Friday, October 17, 2008

Permintaan Benih Sawit Merosot

Jumat, 17 Oktober 2008 23:36 WIB
MEDAN, JUMAT - Permintaan benih kelapa sawit satu bulan terakhir merosot. Penurunan permintaan ini lantaran harga tandan buah segar (TBS) maupun minyak sawit mentah atau CPO (crude palm oil) menurun. Sejumlah perusahaan membatalkan pesanan karena pengaruh gejolak harga kelapa sawit.
Penurunan permintaan paling mencolok pada petani mandiri yang tidak mempunyai modal cukup. Anjloknya harga TBS membuat mereka trauma mengembangkan tanamannya.
"Bahkan mereka sebagian tidak sanggup memanen kelapa sawitnya," kata Kepala Pusat Perbenihan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Razak Purba, Jumat (17/10) di Medan. Razak mengatakan penurunan permintaan terjadi pada petani atau pengusaha yang luas lahan kelapa sawitnya kurang dari 10.000 hektar.
Mereka yang mempunyai lahan di atas 10.000 hek tar tetap melakukan pemesanan seperti biasanya. Kendati terjadi penurunan permintaan benih sawit, selaku produsen benih PPKS tidak menurunkan harga jualnya.
"Harga jual benih kami tetap antara Rp 6.000 sampai Rp 7.000 per kilogram," katanya. Penurunan permintaan benih ini terjadi dalam kurun waktu satu bulan terakhir setelah terjadi gejolak harga CPO. Selain untuk konsumsi dalam negeri, PPKS juga memenuhi kebutuhan benih luar negeri.
Di Indonesia, berdasarkan data PPKS, terdapat delapan produsen benih kelapa sawit. Produsen yang dimaksud antara lain PPKS, Socfindo (Sumut), London Sumatera (Sumut), Tunggal Yunus (Riau), Dami Mas Sejahtera (Riau), Bina Sawit Makmur (Sumatera Selatan), Tania Selatan (Sumsel), dan Bakti Tani Nusantara (Kepulauan Riau). Sebelum ada gejolak harga, permintaan benih kelapa sawit melambung tinggi. Pada saat itu, sempat terjadi kelangkaan benih bersertifikat di pasaran. Kini situasi itu berubah drastis.

Andy Riza Hidayat

Antisipasi Harga Anjlok, Koperasi Olah Sawit Jadi Migor

Jumat, 17 Oktober 2008 13:21 WIB
PADANG, JUMAT - Satu koperasi di Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, akan mengolah kelapa sawit menjadi minyak goreng. Upaya ini dilakukan pengelola koperasi untuk mengantisipasi anjloknya harga sawit.
Hal itu disampaikan pengurus koperasi kepada pemerintah daerah setempat. "Langkah ini baik untuk mengembangkan kekuatan koperasi sekaligus mengantisipasi merosotnya harga sawit," tutur Asisten Sekretaris Daerah Sumbar, Surya Dharma Sabirin, Jumat (17/10).
Hingga kini, Sumbar hanya mempunyai satu pabrik yang mengolah CPO menjadi minyak goreng, atau sekitar dua persen dari produksi CPO di Sumbar. Selebihnya, CPO diekspor ke negara-negara di Asia. Merosotnya harga minyak dunia berimbas pada anjloknya harga sawit.

Agnes Rita Sulistyawaty

Saat Sawit Bukan Lagi Primadona

Jumat, 17 Oktober 2008 07:34 WIB
Laporan Wartawan Kompas, Syahnan Rangkuti (23) masih bisa tersenyum. Walau kecut. Sesekali ia juga tertawa, tetapi ketawa itu pun sumbang. Ketika dijumpai di areal kebun kelapa sawit miliknya, ia baru saja menjual hasil panen tandan buah segar sawit sebanyak 1 ton.
Bahori
Selasa, menjelang senja, ia sendiri saja di tengah kebunnya seluas 2 hektar di Desa Sialang Jaya, Kecamatan Rambah, Kabupaten Rokan Hulu, Riau—sekitar 200 kilometer dari Pekanbaru.
Dengan harga tandan buah segar (TBS) sekarang ini yang hanya Rp 300 per kilogram, ayah seorang bayi itu tentunya mendapat penghasilan Rp 300.000. Tetapi, tunggu dulu. Hitungan matematis itu belum putus. Bahori harus mengeluarkan uang Rp 50.000 untuk upah melangsir (membawa TBS dari kebunnya ke pinggir jalan besar dengan menggunakan kendaraan berpenggerak empat roda). Dia juga harus mengeluarkan uang Rp 300.000 untuk membayar upah tiga pekerja harian masing-masing Rp 100.000 untuk memanen selama dua hari. ”Saya nombok Rp 50.000. Namun, apa boleh buat. Saya memilih untuk tetap memanen karena kata orang, kalau tidak dipanen, nanti pohon sawit rusak dan tidak mau berbuah lagi,” kata Bahori.
Untuk menutup utang, Bahori kembali ke profesi lama, yaitu menjadi buruh di kebun orang lain. Sepanjang Selasa itu dia bekerja di kebun orang. Upahnya Rp 60.000 sehari. Alhasil, setelah membayar utang Rp 50.000, penghasilan bersihnya hari itu hanya Rp 10.000.
Syaifudin yang memiliki kebun seluas 5 hektar juga senasib dengan Bahori. Hari itu ia mempekerjakan enam orang untuk panen sebanyak 2 ton. Padahal, masih ada 2 ton lagi TBS siap panen.
”Biarlah 2 ton lagi itu tetap dipohonnya sampai panen dua minggu lagi. Mana tau harga bisa membaik. Kalau pohonnya mau rusak, biarlah. Asal jangan seluruhnya,” kata Syaifudin.
Syaifudin mengatakan, ia mendapat uang Rp 600.000 dari panen sebanyak 2 ton. Namun uang itu langsung dipotong Rp 240.000 untuk upah empat buruh angkut TBS ke tempat penumpukan dan Rp 140.000 lagi untuk upah dua pendodos (pemetik buah dari pohon). Pendapatannya masih berkurang lagi karena harus membayar upah melangsir dengan mobil Rp 100.000. Artinya, penghasilan bersih hari itu sebesar Rp 120.000 untuk hasil panen sebanyak 2 ton.
”Sebelum harga anjlok, biasanya saya mendapat uang minimal Rp 4 juta dari sekali panen. Dalam satu bulan panen dua kali atau Rp 8 juta sebulan. Sekarang ini hitung saja pendapatan saya,” kata Syaifudin.
Tentang upah melangsir yang mahal lebih disebabkan buruknya kondisi jalan ke perkebunan petani.
Tidak mengherankan bila biaya untuk mengangkut satu ton TBS dari kebun ke pinggir jalan yang berjarak sekitar 1 kilometer, petani harus membayar Rp 50.000 atau Rp 50 per kilogram.
Di sebuah desa eks transmigrasi, biaya transportasi bahkan mencapai Rp 200 per kilogram atau Rp 200.000 per ton. Hal itu disebabkan jalan hancur dan jaraknya lebih dari 5 kilometer.
Namun tidak semua jalan ke perkebunan petani di Rokan Hulu, begitu buruk. Di sebuah tempat tidak jauh dari kota Pasirpengarayan, ibu kota Kabupaten Rokan Hulu, jalan menuju perkebunan seorang kuat di Rokan Hulu ternyata diaspal hotmiks dengan lebar 12 meter.
Cerita manis pemilik kebun sawit di Riau tersebut saat ini sudah berubah menjadi cerita duka. Harga TBS Rp 300 per kilogram, menurut Ardiman Daulay, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Cabang Rokan Hulu, sama seperti kondisi 12 tahun lalu saat menjelang krisis moneter melanda Indonesia tahun 1997. ”Dulu sebelum krismon, harga sawit memang Rp 300 per kilogram, tetapi harga-harga barang masih jauh lebih murah dibandingkan sekarang. Waktu itu harga beras masih ada yang Rp 1.000 per kilogram. Pada saat krismon dahulu, petani kami justru menikmati hasil karena harga sawit naik menjadi Rp 800 sampai Rp 1.000 per kilogram. Sekarang ini petani sawit yang mengalami krisis,” kata Daulay yang memiliki 2.500 anggota dengan lahan 118.000 hektar.
Menurut Daulay, bukan hanya petani yang mengalami krisis. Pedagang pengumpul mengalami nasib sama. Kusno, seorang tauke sawit (sebutan untuk pedagang pengumpul), sudah meminta keringanan kepada Bank BRI setempat untuk menunda pembayaran cicilan utangnya.
Sebelum harga anjlok, Kusno meminjamkan uang kepada petani, nilainya Rp 200 juta. Ini biasa dilakukan toke sawit agar petani mau menjual buah kepada mereka. Seluruh uang berasal dari pinjaman di Bank BRI. Sekarang ini seluruh piutang Kusno tidak dapat ditagih, karena petani peminjam tidak mampu membayar. ”Kalau BRI tidak bersedia menunda cicilan, rumah Kusno akan segera disita bank,” ujar Daulay.
Menurut Daulay, petani dari Desa Tandun sampai mencoba bunuh diri, meminum obat serangga, karena dililit utang Rp 200 juta di bank dan tidak dapat membayar. Untungnya, niat bunuh diri cepat ketahuan keluarganya dan si petani dapat diselamatkan.
Krisis sawit seperti musim kemarau yang merontokkan segala sesuatu. Empat hari lalu, empat sepeda motor ditarik dealer karena petani menunggak cicilan. Lalu, dua pabrik kelapa sawit di Rokan Hulu, yaitu di Desa I, Ujung Batu, dan Petapahan, terpaksa pula ditutup karena cadangan CPO pabrik belum terjual.
Krisis keuangan global kali ini, eksesnya ternyata menjalar tanpa ampun kepada petani kecil. Sayangnya, 80 persen dari 2.500 anggota Apkasindo Rokan Hulu merupakan petani kecil dengan lahan rata-rata 2 hektar.
”Yang kami harapkan, pemerintah mau minta perbankan menunda pembayaran cicilan petani. Kalau tidak, akan lebih banyak petani sawit yang stres atau gila,” kata Daulay.Sumber : KOMPAS

DPD Desak Pemerintah Atasi Kelangsungan Hidup Petani Sawit

17 Oktober 2008 14:54 WIB
JAKARTA (Berita) : Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ir Nurdin Tampubolon mendesak pemerintah untuk segera mengatasi kelangsungan hidup petani Sawit yang mengalami kesulitan akibat anjloknya harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit .
“Hendaknya dengan kondisi tersebut Pemerintah segera bergerak cepat mengambil langkah- langkah penyelamatan secara jangka pendek dan menengah akibat gejolak harga tersebut, “ ujar Nurdin Tampubolon, pagi tadi di Jakarta, menanggapi keluhan petani sawit di Sumut dan daerah lain, seperti Sumsel, Lampug, dan Riau.
Disamping itu, Nurdin juga menyarankan kepada pemerintah untuk mempertimbangkan pencabutan kebijakan pemerintah untuk memberlakukan Pungutan Ekspor (PE) Crude Palm Oil(CPO) .
Untuk meringankan beban petani ditengah anjloknya harga TBS, Nurdin menyarankan, ada baiknya dana PE dikembalikan kepada petani dan stakeholder lainnya secara proporsional.
Dia mengakui akibat harga yang anjlok , banyak petani kepala sawit kini menunda panen TBS karena hanya memperoleh untung tipis. “Pemerintah harus segera menanggulangi anjloknya harga sawit.. Jika dibiarkan, dua hingga tiga bulan ke depan petani sawit Riau benar benar gulung tikar, “ kata Nurdin Tampubolon (aya)
source: beritasore.com

Terkait Auto Rejection, Wajar Kalau Saham Merosot


JAKARTA - Perdagangan saham yang merosot 10 persen kemudian dihentikan secara automatis (auto rejection) setelah beberapa waktu disuspensi merupakan hal yang wajar.
"Wajar saja kalau merosot saat pembukaan, setelah pencabutan suspensi emiten dan baru diperdagangkan pada sesi pertama," ujar Direktur Perdagangan Saham, Penelitian, dan Pengembangan Saham Bursa Efek Indonesia (BEI) MS Sembiring, saat dihubungi okezone, di Jakarta, Jumat (17/10/2008).
Sembiring mengatakan, aturan tersebut diberlakukan untuk semua emiten, tak terkecuali dengan saham tiga emiten grup Bakrie. "Aturan tersebut berlaku untuk semua saham, termasuk saham Bakrieland yang terkena auto rejection," tambahnya.
Menurut pengamatan okezone, sampai dengan pukul 11.15 JATS, tiga emiten grup Bakrie yang diperdagangkan yaitu PT Bakrieland Development Tbk (ELTY) anjlok Rp15 atau merosot 10 persen ke posisi Rp135, PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) turun Rp18 atau merosot Rp18 atau anjlok 9,8 persen, sedangkan PT Bakrie Sumatera Plantation Tbk (UNSP) stagnan di level Rp415.
Otoritas Bursa Efek Indonesia (BEI) memang memberlakukan aturan auto rejection 10 persen untuk saham PT Bakrieland Development Tbk (ELTY) menjelang penutupan sesi pertama perdagangan.
Selain itu, saham-saham lainnya yang kemungkinan terkena auto rejection di antaranya PT Trada Maritime Tbk (TRIM) yang pada perdagangan sesi pertama naik Rp34 ke posisi Rp159 atau setara 27,2 persen.
Di samping itu, saham PT Sekawan Intipratama Tbk (SIAP) pun turut mengalami peningkatan Rp17 dari harga terendah Rp153 menjadi Rp170 atau setara 11,1 persen. (ade)
source: okezone.com

Bakrie Brothers punya opsi buyback anak usaha

Jumat, 17/10/2008 11:28 WIB
oleh : Pudji Lestari
JAKARTA (Bisnis.com): PT Bakrie Brothers Tbk memiliki opsi untuk membeli kembali saham sejumlah anak usahanya yang dijual kepada pembeli, namun sayangnya perseroan tidak merinci lebih lanjut jangka waktunya.
Direktur & Sekretaris Perusahaan Bakrie Brothers R.A. Sri Dharmayanti mengatakan perseroan telah menandatangani kesepakatan penjualan saham dengan Avenue Luxembourg SARL, suatu perusahaan yang didirikan berdasarkan hukum negara Luxembourg. Dengan kesepakatan itu perseroan sepakat untuk menjual sebanyak 3,05 miliar saham atau 15,3% dari keseluruhan modal disetor PT Bakrieland Development Tbk.
Harga penjualan yang disepakati sebesar Rp150, yang merupakan harga pasar perusahaan properti itu per penutupan 6 Oktober, menjadikan nilai transaksi total Rp457,50 miliar.
Avenue adalah salah satu pemegang saham Bakrieland dengan kepemilikan sebesar 15,45%. Melalui pembelian ini kepemilikan Avenue meningkat menjadi 30,76%.
Di samping itu, Bakrie & Brothers juga menjual 5,6% saham PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk senilai US$10 juta kepada Longines Offshore Co Ltd melalui The Royal Bank of Scotland.
Sri Dharmayanti mengatakan rasionalisasi portofolio perseroan di PT Energi Mega Persada Tbk masih dalam proses negosiasi dengan pihak terkait. Begitu juga dengan rasionalisasi terhadap PT Bakrie Telecom Tbk dan PT Bumi Resources Tbk. Perseroan berharap dapat menandatangani kesepakatan transaksi dengan pembeli ataupun mitra strategis dalam beberapa hari ke depan.
"Hingga saat ini, tidak ada informasi atau kejadian penting lainnya selain yang telah kami sampaikan kepada Bursa Efek Indonesia," tuturnya dalam keterbukaan informasinya, hari ini.
Dengan adanya informasi mengenai rasionalisasi saham anak usaha, Bursa Efek Indonesia pada hari ini telah membuka kembali perdagangan saham Bakrieland, Bakrie Sumatera dan Bakrie Telecom. Saham Bakrieland dengan kode ELTY pada perdagangan pukul 11.20 WIB anjlok Rp15 ke level Rp135.
Saham Bakrie Sumatera dengan kode perdagangan UNSP juga anjlok Rp45 ke level Rp415, sedangkan saham Bakrie Telecom dengan kode BTEL turun Rp18 ke level Rp167. Penawaran jual membanjir tanpa dibarengi dengan penawaran beli, akibatnya ketiga harga saham itu turun hingga menyentuh batas maksimal 10%. Sistem perdagangan bursa pun menjatuhi auto rejection terhadap ketiga saham tersebut. (er)
source: bisnis.com

Harga TBS Turun, Pemupukan Ditunda

Jumat, 17 Oktober 2008 01:35 WIB
Jakarta, Kompas - Harga tandan buah segar kelapa sawit merosot sehingga petani harus menunda pemupukan karena tidak mampu menyediakan dananya. Menunda pemupukan akan berpengaruh pada produktivitas kelapa sawit.
Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit petani mandiri saat ini Rp 350-Rp 500 per kilogram. Adapun harga TBS petani plasma yang bermitra dengan pabrik pengolahan kelapa sawit masih Rp 800-Rp 1.000 per kilogram.
Padahal, harga harga pupuk urea nonsubsidi, pupuk KCL, dan NPK mencapai Rp 8.000 per kilogram, seperti ketika harga TBS masih di kisaran Rp 1.650 per kilogram di bulan Juli.
Sejumlah petani mandiri dan plasma yang dihubungi dari Jakarta, Kamis (16/10), meminta pemerintah membantu mengatasi masalah ini.
Menurut Ketua Koperasi Unit Desa (KUD) Rahmat Tani di Besitang Langkat, Sumatera Utara, Muhammad Yunus Ginting, setiap hari harga TBS di Kabupaten Langkat turun. KUD Rahmat Tani kini menjual TBS ke pabrik pengolahan dengan harga Rp 895 per kilogram, padahal sebelumnya Rp 1.110 per kilogram.
”Bagaimana mau beli pupuk dan merawat kebun. Di tempat kami banyak petani yang harus merelakan sepeda motornya ditarik karena tak mampu membayar cicilan,” kata Lukman Nul Hakim (34), petani mandiri di Kecamatan Tenggulun, Kabupaten Aceh Tamiang.
Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsjad, harga minyak sawit mentah (CPO) Indonesia lebih murah dibandingkan dengan harga yang ada di pasar internasional. Ini karena ada pungutan ekspor yang dibebankan pengusaha CPO kepada petani, yaitu harga TBS petani dibeli lebih rendah 20 persen dari seharusnya. (ham)
source: cetak.kompas.com

Jatuhnya Harga sawit, Cerita Manis Itu Kini Berubah Duka


Syahnan Rangkuti
Bahori (23) masih bisa tersenyum. Walau senyum itu kecut. Sesekali ia juga tertawa, tetapi ketawa itu pun sumbang. Ketika dijumpai di areal kebun kelapa sawit miliknya, ia baru saja menjual hasil panen tandan buah segar sawit sebanyak 1 ton.
Selasa, menjelang senja, ia sendiri saja di tengah kebunnya seluas 2 hektar di Desa Sialang Jaya, Kecamatan Rambah, Kabupaten Rokan Hulu, Riau—sekitar 200 kilometer dari Pekanbaru.
Dengan harga tandan buah segar (TBS) sekarang ini yang hanya Rp 300 per kilogram, ayah seorang bayi itu tentunya mendapat penghasilan Rp 300.000. Tetapi, tunggu dulu. Hitungan matematis itu belum putus. Bahori harus mengeluarkan uang Rp 50.000 untuk upah melangsir (membawa TBS dari kebunnya ke pinggir jalan besar dengan menggunakan kendaraan berpenggerak empat roda). Dia juga harus mengeluarkan uang Rp 300.000 untuk membayar upah tiga pekerja harian masing-masing Rp 100.000 untuk memanen selama dua hari. ”Saya nombok Rp 50.000. Namun, apa boleh buat. Saya memilih untuk tetap memanen karena kata orang, kalau tidak dipanen, nanti pohon sawit rusak dan tidak mau berbuah lagi,” kata Bahori.
Untuk menutup utang, Bahori kembali ke profesi lama, yaitu menjadi buruh di kebun orang lain. Sepanjang Selasa itu dia bekerja di kebun orang. Upahnya Rp 60.000 sehari. Alhasil, setelah membayar utang Rp 50.000, penghasilan bersihnya hari itu hanya Rp 10.000.
Syaifudin yang memiliki kebun seluas 5 hektar juga senasib dengan Bahori. Hari itu ia mempekerjakan enam orang untuk panen sebanyak 2 ton. Padahal, masih ada 2 ton lagi TBS siap panen.
”Biarlah 2 ton lagi itu tetap dipohonnya sampai panen dua minggu lagi. Mana tau harga bisa membaik. Kalau pohonnya mau rusak, biarlah. Asal jangan seluruhnya,” kata Syaifudin.
Syaifudin mengatakan, ia mendapat uang Rp 600.000 dari panen sebanyak 2 ton. Namun uang itu langsung dipotong Rp 240.000 untuk upah empat buruh angkut TBS ke tempat penumpukan dan Rp 140.000 lagi untuk upah dua pendodos (pemetik buah dari pohon). Pendapatannya masih berkurang lagi karena harus membayar upah melangsir dengan mobil Rp 100.000. Artinya, penghasilan bersih hari itu sebesar Rp 120.000 untuk hasil panen sebanyak 2 ton.
”Sebelum harga anjlok, biasanya saya mendapat uang minimal Rp 4 juta dari sekali panen. Dalam satu bulan panen dua kali atau Rp 8 juta sebulan. Sekarang ini hitung saja pendapatan saya,” kata Syaifudin.
Tentang upah melangsir yang mahal lebih disebabkan buruknya kondisi jalan ke perkebunan petani.
Tidak mengherankan bila biaya untuk mengangkut satu ton TBS dari kebun ke pinggir jalan yang berjarak sekitar 1 kilometer, petani harus membayar Rp 50.000 atau Rp 50 per kilogram.
Di sebuah desa eks transmigrasi, biaya transportasi bahkan mencapai Rp 200 per kilogram atau Rp 200.000 per ton. Hal itu disebabkan jalan hancur dan jaraknya lebih dari 5 kilometer.
Namun tidak semua jalan ke perkebunan petani di Rokan Hulu, begitu buruk. Di sebuah tempat tidak jauh dari kota Pasirpengarayan, ibu kota Kabupaten Rokan Hulu, jalan menuju perkebunan seorang kuat di Rokan Hulu ternyata diaspal hotmiks dengan lebar 12 meter.
Cerita manis pemilik kebun sawit di Riau tersebut saat ini sudah berubah menjadi cerita duka. Harga TBS Rp 300 per kilogram, menurut Ardiman Daulay, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Cabang Rokan Hulu, sama seperti kondisi 12 tahun lalu saat menjelang krisis moneter melanda Indonesia tahun 1997. ”Dulu sebelum krismon, harga sawit memang Rp 300 per kilogram, tetapi harga-harga barang masih jauh lebih murah dibandingkan sekarang. Waktu itu harga beras masih ada yang Rp 1.000 per kilogram. Pada saat krismon dahulu, petani kami justru menikmati hasil karena harga sawit naik menjadi Rp 800 sampai Rp 1.000 per kilogram. Sekarang ini petani sawit yang mengalami krisis,” kata Daulay yang memiliki 2.500 anggota dengan lahan 118.000 hektar.
Menurut Daulay, bukan hanya petani yang mengalami krisis. Pedagang pengumpul mengalami nasib sama. Kusno, seorang tauke sawit (sebutan untuk pedagang pengumpul), sudah meminta keringanan kepada Bank BRI setempat untuk menunda pembayaran cicilan utangnya.
Sebelum harga anjlok, Kusno meminjamkan uang kepada petani, nilainya Rp 200 juta. Ini biasa dilakukan toke sawit agar petani mau menjual buah kepada mereka. Seluruh uang berasal dari pinjaman di Bank BRI. Sekarang ini seluruh piutang Kusno tidak dapat ditagih, karena petani peminjam tidak mampu membayar. ”Kalau BRI tidak bersedia menunda cicilan, rumah Kusno akan segera disita bank,” ujar Daulay.
Menurut Daulay, petani dari Desa Tandun sampai mencoba bunuh diri, meminum obat serangga, karena dililit utang Rp 200 juta di bank dan tidak dapat membayar. Untungnya, niat bunuh diri cepat ketahuan keluarganya dan si petani dapat diselamatkan.
Krisis sawit seperti musim kemarau yang merontokkan segala sesuatu. Empat hari lalu, empat sepeda motor ditarik dealer karena petani menunggak cicilan. Lalu, dua pabrik kelapa sawit di Rokan Hulu, yaitu di Desa I, Ujung Batu, dan Petapahan, terpaksa pula ditutup karena cadangan CPO pabrik belum terjual.
Krisis keuangan global kali ini, eksesnya ternyata menjalar tanpa ampun kepada petani kecil. Sayangnya, 80 persen dari 2.500 anggota Apkasindo Rokan Hulu merupakan petani kecil dengan lahan rata-rata 2 hektar.
”Yang kami harapkan, pemerintah mau minta perbankan menunda pembayaran cicilan petani. Kalau tidak, akan lebih banyak petani sawit yang stres atau gila,” kata Daulay.

Di Balik Anjloknya Harga Sawit

Jumat, 17 Oktober 2008 00:01 WIB
Harga tandan buah segar yang semula Rp2.800 per kilogram, tiba-tiba terpuruk ke angka Rp250 per kilogram.
SIANG itu Yono bersama para petani sawit hanya tampak duduk di bangku tempat penimbangan sawit rakyat sambil menghisap sebatang rokok. Sejak harga tandan buah segar turun, petani di sana lebih banyak menghabiskan waktu dengan duduk dan berkumpul di warung yang bersebelahan dengan tempat penimbangan sawit.Biasanya siang itu, Yono bersama puluhan petani lainnya sudah berada di tengah rerimbunan pohon kelapa sawit yang teduh.Mereka memetik tandan demi tandan buah sawit dengan besi runcing berbentuk tombak.Kini rutinitas itu tidak lagi dilakukan para petani. Kebun sawit yang selalu menjadi sahabat setia dalam keseharian mulai tampak sepi dari aktivitas mendodos (memanen)."Jika harga tandan buah segar turun lagi, kami tidak akan mendodos. Kami akan biarkan buah-buah sawit itu membusuk di pohon," kata Yono, 39, petani sawit di Kecamatan Kempas, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, saat Media Indonesia menghampirinya, kemarin (15/10).Yono bersama puluhan petani sawit di Kecamatan Kempas hanya bisa pasrah tatkala harga tandan buah segar turun drastis ke level terendah Rp250 per kilogram.Mereka sama sekali tidak menyangka, hanya dalam hitungan hari pasca-Lebaran, harga tandan buah segar yang semula Rp2.800 per kilogram, tiba-tiba terpuruk ke angka Rp250 per kilogram."Kami hingga kini tidak tahu sama sekali kenapa harga sawit anjlok. Sebagai petani kami hanya bisa berharap pemerintah dapat memperhatikan nasib petani yang nasibnya kian hari kian menjerit," ujarnya.Menurut Yono, sejak harga TBS terpuruk, ekonomi ratusan petani yang mengantungkan hidup dengan berkebun sawit mulai terpukul. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu harga sawit kembali normal.Sebagian petani kini juga sudah mulai meminjam uang ke tengkulak untuk menutupi biaya hidup sehari-hari. Anjloknya harga sawit menjadi dilema bagi ratusan petani di Kabupaten Indragiri Hilir.Hasil memetik dan memanen sawit yang cuma dihargai dengan Rp250 per kilogram sama sekali tidak memberikan secercah harapan dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Saat ini untuk mendodos sawit dan melangsir ke tepi jalan saja mereka harus mengeluarkan biaya operasional Rp200 per kilogram.Sementara sisa penjualan yang didapat sekitar Rp50 per kilogram hanya cukup untuk membersihkan pokok sawit agar dahan dan pohonnya tidak membusuk."Jadi sama sekali kami tidak mendapat apa-apa bila tetap harus memanen sawit," keluh Yono.Bila dalam beberapa hari ke depan harga TBS terus anjlok, ratusan petani di Kecamatan Kempas akan membawa hasil panennya untuk di tumpuk dan dibiarkan membusuk di depan kantor Bupati dan DPRD Indragiri Hilir sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintah yang dinilai lamban memperhatikan nasib petani.Kondisi serupa juga dialami oleh para petani sawit di Kabupaten Kuantan Singingi Siak, Kampar, Pelalawan, Bengkalis, dan Kota Dumai.Sementara itu, Abdul Kadir, 50, petani sawit di Kabupaten Kampar menyebutkan, kondisi petani sawit semakin sulit karena harga-harga pupuk juga terus mengalami peningkatan.Harga pupuk di tingkat petani terus mengalami kenaikan. Misalnya, NPK saat ini sudah mencapai Rp500.000 per karung, urea Rp300.000 per karung, dan KCL Rp400.000 per karung.Dilema yang dialami oleh para petani sawit saat ini memang begitu berat. Impian untuk bisa hidup sejahtera lewat bertani sawit, kini berangsur-angsur pudar oleh kondisi yang sama sekali tidak mereka ketahui apa sebabnya.Bila harga tandan buah segar terus mengalami penurunan, sudah bisa dipastikan ribuan petani sawit akan jatuh dan terperosok kembali ke jurang kemiskinan. (N-4)
Benny Andriyos
source: mediaindonesia.com

Pengusaha Usul PE CPO 0% Ketika Harga CPO US$ 750

Senin, 13/10/2008 19:24 WIBSuhendra - detikFinance
Jakarta - Kalangan pengusaha di sektor sawit masih mencari perhitungan yang tepat dalam penetapan batas 0% bagi penerapan pajak ekspor (PE) sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dalam rancangan revisi ketentuan PE CPO.
Dari berbagai usulan dan hitungan beberapa pengusaha sawit diusulkan sejumlah perhitungan antara lain US$ 700 per ton sampai US$ 750 per ton CPO untuk dikenai PE 0%. Selama ini penerapan PE 0% diberlakukan pada saat harga CPO di bawah US$ 550 per ton.
Hal tersebut disampaikan Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Derom Bangun usai acara temu anggota Kadin dengan beberapa menteri di Graha Niaga, Senin (13/10/2008).
"Kita ingin agar PE diturunkan dibuat 0% ketika harga sudah rendah. Misalnya saja di Malaysia pada saat harga 2.200 ringgit itu enggak kena, atau US$ 640 dollar, itu kan di Malaysia, kalau kita tentunya beda," ujarnya.
Menurutnya bila mengacu pada batasan PE di Malaysia dengan nilai US$ 640 untuk PE 0% tidak relevan dengan kondisi Indonesia, karena setiap produsen di dalam negeri memiliki tingkat efisiensi produksi yang berbeda terutama produsen besar.
"Pada tingkat-tingkat harga itu (US$ 640) sudah tidak ada keuntungan lagi bagi produsen, Indonesia biaya produksi itu bervaraisai jauh, ada yang bisa efisien ada yang nggak," kilahnya beralasan.
Untuk itu Gapki dan beberapa asosiasi lainnya yang terkait kelapa sawit akan melakukan pertemuan pada tanggal 16 Oktober 2008 terkait rencana penetapan PE 0% yang bisa diusulkan ke pemerintah (Departemen Perdagangan).
Yang akan hadir dari asosiasi minyak nabati, asosiasi bahan bakar nabati, asosiasi olein kimia dan lain-lain.
"Harapannya ada kesepakatan dari industri hulu, sampai hilir dan petani. Kita berharap bisa lebih tinggi dari Malaysia, memang ada usulan 700 sampai 750, tapi bukan menjadi usulan Gapki," tambahnya.
Mengenai semakin melorotnya harga CPO belakangan ini, ia mendesak pada pemerintah agar sektor sawit jangan dimasukan dahulu sebagai sumber pendapatan dalam APBN 2009. Apabila dilakukan maka pemerintah akan cenderung menetapkan target pendapatan pada sektor ini, padahal harga CPO sekarang sedang tidak bagus. "Jangan ada target dari PE CPO, kalau boleh jangan dulu," pintanya.(hen/ddn)
source: detik.com

Palm oil prices poised to plunge

PHUSADEE ARUNMAS
Prices of cooking palm oil will fall by as much as 20% from Nov 1, reflecting the decline in world prices resulting from an increase in palm nut supplies. The Commerce Ministry confirmed the reduction yesterday of its retail reference price for the oil to 38 baht a litre from 47.50 baht.
The sharp decline in palm prices has also been affected by the fall in world crude oil prices, which have shed 45% since July on concerns about a slowing global economy.
As a result, the drive to produce alternative fuels, including biofuels derived from palm oil, has lost some of its urgency, and more palm raw materials have become available for food processing again.
However, palm growers will not suffer unduly from the drop in retail prices, according to Vatchari Vimooktayon, the deputy director-general of the ministry's Internal Trade Department.
She said that the ministry's subcommittee on vegetable oil agreed yesterday to raise the reference price of palm nuts sold to refiners to 3.50 baht a kilogramme, above current market rates of 3.20 baht, to help farmers affected by price declines.
Prices of palm nuts rose to as much as 4.50 to five baht per kilogramme early this year because of high demand for biodiesel.
However, prices started falling gradually on increased production and the easing oil prices.
Production of palm nuts is estimated at 8.45 million tonnes this year versus 6.08 million tonnes last year.
Mrs Vatchari said the government also urged refineries to price crude palm oil in parallel with the prices they paid farmers for palm nuts, meaning crude palm oil should be around 22-23 baht per kilogramme.
source: bangkokpost.com

Deutsche puts "sell" on Golden Agri; S$0.16 target

Thu Oct 16, 2008 7:52pm EDT
SINGAPORE, Oct 17 (Reuters) - Deutsche Bank on Friday initiated coverage of Singapore-listed Indonesian oil palm plantation firm Golden Agri (GAGR.SI: Quote, Profile, Research, Stock Buzz) with a "sell" recommendation and a target price of 16 Singapore cents.
"We have a cautious near-term outlook for CPO (crude palm oil) prices given excess inventories and supply coming on stream. With CPO prices falling and costs remaining high, we expect the street to cut earnings," Deutsche analyst Pyari Madhava Menon wrote in a report.
"The company has been aggressive in reporting revaluation gains, which could reverse if CPO prices fall below US$575/ton," the analyst added. The stock last traded at 20.5 Singapore cents. (Reporting by Kevin Lim; Editing by Kim Coghill)
source: reuters.com

Global markets take a beating again

Friday October 17, 2008
By IZWAN IDRIS
KUALA LUMPUR: Global markets took another beating Thursday, with shares in Japan plummeting more than 11% as investors continued to dump shares amid heightening fears the global economy is sinking into a recession.
Japanese Prime Minister Taro Aso was quoted as telling Japanese lawmakers that the US government’s US$700bil banking rescue plan was “insufficient” and that was why “the market is again falling sharply.’’
Sentiment in Asia and Europe was gutted by the 7.9% dive on the Dow Jones Industrial Index on Wednesday on fears the US economy was headed for a recession after Federal Reserve chairman Ben Bernanke said the US economy faced a “significant threat” from credit markets.
Crude oil dropped US$4.09 to settle at US$74.54 on Wednesday, the lowest closing level since Aug 31, 2007 as fears of a sharp fall in demand took grip.
Japan’s Nikkei 225 plummeted 11.4% to 8,458.45 points yesterday, the index’s steepest one-day loss since 1987.
European markets slumped 2% to 3% in early trade.
In South Korea, the main Kospi index plunged 9.4% after rating agency Standard & Poor’s warned that Korean banks might struggle to refinance their debts.
Stock markets in Hong Kong, China and Singapore fell between 4.2% and 5.2%, while in Australia, share prices tumbled 6.7%.
On Bursa Malaysia, the KL Composite Index fell 29.86 points, or 3.1% to 920 points.
Shares in oil and gas fabricator KNM Group Bhd again dominated trade on Bursa Malaysia, with 342 million shares transacted.
The counter alone accounted for about 38% of total market volume of 897 million shares yesterday. (See report on B3)
The ringgit, meanwhile, slumped to a new 21-month low at 3.5265 against the US dollar.
OSK Research has lowered its year-end target for the KL Composite Index (KLCI) for a second time in a month, citing “worsening global economic outlook and falling commodity prices.’’
The firm slashed its year-end target for the KLCI to 1,037 points from 1,128 points and to just 1,116 points for 2009.
“With sentiment badly beaten as it is, even the easing political uncertainties and the unveiling of a domestic ‘stabilisation’ plan may not be enough to significantly lift our market,’’ OSK said.
The Government is expected to announce on Monday details of its stabilisation plan, which would contain measures to help the economy withstand the global financial crisis.
The financial crisis and its crippling impact on the global economy had already ravaged commodity markets, with crude oil, crude palm oil (CPO) and steel prices plunging from record highs just months before.
CPO third month futures contract traded on Bursa Derivatives, the global benchmark for the vegetable oil, tumbled 5.3% to a new two-year low of RM1,651 per tonne yesterday.
CIMB Research noted that steel product prices had fallen 30% to 50% from their peak in July.
“In a nutshell, the landscape for the steel industry has changed and is expected to be negative for the next six to 12 months, given the recent downgrades of key demand drivers for the steel,’’ it said.
source: biz.thestar.com.my

Financial Crisis Woes Add To Gloom At Malaysia-China Palm Oil Seminar

October 16, 2008 19:39 PM
By Tham Choy Lin
NANJING, Oct 16 (Bernama) -- Sentiment was bearish at the Malaysia-China Palm Oil Seminar 2008 which opened here Thursday as Asian stock markets and crude oil price took another dive in heightened fears of a global recession following poor retail sales numbers from the United States.
Traders attending the two-day seminar came largely to get a better grip of fluctuating prices and the direction of China, the world's largest oils and fats consumer and a key importer of Malaysian palm oil.
Malaysia Palm Oil Council (MPOC) chief executive officer Tan Sri Dr Yusof Basiron, an industry veteran, was sanguine of the outlook for palm oil which had dipped below RM1,800 per tonne.
"The price outlook is very much linked to petroluem prices, that's out of our control but what we can do is to manage the price volatility and supply equation. Once the supply expansion gets back to normal rate, it is a factor of time before the market corrects itself," he told Bernama on the sidelines of the seminar.
The Malaysian government will consider on Oct 21 a proposal to blend up to five percent of palm oil with diesel for use by public transport to shore up the price which has nosedived from a record of over RM4000 per tonne in March to less than half.
Yusof said if approved, the move would trim the country's current palm oil stock of 1.92 million tonnes by between 200,000 tonnes to 5000,000 tonnes.
"This will create a new demand for palm oil and it will offset any big shocks developing and stabilise prices. Before this, our palm oil was not used much for biodiesel and it tends to be traded at a discount even to petroluem," he said.
A commodity broker, who declined to be named, said that the market was leaning towards more downside.
"Consumers are standing on the sidelines and over the past few months, I have not sealed any significant contracts," he said.
Tracing the downward spiral, Martin Bek-Nielsen, executive director of United Plantations Bhd, among Malaysia's industry giants, said the build-up of palm oil stocks, to reach 2.2 million tonnes, from high production this year, had led to concerns that the high prices could not be sustained.
Adding to the pressure was the appreciation of the US dollar, falling price of crude oil and now, the international financial crisis which clipped the possibility of a sustaining level or a rebound after falling through the RM2,000 mark.
"The financial crisis and meltdown of the stock markets has instill such a fear in the minds of people, hedge funds were slaughtered and the general market sentiment is so bearish," Bek-Nielsen said.
He said the crisis had dashed the possibility of the price returning to a sustainable level or by now, a rebound after falling through the RM2,000 mark.
With Wednesday's closing price of RM1,749 and the limit down on soy oil trading, Bek-Nielsen said the price may shed further to the RM1,600 region and he expects it would eventually improved in light of a downturn in supply following the high production this year.
But it would take it another half or one year to see another big appreciation, he said.
"At the end of the day if the financial crisis is as bad as people anticipate, we should be in a period of low price levels until the world economy show signs of improvement," he added.
The seminar, held for the second time since 2006, is organised in tandem with the China International Conference of Seed Crushers.
Nineteen Malaysian companies, including industry players like Sime Darby and Felda, as well as Bursa Malaysia, which is the benchmark in palm oil futures, are taking part.
-- BERNAMA
source: bernama.com.my

Cari di Google

Google
 
Web kabarsawit.blogspot.com