dibicarakan tingkat dunia, harga karet langsung anjlok secara dratis menjadi antara Rp6.000 hingga Rp7.000 per kilogram. Kendati demikian, usaha di sektor karet ini masih dinilai cukup bagus ketimbang perkebunan kelapa sawit. Dimana, karet yang telah dipanen tersebut bisa disimpan berhari-hari tanpa ada mengenal kata-kata membusuk dan sebagainya. Sedangkan buah kelapa sawit setelah dipanen dan dibiarkan selama tiga hari bisa membusuk dan tidak laku lagi dijual.
‘’Harga getah sekarang ini sudah jatuh sekali. Makanya, getah yang sudah kita ambil itu tidak langsung dijual. Melainkan kita simpan dulu di dalam air. Nanti setelah harganya stabil, getah itu baru kita keluarkan dari simpanannya dan langsung kita jual. Hanya saja, menunggu sampai kapan waktu harga itu normal, ya kita tidak tahu,’’ kata Syarifuddin (45) salah seorang petani karet, Kepenghuluan Baganpunak, Kecamatan Bangko.
Hingga, tidak mengherankan bila sejumlah parit yang ada di beberapa lokasi tanaman karet banyak terdapat getah yang terendam. Kalaupun ada yang dibawa keluar untuk dijual, hanya dilakukan dalam kondisi yang terpaksa. ‘’Kalau sudah terpaksa dan mendesak sekali, ya mau tidak mau getah itu kita jual saja. Hanya saja, tidak kita jual sekaligus. Yang lainnya tetap disimpan sampai menunggul harga jual getahnya normal kembali,’’ kata Syarifuddin.(bud)
source: rokanhilir.go.id

Harga Jual Turun Drastis, Petani Kopi, Sawit, & Kakao di Lampung Menjerit


TANGGAMUS - Dampak krisis ekonomi global mulai dirasakan sejumlah petani yang mengolah tanaman ekspor di Lampung. Sejumlah petani kopi, kakao, dan kelapa sawit mulai mengeluhkan penurunan drastis harga hasil bumi ekspor andalan Lampung tersebut.
Bahkan sebagian petani kopi di Kabupaten Tanggamus banyak yang beralih profesi karena pendapatan dari mengolah kopi tidak sebanding dengan modal penanaman.
Para pedagang kopi yakin penurunan harga masih akan terus berlangsung. "Kami tidak bisa berbuat banyak, Mas," kata Tumino, salah seorang petani kopi di Tanggamus, Rabu (15/10/2008).
Tumino juga mengaku kasihan dengan teman-temannya yang terikat kontrak dengan eksportir lantaran harus memenuhi kuota dengan harga yang terus menurun. "Harganya sudah tidak sesuai, tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena terikat kontrak," bebernya.
Para petani yang terikat kontrak tersebut tetap harus menyediakan kopi untuk kebutuhan ekspor dengan harga yang fluktuatif mengikuti harga kopi dunia.
Para petani mengaku, krisis ekonomi kali ini berdampak paling parah bagi mereka dibandingkan krisis 1997. Saat ini, harga kopi memang betul-betul jatuh hingga 35%. Saat ini harga kopi hanya mencapai Rp11 ribu per kilogram, jauh menurun dari harga sebelum Lebaran sebesar Rp17 ribu per kilogram.
Harga kakao juga turun cukup mencolok. Saat ini harga kakao di sentra perdagangan hanya berkisar pada harga Rp16.500 per kilogram. Sementara sebelum krisis, harga kakao masih berkisar pada Rp22 ribu per kilogram.
Sementara kerugian paling besar dialami oleh petani sawit. Harga sawit berumur 7 tahun yang tadinya masih berkisar pada angka Rp1.700 per kilogram, menurun drastis menjadi Rp700an per kilogram. Sementara untuk tandan buah segar (TBS) harganya turun Rp500 menjadi Rp1.300 per kilogram.
Para petani di Kabupaten Tulang bawang yang dihubungi mengaku tidak dapat berbuat banyak dengan penurunan ini. Sebagian petani memilih membiarkan sawit mereka membusuk di pohon sebagai ungkapan frustrasi mereka.
"Kami berharap pemerintah segera memberikan solusi," kata Sahdana, salah satu petani di Kabupaten Tulang Bawang penuh harap. (Aji Aditya Junior/Trijaya/jri)
Source : okezone.com

Harga Produk Pertanian Berjatuhan

Rabu, 15 Oktober 2008 01:19 WIB
ANDREAS MARYOTO
Hanya dalam hitungan bulan mimpi indah para investor untuk meraup untung besar dengan menanam uang di bisnis pertanian, terutama perkebunan, terhenti untuk waktu yang belum jelas. Krisis keuangan global sudah mulai berdampak pada perdagangan komoditas pertanian.
Harga komoditas seperti jagung, kedelai, gula, dan gandum telah turun setelah pasar memperkirakan dalam beberapa bulan ke depan akan terjadi penurunan permintaan. Harga minyak sawit mentah (CPO) yang sudah turun dipastikan akan makin tertekan.
Pasar komoditas dunia dikabarkan tidak terpengaruh oleh upaya-upaya yang dilakukan AS dalam menangani krisis keuangan. Investor merespons situasi ini dengan berjaga-jaga, salah satunya mengurangi permintaan sejumlah komoditas itu untuk beberapa bulan ke depan.
Harga jagung di Chicago Board of Trade untuk pengiriman Desember telah turun 6,61 persen (menjadi 4,24 dollar AS per gantang). Harga jagung turun menyusul penurunan permintaan komoditas itu untuk etanol. Penurunan produksi etanol terkait langsung dengan harga minyak yang juga turun.
Kecenderungan harga jagung yang turun akan memukul petani jagung di dalam negeri. Sejak dua tahun lalu petani bergairah menanam jagung karena harga yang terus membaik dari semula sekitar Rp 800 per kg menjadi Rp 2.600 per kg. Sejumlah pemodal besar juga memasuki bisnis ini karena sejak semula bisnis jagung diduga akan terus membaik seiring dengan kenaikan harga minyak.
Proyeksi produksi jagung yang memperkirakan produksi akan naik dipastikan makin menekan harga jagung. Departemen Pertanian AS (USDA) dalam proyeksi produksi jagung di AS yang terbaru menyebutkan, perkiraan produksi tahun ini mencapai 12,2 miliar gantang. Angka ini lebih tinggi dibanding proyeksi sebelumnya yang hanya sekitar 12,1 miliar gantang.
USDA sudah mengingatkan soal kemungkinan penurunan harga akibat kenaikan pasokan. Meski demikian, mekanisme pengendalian harga yang dilakukan AS dalam membantu petani mungkin masih bisa mencegah kejatuhan drastis harga jagung.
Harga gula juga mengalami penurunan drastis. Di bursa London (LIFFE) harga gula (white sugar) pada Agustus mencapai puncak mendekati 440 dollar AS per ton, tetapi pada akhir pekan lalu anjlok di bawah 340 dollar AS per ton.
Saat ini Indonesia masih tergantung pada gula impor, maka penurunan harga turut menekan harga gula produksi di dalam negeri. Kemungkinan penyelundupan gula perlu diwaspadai karena harga gula impor menjadi sangat murah. Harga di dalam negeri saat ini sekitar Rp 5.000 per kg. Dengan harga di London setinggi itu, ada insentif besar untuk menyelundupkan gula ke dalam negeri.
Harga gandum turun 7,03 persen (5,95 dollar AS per gantang). Harga gandum meski mengalami penurunan tidak langsung akan menurunkan harga terigu dan juga produk turunannya secara langsung di dalam negeri. Kalangan produsen biasanya menunggu hingga harga stabil, baru mereka menyesuaikan harga penjualan.
Harga kedelai untuk pengiriman November turun 7,06 persen (9,22 dollar AS per gantang). Harga kedelai yang turun akan menurunkan harga kedelai di dalam negeri. Hal ini karena sebagian besar kebutuhan kedelai di dalam negeri diimpor. Meski demikian, penurunan harga produk asal kedelai seperti tahu dan tempe tidak akan cepat terjadi.
Kenaikan produksi kedelai juga diperkirakan terjadi pada tahun ini sehingga akan menekan harga kedelai di tengah tekanan akibat penurunan permintaan karena krisis finansial itu. Perkiraan produksi kedelai terbaru di AS naik dari 2,93 miliar gantang ke 2,98 miliar gantang.
Untuk harga CPO yang telah menurun sejak beberapa bulan lalu diperkirakan juga kembali turun karena untuk saat ini harga CPO juga sangat terkait dengan harga minyak. Ketika harga minyak dunia turun, harga CPO juga akan turun. Pada Maret lalu harga CPO di bursa Kuala Lumpur, Malaysia, mencapai 3.695 RM (ringgit Malaysia) per ton, tetapi menjadi 2.347 RM per ton pada akhir September lalu.
Sindikat internasional
Jadi, sebelum krisis finansial harga CPO telah menurun. Informasi dari kalangan produsen CPO menyebutkan adanya sindikat internasional yang diduga mendorong kenaikan harga CPO hingga menarik para investor untuk masuk ke bisnis ini sejak beberapa waktu lalu. Harga yang menjulang menjadikan pemilik modal yang tidak tahu-menahu dengan kelapa sawit berlarian menanamkan modal ke perkebunan sawit.
Ketika mereka beramai-ramai masuk, perangkap sindikat ini dimainkan. Harga CPO mulai diturunkan sehingga investor yang sudah terlibat dengan utang perbankan bersiap-siap keluar dari bisnis kelapa sawit. Sindikasi inilah yang nantinya ”mengurus” utang dan juga aset-aset milik investor dadakan itu. Pada saatnya nanti, sindikasi ini menguasai bisnis kelapa sawit secara besar-besaran.
Mempercepat kejatuhan
Krisis finansial yang disertai dengan penurunan permintaan CPO dipastikan makin mempercepat jatuhnya aset perkebunan kelapa sawit ke tangan sindikasi ini karena harga jual CPO makin tak menarik lagi. Harga sawit yang makin murah menjadikan investor dadakan tak lagi berniat meneruskan bisnis.
Sindikasi itu yang berpikir jangka panjang dengan senang hati menolong para investor ini, dengan mengucurkan dana. Namun, kelak mereka menjadi raja bisnis kelapa sawit karena telah menguasai aset perkebunan di berbagai tempat. Meski demikian, keberadaan sindikasi ini sulit dideteksi. Dugaan itu hingga sekarang juga sulit dibuktikan dan tetap menjadi rumor.
Indonesia perlu mencermati secara khusus perkembangan harga komoditas di pasar dunia karena sejumlah komoditas itu terkait langsung dengan industri dan juga nasib petani di Indonesia. Sayangnya, dibandingkan dengan negara lain, Indonesia relatif ”tenang-tenang saja” menangani masalah ini.
Negara tetangga Malaysia sudah sejak awal memantau perkembangan ini dan berusaha mencari cara untuk menekan dampak penurunan itu. Malaysia meyakini dampak penurunan harga yang paling membahayakan adalah kerugian besar yang harus ditanggung petani. Mereka telah memperkirakan dampak sosial ekonomi penurunan harga komoditas akan menyulitkan mereka.
Source :http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/15/01192860/harga.produk.pertanian.
berjatuhan

Harga CPO dan TBS Terus Turun

Kamis, 25 September 2008
Laporan LISMAR SUMIRAT, Pekanbaru lismar-sumirat@riaupos.co.id Alamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya KABAR tak sedap bagi petani dan pengusaha kelapa sawit. Harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit menjelang Idul Fitri justru kembali anjlok.
Sesuai keputusan rapat Tim Penetapan harga pembelian TBS kelapa sawit Provinsi Riau yang digelar Selasa (23/9) lalu, untuk TBS umur tanaman tiga tahun hanya Rp736,59 per kilogram, sedangkan TBS dari tanaman umur 10 tahun keatas Rp1.029,13.
‘’Harga CPO terus menurun. Kalau dulu per kilogram CPO bisa mencapai Rp7.000-8.000, sedangkan saat ini satu kilogram CPO hanya Rp4.798. Dari sini saja jelas, harga TBS sawit menjadi turun,’’ ungkap Kasubdin Pemasaran Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Feri Hc menjawab Riau Pos, kemarin.
Menurut Feri anjloknya harga TBS kelapa sawit disebabkan oleh tiga hal yakni suplai sawit yang sedang melimpah dari perkebunan di Indonesia dan Malaysia, permintaan pasar dunia yang juga berkurang dan panen bunga matahari dan kedelai di Eropa.
‘’Saat ini kita termasuk Malaysia sedang panen sawit. Sawit jadi melimpah, sedangkan permintaan tidak mengalami peningkatan. Ditambah lagi di Eropa saat ini musim kedelai dan bunga matahari yang juga diolah menjadi minyak goreng di negara-negara Eropa. Sehingga CPO kita jadi sulit menempus pasar internasional,’’ ulasnya lebih lanjut.
Secara rinci harga TBS umur tiga tahun adalah Rp736,59, empat tahun Rp822,65, lima tahun Rp880,65, enam tahun Rp906,14, tujuh tahun Rp940,75, delapan Rp970,07, sembilan tahun Rp1.001,17 dan umur sepuluh tahun ke atas adalah Rp1.029,13 per kilogram.
‘’Dari harga TBS sebelumnya turun sekitar Rp140,2 per kilogram. Kalau terus turun, kasihan petani sawit, bisa-bisa untuk menutup biaya pupuk saja tidak turun,’’imbuhnya. Feri mengaku tidak dapat berbuat banyak terkait kembali anjloknya harga TBS kelapa sawit di Riau. Apalagi harga TBS dipengaruhi oleh harga CPO. ‘’Kalau harga CPO anjlok, tentu harga sawit tetap anjlok. Rapat Tim Penetapan harga pembelian TBS kelapa sawit, juga berpedoman kepada harga CPO,’’ sebutnya.
Harga TBS kepala sawit diperkirakan akan terus anjlok hingga Oktober mendatang. ‘’Kemungkinan akhir tahun, harga sawit sudah kembali normal,’’katanya.
Penetapan harga jual TBS di Riau, dilakukan oleh sebuah tim penetapan harga yang difasilitasi oleh Dinas Perkebunan Riau, dimana tim terdiri dari sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit besar yang ada di Riau serta petani kelapa sawit yang tergabung dalam wadah koperasi. Tim inilah kemudian yang merumuskan besaran harga TBS dengan berpatokan pada harga CPO di pasaran internasional, dan harga TBS yag ditetapkan terus dilakukan evaluasi setiap dua minggu sekali.(fas)

PKS Mulai Tolak Beli Sawit Petani

BANGKINANG-Anjloknya harga sawit belakangan ini yang telah mencapai Rp450/kg mulai menimbulkan masalah baru bagi pemilik kebun sawit. Pasalnya sejumlah Pabrik Kelapa sawit (PKS) mulai menolak membeli sawit petani dengan berbagai alasan yang tak jelas. Dari penelusuran Riau Mandiri, Selasa (14/10), penolakan PKS membeli sawit petani di antaranya terjadi di Kabupaten Kampar. Menurut pengakuan Muhammad U, salah seorang petani setempat, sejumlah PKS enggan membeli sawit masyarakat dengan alasan yang tak jelas. Padahal selama ini sawit yang dijual masyarakat selalu diterima. "Saya tidak tahu kenapa pihak PKS tak mau lagi membeli sawit petani sejak tiga hari yang lalu,” kata Muhammad yang mengaku harga sawit di PKS sebelumnya hanyalah Rp700/kg. "Lalu harus kemana lagi kami harus menjualnya?" tanya Muhammad dengan wajah gelisah. Sementara H Syukur, salah seorang pemilik kebun sawit, juga mengaku terpukul dengan jatuhnya harga sawit yang kini Rp450 per-kilogramnya, padahal pernah mencapai harga Rp2.100 per-kg. Dia mengalami kerugian yang cukup besar karena hasil panen sekitar 60 ton sawit kini hanya dihargai Rp35 juta. Padahal sebelumnya bisa mencapai Rp100 juta.
”Sudah tak sampai separoh lagi diterima,” katanya. Berbeda dengan Muhammad, dia mengaku masih bersyukur karena buah sawit masih bisa dijual. "Tapi jika buah sawit tak terjual lagi maka kerugian akan semakin besar dan buah sawit akan menjadi busuk," katanya. Kasubdin Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Dinas Perkebunan Provinsi Riau Ir Feri Hc MSi selaku Ketua Tim Pelaksana rapat penetapan harga tandan buah segar (TBS) dalam kesempatan terpisah mengatakan, pihaknya telah mengambil kebijakan di antaranya, mensyaratkan PKS untuk bermitra dengan petani, khususnya petani sawit swadaya. "PKS harus mengambilkan pasokan TBS minimal 25 persen dari petani swadaya/mitra binaan, apalagi saat ini PKS yang belum memiliki kebun sebanyak 28 unit dari 138 unit PKS yang ada di Riau," ujar Feri usai rapat tim penetapan harga pembelian Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit di Dinas Perkebunan Provinsi Riau kemarin.
Harga Sawit NaikDiakui Feri, harga TBS yang anjlok tajam saat ini dialami oleh para petani sawit swadaya atau mandiri karena mereka tidak bermitra dengan PKS. Sementara untuk petani sawit yang bermitra dengan PKS, justru harga TBS mengalami kenaikan. Harga TBS umur di atas 10 tahun naik menjadi Rp1.047/kg, atau naik Rp18 dari harga sebelumnya Rp1.027/kg. Sedangkan untuk TBS kelapa sawit umur tiga tahun Rp749,59/kg, umur 4 tahun 837,61/kg, umur lima tahun 896,52. Kemudian umur enam tahun Rp922,41/kg, umur 7 tahun 957,76/kg, umur 8 tahun Rp 987,59, 9 tahun Rp1.019/kg Naiknya harga TBS saat ini menurutnya, salah satunya disebabkan permintaan CPO di luar negeri mulai meningkat. "Karena petani swadaya tersebut tidak bermitra, maka selalu di nomor duakan oleh pihak PKS. Pihak PKS lebih mendahulukan petani yang merupakan mitra binaannya, sehingga petani swadaya harus antre. Akibatnya, TBS petani swadaya tadi mengalami penyusutan dan berpengaruh terhadap kualitas komoditi, yang seharusnya agregat A menjadi agregat C, dan tentunya juga berpengaruh terhadap harga," ujarnya. Belum lagi biaya dodos/panen yang mencapai Rp100 hingga Rp200/kg yang harus dikeluarkan petani swadaya. "Faktor cuaca seperti hujan saat ini yang mengakibatkan rusaknya jalan, Sehingga mobil untuk mengangkut hasil panen tidak dapat masuk ke lokasi kebun. Akibatnya, petani harus menambah biaya angkut dan memerlukan waktu untuk menjual hasil panen itu," tambahnya. Menurut Feri, di Provinsi Riau saat ini sekitar 50 persen merupakan petani swadaya, dan 50 persen lainnya merupakan petani PIR BUMN maupun swasta. "Dari 1.700.000 hektar lahan sawit di Riau, 50 persennya dikelola petani swadaya," ungkapnya.
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau Susilo, yang ditemui menambahkan, perlu adanya keberpihakan Pemerintah Daerah Provinsi maupun kabupaten/kota dalam mengatasi persoalan infrastruktur perkebunan yang dirasakan petani saat ini. "Akses jalan yang jelek, ditambah kondisi hujan saat ini mengakibatkan petani sulit untuk mengumpulkan hasil panennya untuk kemudian dipasarkan. Untuk itu perlu keberpihakan pemerintah daerah," ujarnya.
Ia mencontohkan di Provinsi Sumatera Barat, kondisi jalan-jalan di persawahan umumnya telah diaspal, sehingga petani tidak memiliki kendala untuk mengangkut dan memasarkan hasil panennya. "Hendaknya hal seperti ini juga dilakukan di Provinsi Riau," ujarnya.(tim)

Harga Sawit Anjlok Hingga Rp 350 per Kilogram

Rabu, 15/10/2008 03:52 WIB
Palembang
- Krisis ekonomi secara global berdampak cukup kuat terhadap petani di Sumatra Selatan. Sejak sepekan ini, harga sawit hanya Rp 350 per kilogram di tingkat petani. Harga itu pun masih harus dikurangi Rp 100 per kilogram, sehingga pendapatan bersih petani Rp 250 per kilogram.
Amarizal, pengepul sawit, mengatakan harga itu baru diperolehnya setelah pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) menurunkan harga beli ke pengepul menjadi Rp 650 per kilogram TBS. "Karena harga sawit dari pabrik turun, tentu kami juga menurunkan harga beli ke petani, kata Amrizal.
Sejak harga sawit anjlok, produksi TBS dari petani juga merosot sampai separuh lantaran sebagian besar petani tidak bisa membeli pupuk. Padahal, pupuk merupakan kebutuhan utama untuk meningkatkan produksi.
Kopi Juga Anjlok
Sementara sejak satu minggu terakhir ini harga biji kopi terus mengalami penurunan Rp 11.500/kg, turun dari harga sebelumya Rp 15.000 per kg. Padahal sebelumnya harga kopi bisa mencapai Rp 18.000 per kg.
Penurunan tersebut cukup membuat petani di Kota Pagaralam mulai beralih mencari alternatif lain seperti bertanam sayur atau menanam padi. Namun demikian penurunan juga sangat dipengaruhi terjadinya krisis ekonomi global.
Menurut Agen Kopi Kota Pagaralam, Demyati Rais, penurunan harga kopi sangat dipenagaruhi dengan situasi ekonomi dunia yang terjadi pasang surut atau pengaruh krisia ekonomi dunia global.
”Harga kopi terus mengalami penurunan secara berangsur-angsur akibat melorotnya situasi ekonomi dunia saat ini. Bahkan dalam kurun waktu beberapa hari ini harga terus mengalami penurunan. Krisis Finansial yang melanda Amerika juga berdampak bagi harga kopi dunia termasuk di Kota Pagaralam. Sejak terjadinya krisis tersebut komoditas andalan petani di Kota Pagaralam harganya terus anjlok,” ungkapnya.
Khawatir Semakin Anjlok
Menurut Dun (25) Warga Dusun Janang Kelurahan Agung Lawangan Dempo Utara, tidak banyak petani yang masih menyimpan biji kopi untuk dijadikan tabungan menunggu harga lebih tinggi atau menembus angka di atas Rp 20.000/kg. Kalaupun ada bukan sengaja disipan tapi karena ada petani yang mengalami musim yang tidak serentak disetiap daerah di Kota Pagaralam. Sehingga pada saat menjual juga terlambat.
“Kami memang ada menyimpan tapi tidak terlalu banyak hanya beberapa karung saja, kalau pun harga naik itu yang diharapkan kalau tidak akan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Sejumlah petani di Kota Pagaralam menjadi cemas, soalnya kopi merupakan hasil pertanian di Kota Pagaralam, sehingga apabila berlangsung lama akan berdampak pada perekonomian masyarakat,” ungkap Dun.(tw/anw)

Harga Minyak Sawit Kembali Tertekan

Rabu, 15 Oktober 2008 13:51
Kapanlagi.com - Berbagai faktor yang mempengaruhi harga berjangka minyak kelapa sawit Malaysia, Rabu.
Harga berjangka minyak sawit Malaysia naik 0,82%, Selasa, melanjutkan rebound dari sehari sebelumnya, namun berakhir di bawah harga tertinggi karena kekhawatiran bahwa permintaan kembali melemah.
Harga kontrak patokan untuk Desember di Bursa berjangka produk turunan Malaysia naik 15 ringgit, atau 0,82% menjadi 1.850 ringgit per ton, di bawah harga tertinggi 1.902 ringgit pada awal perdagangan.
Sementara itu, harga berjangka kedelai di Bursa Komoditas di Chicago, Selasa malam, mengalami penurunan dan ditutup di bawah US$9 per gantang untuk pertama kalinya di tahun ini. Penurunan karena adanya kekhawatiran pelambatan perekonomian dunia yang membuat permintaan komoditas ini terbatas.
Pada Desember, kedelai ditutup US$9,20 per ton lebih rendah menjadi US$247,50. Untuk periode yang sama, minyak kedelai ditutup 1,21 per lb lebih rendah menjadi 38 sen. (*/meg)

Harga Sawit Semakin Anjlok

Di Rokan Hulu, TBS Dihargai Rp 300 Per Kilogram
Rabu, 15 Oktober 2008 01:35 WIB
Pasirpengarayan, Kompas - Harga tandan buah segar kelapa sawit di tingkat petani semakin anjlok. Di sentra kelapa sawit Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau, harga TBS kelapa sawit bahkan sudah Rp 300 per kilogram. Harga itu turun Rp 50 dibandingkan dengan sehari sebelumnya sebesar Rp 350 per kilogram.
Syaifuddin, petani sawit yang dijumpai Kompas di Desa Sialangjaya, Kecamatan Rambah, Rokan Hulu, sekitar 190 kilometer dari Pekanbaru, Selasa (14/10), mengatakan, harga Rp 300 masih tergolong bagus. Beberapa pedagang pengumpul sudah berancang-ancang akan menurunkan harga sampai Rp 250 per kilogram (kg).
Dia terpaksa tetap memanen sawit semata-mata untuk mencegah kerusakan pohon pada masa yang akan datang. ”Saya mendengar kalau tandan yang sudah masak tetapi tidak dipanen dapat merusak pohon. Kalau saja pohon tidak rusak, saya tidak akan memanen,” katanya.
Dari dua ton panen tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, Selasa, Syaifuddin meraih penghasilan kotor Rp 600.000. Namun, dia harus mengeluarkan upah empat pekerja Rp 240.000. Selain itu, dia harus mengeluarkan upah dodos (memetik buah sawit) Rp 140.000 lagi untuk dua pekerja. Penghasilan bersihnya Rp 220.000 selama dua pekan.
”Sebelum puasa, saya mendapat Rp 4 juta sebulan,” kata Syaifuddin.
Penagih kredit
Ardimen Daulay, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Kabupaten Rokan Hulu, menyatakan, banyak anggotanya berutang dan tidak sedikit yang dikejar-kejar penagih kredit. Menurut dia, semua anggotanya memiliki lahan sekitar 118.000 hektar. Mereka adalah petani swadaya.
Gubernur Riau Wan Abubakar yang ditemui di Merangin mengatakan, ”Saya meminta petani sabar karena situasi sekarang ini tidak akan berlangsung selamanya. Saya berharap pemerintah pusat dapat mencarikan jalan keluar untuk mengatasi anjloknya harga sawit ini.”
Bupati Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, Wahyudi K Anwar menuturkan, mengikuti kecenderungan turunnya harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), harga TBS di wilayahnya juga terus turun.
”Saat harga minyak dunia mencapai 100 dollar AS per barrel beberapa bulan lalu, harga TBS di Kotawaringin Timur mencapai lebih dari Rp 1.000 per kg. Belakangan ini harganya cuma Rp 400 per kg,” kata Wahyudi saat ditemui pada Rapat Koordinasi Pengendalian Pembangunan se- Kalteng di Palangkaraya.
Kemerosotan harga TBS membuat beberapa pihak di Sumatera Utara meminta agar pemerintah pusat segera bertindak untuk menekan harga. Salah satunya adalah menurunkan pajak ekspor (PE) CPO menjadi 1 persen atau menghapus PE CPO saat harga TBS di bawah harga impas produksi, yakni Rp 800 per kg.
Kepala Subdinas Bina Produksi Dinas Perkebunan Sumut Herawati dan Kepala Seksi Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Sumut Sahrida, Selasa, mengatakan, jika pajak tetap diberlakukan, petani kian terdesak.
Bantuan pengusaha
Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang meminta pengusaha membantu kesulitan yang dihadapi petani. Bantuan itu berupa tidak membeli getah karet dengan harga yang sangat murah.
”Tadi pagi saya menghubungi beberapa pengusaha karet di Kalteng dan Kalsel. Mereka berjanji segera berunding agar tak membeli karet petani di harga yang terlalu rendah,” katanya, Selasa, di Palangkaraya.
Petani di Kabupaten Barito Utara dan Gunung Mas terpukul karena anjloknya harga getah karet sepekan ini dari Rp 9.000-Rp 9.500 per kg menjadi Rp 5.500- Rp 6.000. (sah/cas/wsi)

The China factor in Indonesian commodities exports

Following the collapse of the financial sectors in the U.S. and Europe, fear of a global economic slowdown has begun to spread. In spite of measures taken by the U.S. and European governments to help their financial sectors, the threat of a global recession remains prominent.
This will result in the continued decline of prices of oil and other commodities due to slower demand.
The commodity bulls at the beginning of the year made many believe Asia could decouple itself from the U.S. slowdown, propelled by China and India. China's strong GDP growth, which has been consistently in the double digits since the beginning of 2006, supported the theory.
However, the train of thought was derailed when China reported a decline in growth this year.
China has strong ties to the U.S. and EU economies as both account for approximately 40 percent of China's total exports. An economic slowdown in both regions will undoubtedly negatively impact the Chinese economy.
China's GDP growth declined from its peak of 12.6 percent recorded in the second quarter 2007 to 9.5 percent in the third quarter of this year, the worst fall since 2004.
China's economic slowdown will damage Indonesian exports, which account for some 28 percent of our national GDP. The slowdown will more significantly impact Indonesia's listed plantation and metal mining companies, because they produce CPO, nickel and tin.
Indonesia exports two thirds of its CPO production, and nearly almost all of its nickel ore and tin output.
It is worth noting that China is not only the world's biggest importer of CPO, tin and nickel but also Indonesia's major export destination for those commodities.
A Chinese slowdown will be a key factor in further pressuring CPO prices as the country is the largest importer of CPO (6.2 million tons), or 19 percent of the world's CPO imports.
For most Indonesian publicly listed plantation companies, their exports as a percentage of total sales declined significantly to below 10 percent in the first half of this year from more than 25 percent in 2007.
This was a result of the increased export tax coupled with lower demand.
However, good weather thus far this year has resulted in high CPO output, creating an oversupply situation. Supply from Malaysia and Indonesia has been reported to be higher than expected, at more than 2 million tons.
Subsequently, the price of CPO has declined 41 percent from last year and more than 70 percent from its peak of US$1,400 per ton in March this year.
Nickel's astonishing growth in 2006 and 2007 has pared off from its peak of $54,000 per ton in mid 2007, which coincided with China's peak economic growth. Indonesia exported more than 60 percent of its nickel ore to China last year.
The boom in the price of nickel is considered a result of the industrial growth in China, which was partly driven by the country's Olympic Games projects.
Demand for nickel has dissipated of late as many stainless steel firms are reducing their output due to diminishing demand.
We believe the London Olympics will not prove a main driver for nickel and other metals.
China spent a record $44 billion on the Beijing Olympics, while London already has much of the necessary infrastructure in place.
A decline in Indonesia's tin production is in the offing in our view given that 95 percent of the country's output is exported to China and Japan. China is the world's biggest consumer of tin, accounting for some 36 percent of the world's consumption.
Tin solders are widely used to join electrical circuits for swiftly developing consumer electronic goods, such as TVs, cameras, mobile phones and computers.
The global economic slowdown will definitively reduce consumer spending on discretionary products such as electronic goods.
This would lead to lower demand for electronics, which will in turn lower demand for tin as 52 percent of total tin consumption is used for soldering.
Anticipating lower demand from China and other export markets, Indonesia must focus on fully utilizing its domestic demand consumption capability. For CPO, both the Malaysian and Indonesian governments have joined forces to increase biodiesel production and usage.
Indonesia has mandated industrial users to ensure that 2.5 percent of the fuel they consume is biodiesel. This policy is expected to increase demand for CPO amid lower demand from the overseas market.
However, the situation for the metal market is different. It is not that easy to increase domestic consumption of nickel and tin since we do not have a strong metal manufacturing base that can consume excess output.
Therefore, it may be the right time for the government to build a downstream industry for both metals, allowing Indonesia to increase profit margin for export of the commodity compared to exporting the metal in block or ore form.
In conclusion, Indonesia should be able to maximize its domestic potential and find solutions to alleviate lower export demand amid the current global financial crisis and liquidity crunch.
The writer is a research analyst at Bahana Securities
Source: The Jakarta Post (Oct 15,2008), Achmad Syafriel, Analyst,

Cari di Google

Google
 
Web kabarsawit.blogspot.com