Friday, November 14, 2008

Menyuburkan Lahan Gambut dengan Mikroba


Jumat, 14 November 2008 | 22:05 WIB
JAKARTA, JUMAT - Pemanfaatan lahan di Indonesia sejak dulu telah salah arah. Lahan subur, terutama di Jawa, tak terbendung terus berubah fungsi ke nonpertanian. Sementara itu, kebutuhan pangan yang terus meningkat memaksa pemanfaatan lahan kering dan marginal yang umumnya di luar Jawa. Di sinilah rekayasa teknologi berperan untuk mengubahnya menjadi lahan subur. Salah satu yang kini gencar disasari adalah lahan gambut.

Dalam ASEAN-China Workshop on the Development of Effective Microbial Consortium Poten in Peat Modification di Jakarta, Senin (10/11), tim peneliti mikroba dari Pusat Teknologi Bioindustri BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), yang diketuai Gatyo Angkoso, melaporkan keberhasilan mereka menyuburkan lahan gambut dengan menambahkan limbah selulosa dari perkebunan kelapa sawit dan memasukkan secara bersamaan beberapa jenis isolat mikroba tertentu.

Perlakuan ini dapat mengurangi tingkat keasaman atau menaikkan pH lahan gambut dari rata-rata 3,5 menjadi 5,5, jelas Direktur Pusat Teknologi Bioindustri, Koesnandar, yang juga terlibat dalam riset tersebut, di Rasau dan Siantan, Kalimantan Barat. Selama ini lahan gambut secara alami memang tidak subur karena memiliki keasaman tinggi atau kebasaannya (pH) rendah, antara 2,8 dan 4,5. Sifat lain lahan gambut yang tidak menguntungkan adalah nilai kapasitas tukar kation dan kandungan organik yang tinggi.

Penyuburan lahan gambut dilakukan dengan memasukkan konsorsia atau beberapa kelompok mikroba. Dijelaskan Diana Nurani, peneliti, riset yang dilakukan sejak tahun 2006 berhasil diisolasi puluhan mikroba di dua daerah di Pontianak itu. Dari puluhan ditemukan empat kelompok mikroba yang memiliki kinerja yang baik dalam meningkatkan kebasaan lahan gambut.

Ditambahkan Koesnandar, mikroba itu ditemukan di lahan gambut, pada limbah kelapa sawit, dan kotoran sapi. Dari efeknya pada tanah gambut, konsorsia mikroba itu bersimbiosa mutualisme. Penelitian lebih lanjut akan dilakukan untuk meneliti peran dan karakteristik masing- masing mikroba.

Aplikasi empat kelompok mikroba pada tanah gambut selain dapat meningkatkan pH, juga terbukti memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan ketersediaan mineral. Keuntungan lainnya adalah mengganti cara konvensional, yaitu pembakaran yang biasa dilakukan petani di lahan gambut untuk meningkatkan pH tanah gambut.

Indonesia memiliki kawasan gambut keempat terluas di dunia, yakni 20,6 juta hektar. Peringkat pertama adalah Kanada (170 juta ha), Uni Soviet (150 juta ha), dan Amerika Serikat (40 juta ha). Lahan gambut di Indonesia terbanyak dijumpai di Sumatera (35 persen), Kalimantan (30 persen), dan Papua (30 persen). (YUN)
Sumber : Kompas Cetak

source: kompas.com

Greenpeace Diusir dari Pelabuhan Dumai


Jumat, 14 November 2008 | 21:23 WIB
PEKANBARU, JUMAT - Kapal MV Esperanza milik organisasi lingkungan Greenpeace terpaksa keluar dari pelabuhan angkut minyak sawit (crude palm oil/CPO) Dumai, Riau. Dua tug boat Administrasi Pelabuhan (Adpel) Dumai, Jumat (14/11) siang mendorong kapal tersebut yang sejak awal minggu ini menghalangi kapal pengangkut minyak kelapa sawit yang kleuar masuk ke pelabuhan tersebut.

Esperanza menghalangi pengapalan CPO dari Dumai sebagai aksi protes terhadap kerusakan hutan yang dilakukan perusahaan sawit di Riau. Juru Kampanye Media Greenpeace Asia Tenggara Nabiha Shahab mengatakan, aksi tersebut sengaja dilakukan untuk menghalangi kapal tanker Isola Corallo memuat CPO di Dumai.

Kapal Isola Corallo rencananya akan memuat CPO milik Sinar Mas tujuan Rotterdam, Belanda. Namun, sejak tanker tiba di Dumai pada Rabu silam (12/11), Greenpeace telah menghadangnya dengan aksi seorang aktivis mengikatkan diri di rantai jangkar kapal.

"Awalnya kami berencana menempati pelabuhan selama sepekan tapi dua tug boat mengusir dengan cara mendorong kami," kata Nabiha. Aksi tersebut merupakan protes terhadap perusahaan Sinar Mas yang terus menebangi hutan gambut di Papua, Kalimantan, dan Sumatera.

Esperanza akhirnya mengalah dan kapal tanker yang dihalangi kini sudah memasuki pelabuhan. Belum ada kabar adanya penahanan dari pihak kepolisian akibat aksi tersebut. Sebelumnya, aktivis lingkungan Greenpeace juga melakukan aksi yang sama dengan mengikat diri di rantai jangkar kapal tanker CPO Gran Couva empat hari lalu. Aksi tersebut akhirnya juga dihentikan paksa oleh polisi setempat.

WAH
Sumber : Antara
source: kompas.com

Plantations struggle as CPO prices in free fall

Manggi Habir, The Jakarta Post, Jakarta

Plantation companies are one of the first to suffer from the deepening global downturn. And, as the year end nears, it is plantations with scale of production, the right mix of tree maturity and a conservative balance sheet (low debt and high cash levels), that are best able to weather the storm.

It was only a few months back, that the sector's outlook still looked so bright. Crude palm oil (CPO) prices were on an unprecedented upward climb. Fueled by high economic growth in India and China CPO prices soared to reach a peak of US$1,200 per ton by mid-year, about double its historical prices in the $350 to $600 per ton range.

Reflecting this trend, the share price of Indonesia's three top listed plantation companies, PT Astra Agro Lestari (AALI), PT Bakrie Sumatera Plantations (UNSP) and PT London Sumatera (LSIP) also doubled in 2007, reaching respective peaks of Rp 28,000, Rp 2,275 and Rp 10,650 per share by early 2008.

However, with the consolidation of the global downturn in the second semester, these earlier gains disappeared in a couple of months. CPO prices began their steep decline after June, reaching a low of $500 per ton by November. Reflecting this drop, share prices of the above three companies also fell by more than 70 percent, to reach lows of Rp 8,550, Rp 340 and Rp 2,725 per share, respectively.

This has been a painful awakening for plantation managers after seeing margins and profitability levels rise. So what has been the impact? First, there has been the drop in revenue with falling commodity prices. Costs, on the other hand, are fairly fixed and not easy to adjust downward in this sector. This ultimately translates into narrowing margins and profitability.

For instance, Astra Agro Lestari, the largest of the three plantation companies, showed a steady decline in quarterly net income from Rp 827 billion in the first quarter of the year, to Rp 770 billion in the second and further down to Rp 532 billion in the third quarter.

How have they responded? In the short-term, the response has been on finding ways to control costs and push them downward. This is difficult in a business with a long business cycle. Palm oil tree crops take 3-4 years to plant and grow to first production level, during which time it is all cash outflow. This is then followed by another 6-7 years for a tree to reach its maturity and generate peak yields.

Interestingly, the plantation cost structure has undergone a fundamental change with the rise in oil prices. In 2006, the largest cost component was labor, accounting for 39 percent of total cost.

However, by 2008, with rising gas prices, fertilizer costs have rapidly grown to replace labor as the largest cost component. Fertilizer, which previously accounted for just 14 percent of total cost, now takes up 34 percent of the CPO cost structure.

As a result, it has become the major focus in the sector's cost cutting efforts. Efforts are underway to use fertilizers more efficiently and to look at replacing costly chemical-based fertilizers with natural organic compost waste. The drop in oil and gas prices should help bring down fertilizer prices, although companies have yet to notice and confirm this trend.

In the long term, there is a focus on improving tree crop yields by investing in higher yielding and disease resistant seeds. Currently Fresh Fruit Bunch or FFB yields are about 18.2 tons per year per hectare. This palm fruit is then further processed by mills yielding an average of about 4.2 tons of CPO per year per hectare.

Most Indonesian plantation companies limit their activity to the upstream part of the value chain, focusing on planting, harvesting and processing palm fruits into CPO. Rarely have they ventured further downstream to vertically integrate into the next phase of processing, for example, into cooking oil or cosmetics, where the value added and larger margins are to be found.

There is also little discussion thesedays about investing in biofuel processing plants, with the decline in oil prices.

Plantation owners explain that moving downstream would require extensive investment. This is not limited to large processing plants but also to building distribution networks and marketing capability, as well as investing in creating strong brand names. This, they argue, requires a different skill base.

Besides, they also say, there is much to do already at their end of the value chain. The argument is that it would be more prudent if they focused on what they are good at, which is expanding and investing in their existing processing mill capacity, improving efficiency in their planting phase and increasing yields and then further seeking additional land or acquiring other plantations to plant more hectares and expand their capacity.

Astra Agro operates some 235,000 hectares of tree crops across the islands of Sumatra, Kalimantan and Sulawesi. About 80 percent of its tree crops are mature, with the remaining 20 percent in the planting or immature phase. In a downturn cycle planters prefer to have a larger mature proportion in their tree crop mix as it minimizes the heavy cash outflow found in the initial phase.

With a large mature area, there is also more cash flow generation, even with lower prices. This is why plantation companies that are relatively new or have a larger immature proportion of tree crops are suffering more in this downturn cycle.

Another cost that needs to be managed well in a downturn is financing costs. All commodity companies that face volatile commodity prices tend to have conservative balance sheets, carrying low debt levels in proportion to their capital. Astra Agro, for example, has Rp 1.9 trillion in cash as of September 30, 2008, and practically no debt.

It is too early to tell whether the recession will be long enough to encourage consolidation in this sector. What is sure is that those with scale, an appropriate mix between mature and immature tree crops and a conservative balance sheet should be able to ride out the storm more comfortably than others.

Manggi Habir is Contributing Editor at The Jakarta Post

source: thejakartapost.com

Slowdown jolts RI's commodity-heavy economy

The Indonesian economy has been generating lucrative profits from the soaring prices of agricultural commodities during the last two years. Following increasing dependency on this business, the recent slump in commodity prices has severely impacted on the economy. The Jakarta Post business section features a special report on commodity sector problems. Here are the reports:


For seasonal farmer Alex Sinaga of Tanjungjabung Barat regency, Jambi, the world is tumbling down around his ears after knowing that his October revenue has dropped by a factor of 10 times following the plummeting global prices for palm oil.

Having previously enjoyed a monthly income of Rp 5 million (US$434 million), six times higher than a university-graduate civil servant in his province, Alex now has to end his shopping spree earlier than expected.

In Jambi, fresh oil palm fruit bunches are now sold at Rp 200 per kilogram, having dropped like a stone from Rp 1,500 per kilogram a few months ago.

Alex is just one example of how Indonesians living in rural areas have already taken a severe knock from the global economic crisis earlier than the government has estimated, since the government initially concluded that the full negative impact would not be felt until the first quarter of next year.

As one of the world's top producers of palm oil, rubber, cocoa and coffee, the Indonesian economy, Southeast Asia's biggest, was making good profits from high agricultural commodity prices earlier this year.

In the first nine months of the year, exports of crude palm oil (CPO), for example, reached $12.12 billion, or 14.5 percent of the country's non-oil and gas exports, according to the Central Statistics Agency.

"Commodity prices soared since 2007 up until early 2008. Clearly, Indonesia benefited significantly from commodity trade, as proven by exports and industry expansion," said World Bank chief economist and senior vice president Justin Yifu Lin recently,

The magnitude of agricultural commodity business is even more significant when remembering that it is estimated to have employed 99.9 million workers, both seasonal and permanent, according to Siswono Yudhohusodo, chairman of the Indonesian Farmers Union (HKTI) advisory board.

Producing an estimated 18.5 million tons of palm oil this year from more than six million hectares of plantation, Indonesia is the world's largest producer of the commodity.

However, with slumping demand from the world's largest importers of palm oil -- China, India and Europe -- local palm oil farmers are now likely to seek more loans from the pawnshop to help ends meet.

The slowing demand has sent the Malaysian CPO benchmark price down to 1,505 ringgit ($419.89) per ton on Wednesday from its peak of 4,486 per ton on March 4, as reported by Bloomberg.

Indonesian Association of Oil Palm Producers (Gapki) chairman Akmaluddin Hasibuan said the plummeting prices had been exacerbated recently by moves from several countries to intentionally default on purchase contracts due to slow demand.

Among the importers carrying out this practice are 30 Indian companies.

"The Indian companies are being unethical by defaulting on their import contracts that have consequently affected our exporters as well as our farmers," Akmaluddin told The Jakarta Post recently.

"We have filed complaints with the Indian government and Indian oil palm-related trade associations but we haven't received any response yet," he said.

There are also contract defaulters in the European Union countries and China.

Indonesia and Malaysia together produce around 85 percent of the world's CPO and account for 88 percent of global CPO exports.

Last year, Indonesia and Malaysia produced about 17 million tons and 15.7 million tons of CPO respectively.

Indonesia recorded exports of $5.5 billion in 2007, with more than 75 percent of its palm oil output being exported as CPO, while by contrast Malaysia posted a higher export revenue of $10.4 billion, with 80 percent of its output exported as value-added products.

In a bid to help bolster the CPO price, Indonesia and Malaysia agreed last week to cut palm oil output by 75,000 tons and around 500,000 to 600,000 tons respectively next year, according to the Agriculture Ministry's director general for plantations, Achmad Manggabarani.

Indonesia also plans to replant 50,000 hectares of oil palm trees while Malaysia plans to replant 250,000 hectares next year.

Achmad hoped the prices of palm oil could then reach its commercially viable level of around $700 to $800 per metric ton.

Meanwhile, Indonesian Vegetable Oil Producers Association (Gimni) executive director Sahat Sinaga said the export drop had actually been developing since 2006 when European countries began to use soybean and sunflower oil as alternatives to CPO for feedstock for biofuel.

Furthermore, he said, the financial crisis and economic downturn had led some foreign buyers to stop ordering CPO due to the drying up of liquidity in their banks, which had previously helped to finance CPO purchases.

"Capacity utilization of CPO production is expected to decline to 48 percent by the end of this year, from 52 percent forecast earlier," said Sahat.

Rubber, coffee and cacao are all experiencing similar problems to those experienced by the CPO sector.

Indonesian Rubber Association (Gapkindo) executive director Suharto Honggokusumo said the price of natural rubber reached its peak at $3.3 per kilogram on June 27 before slumping to its lowest point at $1.53 per kilogram on Sept. 16.

The price has since failed to recover.

With rubber production amounting to 2.7 million tons last year, Indonesia is the world's second biggest rubber producer after Thailand.

Last week, Indonesia, Malaysia and Thailand , which produce between them 70 percent of global natural rubber production, jointly agreed to cut rubber production by 210,000 tons next year by replanting trees.

Robusta coffee also fell to its lowest point at $1.5 per kilogram after peaking at $2.5 per kilogram around three months ago, according to the Indonesian Coffee Exporter Association (AEKI) chairman Hassan Wijaya.

Indonesia is the fourth largest producer of coffee after Vietnam , Colombia and Brazil, producing around 450,000 tons per year of which 250,000 tons are exported.

Cacao also dipped to around $1,930 per ton from a record high of $3,200 per ton around August, according to Indonesian Cacao Association (Askindo) secretary general Zulhefi Sikumbang.

Zulhefi, however, said cacao farmers were relatively safe from price volatility.

"Our farmers are still able to earn profits by selling cacao for around Rp 15,000 to Rp 16,000 per kilogram. They would suffer losses if the price dipped below Rp 11,000 to Rp 12,000 per kilogram," he said.

Indonesia is the world's third largest cacao producer with an estimated production of 500,000 tons. Ivory Coast and Ghana are the first and second largest. JP/Mustaqim Adamrah

source: thejakartapost.com

Thursday, November 13, 2008

Greenpeace Lanjutkan Aksi Protes di Dumai

Kamis, 13 November 2008 | 09:02 WIB
PEKANBARU, KAMIS - Aktivis Greenpeace tampaknya tidak kapok melakukan kampanye lingkungan di Provinsi Riau dan itu ditandai dengan kembali melakukan aksi bergelantungan di jangkar kapal tanker minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di Pelabuhan Dumai.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, Bustar Maitar, ketika dihubungi Kamis (13/11), mengatakan, sasaran aksi penghadangan kini tertuju pada kapal MT Iso Corralo yang berbendera Malta.

Dikabarkan, aksi mengikat diri di rantai jangkar tersebut sudah dilakukan sejak Rabu malam (12/11) kemarin. Kapal tersebut direncanakan akan memuat minyak sawi mentah milik PT Sinar Mas untuk dikapalkan ke Rotterdam, Belanda.

"Aksi ini merupakan protes terhadap Sinar Mas yang terus menebangi hutan gambut di Papua, Kalimantan dan Sumatera," ujarnya.

Sebelumnya, aktivis lingkungan Greenpeace juga melakukan aksi yang sama dengan mengikat diri di rantai jangkar kapal tanker CPO Gran Couva tiga hari lalu. Aksi tersebut dihentikan paksa oleh polisi setempat.

source: kompas.com

Greenpeace: Organisasi Kelapa Sawit Tameng Perusak Lingkungan


Kamis, 13 November 2008 | 17:13 WIB
PEKANBARU, KAMIS - LSM lingkungan, Greenpeace, menyatakan organisasi internasional produsen kelapa sawit Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) hanya sebagai tameng anggotanya yang tetap merusak lingkungan. Juru kampanye Greenpeace Asia Tenggara, Bustar Maitar, dihubungi dari Pekanbaru Kamis (13/11) mengatakan, berdasarkan penelitian Greenpeace, RSPO tidak lebih dari sekedar tameng agar perusahaan yang masuk dalam organisasi itu terkesan ramah lingkungan.

Sertifikasi RSPO memang menuntut perusahaan mematuhi ketentuan standar mengenai perkebunan, namun tidak melarang pembukaan hutan bahkan di lahan gambut sekali pun. Padahal lahan gambut merupakan faktor penting dalam memerangi perubahan iklim.

Pembukaan lahan, pengeringan, dan pembakaran hutan-hutan gambut telah menempatkan Indonesia sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga dunia. Sementara anggota-anggota RSPO tidak diwajibkan mengubah perilaku kerjanya.

"Dengan laju pembabatan dan pembakaran hutan saat ini, hutan dataran rendah Indonesia sebagian besar akan hilang dalam waktu 15 tahun mendatang, standar RSPO tidak memadai, dan kerangka kerjanya tidak akan memecahkan masalah deforestasi di Asia Tenggara. Industri bersama pemerintah harus mengambil tindakan segera untuk melindungi hutan kita," ujar Bustar.

Salah satu perusahaan bersertifikasi RSPO, United Plantations, yang juga pemasok Nestle dan Unilever, terlibat kegiatan deforestasi di lahan gambut Kalimantan yang rentan, Papua, dan mempunyai rencana-rencana perluasan perkebunan yang agresif.

Greenpeace, kata Bustar, hingga kini masih melakukan penghadangan terhadap sebuah kapal tanker pengangkut CPO di pelabuhan Dumai. Seorang aktivis Greenpeace sejak Rabu malam (12/11) menguncikan dirinya ke rantai jangkar kapal Isola Corallo untuk mencegah kapal merapat ke pelabuhan. Kapal berbendera Malta itu dikabarkan akan mengangkut CPO milik perusahaan Sinar Mas tujuan Rotterdam, Belanda.

WAH
Sumber : Antara

source: kompas.com

Sumsel Dapat Tambahan Urea 35.000 Ton

Kamis, 13 November 2008 | 19:07 WIB

PALEMBANG, KAMIS — Provinsi Sumatera Selatan mendapat tambahan pupuk urea bersubsidi untuk tanaman pangan sebanyak 35.000 ton. Pemerintah telah menambah alokasi pupuk urea bersubsidi di 20 provinsi termasuk Sumsel sebanyak 200.000 ton, untuk mengatasi kekurangan pupuk pada musim tanam rendeng.

Kepala Pemasaran Pusri Daerah (PPD) Sumsel PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) Sulfa Gani, Kamis (13/11) mengutarakan, penambahan itu berdasarkan usulan tambahan pupuk urea bersubsidi dari Gubernur Sumsel kepada Menteri Pertanian yang jumlahnya 35.000 ton.

Menurut Sulfa, tambahan pupuk urea tersebut diprioritaskan untuk daerah penghasil beras utama di Sumsel yaitu Kabupaten Banyuasin dan Ogan Komering Ulu Timur. Sedangkan sisanya akan didistribusikan untuk kabupaten/kota lain di Sumsel.

Sebelum mendapat tambahan 35.000 ton, pada tahun 2008 Sumsel mendapat alokasi pupuk urea bersubsidi sebanyak 165.483 ton kemudian direvisi menjadi 175.483 ton.

Stok pupuk urea di gudang PT Pusri di Sumsel saat ini 22.207 ton, sedangkan stok di pabrik berupa urea curah dan urea dalam kantong sebanyak 44.000 ton. Penyaluran pupuk urea bersubsidi di Sumsel per 1 Januari-11 November telah mencapai 165.000 ton.

source: kompas.com

Wah... Kecambah Sawit Diselundupkan Lewat Pos

Kamis, 13 November 2008 | 19:16 WIB

MEDAN, KAMIS- Penyelundupan kecambah sawit memakai modus baru. Pengirim tidak lagi memakai kargo pesawat, melainkan memakai kargo PT Pos. Balai Karantina Tumbuhan Kelas I Polonia Medan telah menyita 30.000 kecambah tujuan Kendari, Sulawesi Tenggara.

"Pengiriman melalui pos ini ilegal karena tidak dilengkapi dokumen resmi. Barang mereka disebut berasal dari PT Socfindo. Namun setelah kami cek ke produsen, tidak ada barang yang mereka keluarkan ke Kendari bulan ini," kata Kepala Balai Karantina Tumbuhan Kelas I Polonia, Guntur, Kamis (13/11), saat ditemui di kantornya.

Menurut Guntur, pengirim tidak melengkapi dokumen berupa Surat Persetujuan Penyeluran Benih Kelapa Sawit (SP2BKS), surat pemeriksaan dari Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP), dan dokumen Delivery Order (DO) yang sah. Kecambah ini berdasarkan dokumen dikirim oleh PT Damai Jaya Lestari berkantor di Medan.

Petugas Balai Karantina selanjutnya menyerahkan kecambah ilegal ini ke (BBP2TP) di Medan. Penyitaaan kecambah sawit ilegal ini merupakan yang kedua di tahun 2008. Pada Februari lalu, disita 10.250 kecambah tanpa dokumen yang dikirim melalui kargo pesawat. "Pemakaian kargo pos merupakan cara baru yang kami temukan," katanya.

Pengawas Benih d ari BBP2TP di Medan Panangian Sitorus akan memproses temuan ini sesuai prosedur hukum. Minggu ini, tuturnya, BBP2TP akan memanggil pemilik barang.

Bagian Pemasaran PT Socfindo Eko Darmawan mengatakan, penjualan kecambah ini merugikan produsen dan konsumen. Tidak ada jaminan mutu jika kecambah ini beredar di masyarakat. Jika dikonversikan, seluruh kecambah ilegal ini bernilai Rp 285 juta. "Pihak yang paling dirugikan adalah petani selaku pengguna kecambah," katanya.

source: kompas.com

Produsen Siap Negosiasi Ulang Kontrak CPO

Kamis, 13/11/2008 15:43 WIB
Suhendra - detikFinance

Jakarta - Para produsen sektor sawit termasuk produk sawit mentah atau crude palm
oil (CPO) dalam negeri siap melakukan renegoisasi kontrak dengan 30 importir India yang ingkar kontrak beberapa waktu lalu.

Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia
(Gapki) Akmaluddin Hasibuan saat dihubungi detikFinance, Kamis (13/11/2008).

"Soal renegoisasi kontrak itu memang tergantung perusahaan ya. Kalau mau, ya itu bisa dilakukan," katanya.

Berdasarkan perkembangan terakhir yang ia terima dari kalangan asosiasi dan pemerintah India, surat keberatan Gapki terhadap 30 importir sudah mendapat respon pihak pemerintah India. Dari pemanggilan itu terdapat keinginan importir untuk meminta renegosiasi ulang kontrak CPO.

"Pemerintah negara India mulai merespon, dengan memanggil pengusaha untuk negosiasi ulang," katanya.

Menurut Akmaluddin, alasan pihaknya bersedia merenegosiasi kontrak dengan 30 importir tersebut karena bisa menekan kejatuhan harga CPO yang kini kian
luruh diangka sekitar US$ 500-an per metrik ton.

Namun ia menyatakan, selama ini kejatuhan harga CPO bukan hanya turunnya demand. Tetapi pembatalan kontrak atau ingkar kontrak pun turut memicu kejatuhan harga.

"Dengan pembatalan kontrak menyebabkan harga bisa jatuh karena terkesan tidak ada demand," jelasnya.(hen/lih)

source: detik.com

Harga urea di pasar internasional anjlok 70%, Produsen pupuk enggan turunkan harga

Kamis, 13/11/2008

JAKARTA: Harga pupuk urea nonsubsidi di dalam negeri untuk sektor perkebunan tidak akan diturunkan pada tahun ini, kendati di pasar international harganya telah turun secara signifikan pada kuartal IV/2008.

Direktur Utama PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT) Hidayat Nyakman menjelaskan harga urea nonsubsidi di pasar domestik tetap dipatok sekitar Rp5.000 per kg, atau setara US$480 per ton kendati saat ini terjadi koreksi yang sangat tajam atas harga urea prill (butiran kecil) dan granule (butiran besar) di pasar dunia.

Berdasarkan harga acuan yang dirilis Fertecon (fertilizer economic market analysis and consultancy) harga urea prill pada pekan kedua November anjlok hingga 70% dari US$800 per ton pada akhir September menjadi US$240,5 - US$242,5 per ton. Sementara itu, harga urea granule tertekan 67,4% dari US$835 per ton menjadi US$272,25-US$310 per ton.

"Harga urea [nonsubsidi] tidak turun atau masih tetap dipatok sesuai dengan mekanisme pasar domestik. Penurunan harga sulit dilakukan mengingat urea tersebut diproduksi menggunakan bahan baku [gas] yang saat itu harganya masih tinggi," kata Hidayat ketika dikonfirmasi, kemarin.

Selama ini, lanjutnya, PKT terikat kontrak pasokan gas dengan tingkat harga sesuai dengan formula yang disepakati dan dievalusi setiap 3 bulan.

Kontrak gas

Berdasarkan data terakhir, harga? kontrak gas dengan sejumlah produsen a.l. PT Total? Indonesie EP masih berkisar US$10-US$10,5 per juta Btu (British thermal unit) untuk periode Oktober-Desember 2008.

Padahal, kemarin, berdasarkan situs Bloomberg, harga gas alam di sejumlah pusat transaksi komoditas Amerika Serikat terkoreksi antara US$6,7-US$7,58 per juta Btu.

"Komposisi bahan baku dalam pembentukan harga pokok masih cukup besar. Jika harga gas turun, kami tentu akan menyesuaikan, tetapi penurunan harga akan sulit dilakukan pada tahun ini. Mudah-mudahan untuk periode kontrak Januari-Maret 2009, harga gas bisa turun signifikan sehingga harga jual juga dapat diturunkan," ujarnya.

Penurunan harga gas pada kuartal IV/2008, ungkap Hidayat, ikut menyebabkan PKT terancam rugi hingga US$3,6 juta mengingat BUMN itu masih berkewajiban memasok amonia? ke PT Petrokimia Gresik sekitar 20.000 hingga 30.000 ton hingga akhir tahun.

"Kami berpotensi merugi sekitar US$120 per ton karena kontrak harga gasnya masih menggunakan skala harga lama untuk periode Oktober-Desember, meskipun pada kuartal IV ini harga gas sudah menurun. Karena itu, kami akan mengurangi penjualan amonia dan dibatasi hanya memasok ke Petrogres untuk meminimalisasi kerugian yang lebih besar," paparnya.

Dirjen Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian Benny Wachjudi mengakui konsumen di sektor perkebunan dan industri?? protes karena harga urea nonsubsidi di pasar domestik lebih tinggi dibandingkan dengan harga internasional.

Apabila keadaan tersebut berlanjut, ujarnya, konsumen perkebunan dan industri akan memilih untuk mengimpor urea.

"Pemerintah tidak bisa melarang rencana impor itu karena memang tidak diatur. Yang diatur pemerintah hanya terkait dengan pemenuhan SNI. Impor urea nonsubsidi selama saat ini dilakukan oleh importir umum."

Pasokan urea nonsubsidi untuk sektor perkebunan dan industri setiap tahun rata-rata mencapai 1,5 juta ton atau sekitar 25% dari total produksi nasional.

Sementara itu, 75% sisanya sebanyak 4,5 juta ton dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan urea bersubsidi bagi petani. (yusuf.waluyo@bisnis. co.id)

Oleh Yusuf Waluyo Jati
Bisnis Indonesia

source: bisnis.com

CPO terpukul pelemahan minyak

Kamis, 13/11/2008

KUALA LUMPUR:? Harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) melemah pada hari kedua perdagangan dan mendekati level terendah setidaknya dalam satu pekan terakhir menyusul penurunan prospek permintaan biofuel.

Kontrak CPO untuk pengiriman Januari turun sekitar 5,1% menjadi RM1.505 setara dengan US$419 per ton di Malaysia Derivatives Exchange.?

JPMorgan memangkas perkiraan harga CPO tahun depan menjadi hanya RM1.580 per ton lebih rendah dari estimasi awal yang masih RM2.200 per ton. (Bloomberg/luz)

source: bisnis.com

Wednesday, November 12, 2008

Harga CPO Terus Anjlok

Rabu, 12/11/2008 12:06 WIB
Alih Istik Wahyuni - detikFinance

Kualalumpur - Harga sawit mentah (CPO) terus menunjukkan tren penurunan. Dalam perdagangan hari ini saja, harga CPO sudah anjlok sebesar 5,1% seiring besarnya tekanan jual.

Berdasarkan data CNBC, Rabu (12/11/2008) harga CPO di perdagangan Bursa Malaysia Derivatif hari ini turun 5,1% menjadi RM 1.510 per ton.

Sementara seperti dikutip Palmoil.com, pada perdagangan Selasa kemarin (11/11/2008) harga CPO untuk pengiriman hingga Maret 2009 juga mengalami penurunan. Seperti untuk pengiriman November 2008, harga CPO turun dari RM 1.625 menjadi RM 1.580.

Sementara untuk pengiriman Desember 2008 harga CPO turun dari RM 1.624 per ton menjadi RM 1.584 per ton. Untuk Januari 2009 harga CPO ditutup pada RM 1.586 per ton atau turun dari harga sebelumnya yang sebesar RM 1.626 per ton.

Sedangkan untuk pengiriman Februari 2009 harga CPO turun dari RM 1.625 per ton menjadi RM 1.589 per ton dan untuk Maret 2009 harga CPO turun dari RM 1.630 per ton menjadi RM 1.589 per ton.

"Aksi jual ini dipengaruhi melemahnya harga kedelai dan tingginya stok kelapa sawit di dalam negeri (Malaysia)," kata seorang trader di Kuala Lumpur seperti dikutip Dow Jones di palmoil.com, Rabu (12/10/2008).

source: detik.com

Harga tandan sawit di Riau naik

Rabu, 12/11/2008

PEKANBARU: Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit dan minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) di Provinsi Riau mengalami kenaikan.

Tim Penetapan Harga Kelapa Sawit di Dinas Perkebunan Provinsi Riau kemarin menyatakan harga TBS pada awal pekan kedua bulan November naik menjadi Rp865,93 per kilogram untuk usia pohon 10 tahun dan Rp619,27 per kg untuk usia pohon 3 tahun.

Sebelumnya harga TBS usia 10 tahun mencapai Rp766,88 per kg, dan kondisi ini merupakan kenaikan pertama sejak harga sawit anjlok. Untuk harga TBS petani nonmitra perusahaan (swadaya), yang sebelumnya sempat mencapai Rp250-Rp300 per kg, kini juga mulai menguat ke harga Rp500 per Kg.

Harga CPO terus naik dan kini Rp4.420,2 per kg. Kenaikan tersebut terus memperbaiki harga CPO lokal yang sejak awal bulan ini sudah mulai menguat dengan harga Rp3.848,02per kg. (Antara)

source: bisnis.com

Police stops Greenpeace action in Dumai waters

11/12/08 09:36

Pekanbaru (ANTARA News) - Police on Tuesday stopped Greenpeace which had been intercepting crude palm oil (CPO) shipments in the Dumai port waters in Sumatra in the last two days.

Along with the port administration personnel the police aboard rubber boats stopped the Greenpeace action at around 2 pm. They had also ordered a Greenpeace activist who, in protest of the CPO shipments, tied himself with the chain of an anchor of the Gran Couva tanker that carried the CPO belonging to Wilmar Group bound for Rotterdam, the Netherlands, to get off the ship.

Two Greenpeace activists, namely Bustar Maitar from Forest Campaigner Greenpeace Southeast Asia and Adon, the activist who tied himself on the anchor chain, had been questioned by the police, but not detained.

The police had also ordered an MV Esperanza Greenpeace vessel to leave Dumai port as the berthing period of the Dutch vessel in Dumai port had expired.

The Greenpeace activists also marked the side of the tanker as well as a tug boat full of logs with words reading "Forest Crime" at the Dumai port on Monday.

Bustar Maitar said Greenpeace believed that expansion of oil palm plantations to natural forests in Indonesia had been the factor behind the increasing deforestation and peat moss destruction.

"Ironically companies like Wilmar and Sinar Mas are members of RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil Supply). So long as no public statement has been made by the RSPO that supports a moratorium on the deforestation eco-friendly oilpalm plantations are a myth," he said.

He said the Esperanza would stay in Dumai waters to monitor forest conditions in Riau. (*)

COPYRIGHT © 2008

source: antara.co.id

Greenpeace`s action in Dumai port continues

11/12/08 07:34

Pekanbaru, Riau, (ANTARA News) - Greenpeace environmental activists continued their interception of crude palm oil (CPO) shipments in Dumai port waters here Tuesday.

The activists tied themselves to the anchor's chain of Gran Couva, a CPO tanker. The tanker belonged to Wilmar Group, was leaving for Rotterdam in the Netherlands.

Earlier, the activists also painted "Forest Crime" on the bodies of three CPO tankers and a barge carrying logs berthed in the Dumai port Monday (Nov 10).

"We will stop until we are sent away," said Nabiha Shahab, a South Asian Greenpeace campaigner.

Greenpeace had been intercepting CPO shipments in Dumai port waters to protest rampant deforestation in Indonesia.(*)

COPYRIGHT © 2008

source: antara.co.id

Tuesday, November 11, 2008

Pengusaha Sawit Remajakan 1 Juta Hektar Lahan

Selasa, 11/11/2008 08:35 WIB
Suhendra - detikFinance

Jakarta - Pengusaha sawit akan melakukan peremajaan lahan sawit seluas 1 juta hektar dari total luasan lahan sawit yang mencapai 6 juta hektar.

Cara ini diharapkan mampu menekan produksi sawit sehingga mampu menekan kejatuhan harga sawit dan produk turunannya termasuk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO)

"Dalam waktu tiga tahun ke depan kami akan melakukan peremajaan seluas 1 juta hektar, dalam rangka percepatan peremajaan usia-usia pohon sawit yang sudah di atas 25 tahun," kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Akmaluddin Hasibuan saat dihubungi detikFinance Senin malam (10/11/2008).

Akmaluddin mengatakan dengan periode peremajaan selama 3 tahun ke depan maka setidaknya luasan lahan yang diremajakan per tahunnya mencapai 300.000 hektar atau senilai 900.000 ton CPO setara dengan 5,4 juta ton sawit tandan buah segar (TBS).

Sehingga ditaksir hingga tahun 2011 produksi CPO akan mulai susut hingga 3 juta ton CPO atau 18 juta ton TBS.

"Dari 1 juta hektar rata-rata satu hektar menghasilkan 18 ton sawit per tahun, untuk CPO rata-rata per hektar 3 ton per tahun. Kami akan lakukan bertahap, ini rutin dilakukan umumnya pohon sawit sudah tua-tua," jelasnya.

Peremajaan ini akan difokuskan pada wilayah-wilayah penghasil sawit utama seperti di Sumatra dan Kalimantan.

Selain itu, pihaknya juga akan fokus memikirkan pasokan bahan baku sawit untuk bahan bakar nabati (BBN) yang sedang dikembangkan di dalam negeri. "Ini untuk me-reduce pasar luar negeri," katanya.(hen/ir)

source: detik.com

Importir CPO India Ingkari Kontrak Demi Menekan Kerugian

Selasa, 11/11/2008 07:32 WIB
Suhendra - detikFinance

Jakarta - Sebanyak 30 importir CPO mengingkari kontrak pembelian produk sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) asal Indonesia. Mereka mengingkari kontrak karena berupaya menekan kerugian akibat harga CPO yang anjlok sejak pertengahan tahun ini.

"Kami sudah komplain, pemerintah india dan asosiasi mereka. Alasan mereka mengalami drop akibat harga CPO yang jatuh karena mereka default," kata Ketua Umum Gapki Akmaluddin Hasibuan saat dihubungi detikFinance, Senin malam (10/11/2008).

Para pengusaha sawit yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) telah memasukan 30 importir tersebut sebagai daftar hitam (blacklist) Gapki.

Menurut Gapki para importir tadi sudah mulai melakukan tindakan mengingkari kontrak sejak bulan Agustus 2008 ketika harga CPO mulai turun.

Ia mencontohkan salah satu alasan para importir India tersebut mangkir diantaranya karena pada saat kontrak CPO pertengahan tahun 2008 para importir dikenakan harga US$ 700 per ton namun katanya sekarang ini harga CPO sudah dilevel US$ 500.

"Kontrak ke India memang cukup banyak, tapi kami nggak bisa beri tahu angka kerugiannya, karena itu masalah perusahaan masing-masing anggota kami," ujar Akmal.

Meski gagal kontrak, ia tetap optimistis produk CPO Indonesia bisa dipasarkan untuk diekspor lagi ke pasar lain. Hal ini tentunya terkait pasokan CPO yang cukup berlimpah didalam negeri.

"Kita cari pembelian lainnya, masih banyak demand kok," kilahnya.(hen/qom)

source: detik.com

HADANG KAPAL CPO, Polisi Dan Adpel Dumai Hentikan Aksi Greenpeace

11 Nov 2008 14:38 wib
ad


PEKANBARU (RiauInfo) - Polisi dan petugas Administrasi Pelabuhan (AdPel) di Dumai hari ini memaksa turun seorang aktivis Greenpeace dari rantai jangkar sebuah kapal tanker bertujuan Rotterdam, yang memuat CPO yang dihasilkan dari praktik yang merusak hutan di Indonesia.

Aktivis Greenpeace sejak kemarin telah mengunci dirinya pada rantai jangkar Gran Couva untuk mencegah kapal itu meninggalkan Indonesia menuju Eropa. Minyak sawit yang dikapalkan pada Gran Couva adalah milik Grup Wilmar.

“Greenpeace percaya bahwa memperbaiki produktivitas perkebunan kelapa sawit yang ada merupakan solusi merespon meningkatnya permintaan global, tanpa menghancurkan hutan yang tersisa,” kata Bustar Maitar, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, “Perluasan perkebunan kelapa sawit ke dalam hutan alam di Indonesia merupakan pendorong penting deforestasi dan pengrusakan lahan gambut.”

“Ironisnya, perusahaan seperti Wilmar dan Sinar Mas adalah anggota dari organisasi industri RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). (1) Sepanjang belum ada pernyataan publik dari RSPO mendukung moratorium deforestasi, minyak sawit yang “ramah lingkungan” hanya mitos belaka,” kata Bustar.

Dalam pelayaran “Hutan untuk Iklim” kapal Esperanza di Indonesia, Greenpeace telah mengumpulkan bukti-bukti baru konversi hutan besar-besaran di Propinsi Papua untuk perkebunan kelapa sawit pada konsesi Sinar Mas di dekat Jayapura. Greenpeace juga mendokumentasikan terus berlangsungnya pengrusakan hutan karena pembalakan di Papua dan menemukan pembukaan hutan baru pada hutan gambut di Riau.

“Greenpeace menyerukan kepada RSPO yang akan bertemu minggu ini untuk mendukung moratorium dan mendorong Pemerintah untuk mengambil tindakan segera. Standar RSPO harus diperketat untuk memastikan para anggotanya menghentikan deforestasi dan membuka lahan gambut pada semua operasinya,” tambah Maitar.

Kapal Esperanza, memulai bagian Indonesia dari pelayaran “Hutan untuk Iklim” pada tanggal 6 Oktober di Jayapura, untuk menyoroti kerusakan yang berlangsung terus menerus di hutan terakhir yang tersisa di Asia Tenggara.

Greenpeace menyerukan pemberlakuan sesegera mungkin penghentian sementara (moratorium) terhadap semua bentuk konversi hutan, termasuk untuk perluasan perkebunan kelapa sawit, industri penebangan dan sebab-sebab deforestasi lain.

Greenpeace adalah organisasi kampanye global yang independen yang bertindak untuk mengubah sikap dan perilaku masyarakat guna melindungi dan melestarikan lingkungan hidup serta mengusung perdamaian.(ad)

source: riauinfo.com

SEBELUM MENINGGALKAN DUMAI, Greenpeace Cegah Pengapalan Minyak Kelapa Sawit

11 Nov 2008 07:47 wib
ad


PEKANBARU (RiauInfo) – Aktivis Greenpeace pagi ini melakukan aksi untuk menyoroti sejumlah kapal tanker ekspor yang memuat CPO sebelum meninggalkan Dumai, yang merupakan pelabuhan utama bagi ekspor minyak kelapa sawit dari Indonesia, dan mencegah salah satunya sebelum berangkat menuju Eropa.

Para aktivis juga mengecat sebuah tongkang yang penuh dengan kayu bulat di pelabuhan. Mereka menuliskan kata-kata "Forest Crime" atau "Kejahatan Hutan" pada lambung tiga kapal bermuatan minyak kelapa sawit dan tongkang kayu tersebut sebagai protes terus berlangsungnya pengrusakan hutan Indonesia.

Salah satu aktivis Greenpeace mengunci dirinya pada rantai jangkar dari kapal Gran Couva untuk mencegahnya meninggalkan Indonesia. Muatan minyak kelapa sawit di atas Gran Couva
adalah milik Grup Wilmar.

"Hari ini Greenpeace melakukan aksi untuk menyoroti buruknya dampak yang ditimbulkan oleh industri kelapa sawit dan industri penebangan terhadap ekosistem lahan gambut dan hutan Indonesia serta terhadap iklim global," kata Bustar Maitar, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara.

Memenuhi permintaan minyak kelapa sawit dan komoditi lain bisa tetap berlangsung tanpa merusak hutan dan perusahaan seperti Wilmar harus mendukung seruan industri dan pemerintah daerah untuk penghentian sementara penebangan.

Dalam pelayaran "Hutan untuk Iklim" kapal Esperanza di Indonesia, Greenpeace telah mengumpulkan bukti-bukti baru konversi hutan besar-besaran di Propinsi Papua untuk perkebunan kelapa sawit di konsesi Sinar Mas dekat Jayapura. Greenpeace juga menemukan pembukaan hutan baru pada hutan gambut di Riau.

Konversi hutan dan lahan gambut yang demikian pesat untuk perkebunan kelapa sawit dan bahan bubur kertas merupakan pendorong deforestasi terbesar di Indonesia. Karbon yang dilepaskan oleh kegiatan ini membuat Indonesia menjadi pengemisi gas rumahkaca ketiga terbesar di dunia. Sebagian besar ekspor minyak kelapa sawit dari Indonesia bertujuan ke Cina, Eropa dan India.

"Hutan Indonesia lebih bernilai bila dibiarkan pada tempatnya daripada diekspor sebagai kayu bulat dan minyak kelapa sawit," kata Bustar. "Sangat penting untuk melindungi hutan Indonesia dari perluasan perkebunan kelapa sawit dan industri kertas untuk memerangi dampak perubahan iklim, mengentikan hilangnya keanekaragaman hayati dan melindungi kehidupan masyarakat yang bergantung pada hutan. Ini berarti harus segera diberlakukan jeda tebang dan dimulainya pendanaan internasional melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk
melindungi hutan."

Kapal Esperanza, memulai bagian Indonesia dari pelayaran "Hutan untuk Iklim" pada tanggal 6 Oktober di Jayapura, untuk menyoroti kerusakan yang berlangsung terus menerus di hutan terakhir yang tersisa di Asia Tenggara.

Greenpeace menyerukan pemberlakuan sesegera mungkin penghentian sementara (moratorium) terhadap semua bentuk konversi hutan, termasuk untuk perluasan perkebunan kelapa sawit, industri penebangan dan sebab-sebab deforestasi lain.

Greenpeace adalah organisasi kampanye global yang independen yang bertindak untuk mengubah sikap dan perilaku masyarakat guna melindungi dan melestarikan lingkungan hidup serta mengusung perdamaian.(ad)

source: riauinfo.com

Monday, November 10, 2008

Oil Palm Farmers Can No Longer Afford Fertilizer

Monday, 10 November, 2008 | 14:46 WIB

TEMPO Interactive, Jambi: Oil palm farmers in Jambi cannot afford to buy fertilizer anymore due to the drop in oil palm prices and the rise in fertilizer prices.

“We are having a hard time,” Amirullah, 46, a farmer from Mundungdarat village, Muarosebo sub-district, Muarojambi district, Jambi, told Tempo yesterday (6/11).

“Sadly, many owners are reluctant to manage their oil palm plantations,” said Amirullah.

The selling price of oil palm fresh fruit bunches is only Rp300-400 per kilogram while it was twice that before the global economic crisis.

The price for 25 kilograms of fertilizer was Rp75,000 but it is now Rp250,000.

“So, 50 kilograms of Mahkota fertilizer can cost as much as Rp600,000,” he said.

Amirullah explained that last year farmers can make Rp18 million by producing ten tons of fresh fruit bunches from five hectares of land within an average of 15 days.

“That was at a selling price of Rp1,800 per kilogram,” he said.

Muklis, a farmer from Tebo district has been forced to neglect his land and go to the city to find work.

“What is important is that I can have enough money to support my family,”

Last month, Jambi Governor Zulkifli Nurdin sent a circular letter to the owners of oil palm refineries suggesting that they buy fresh fruit bunches from farmers at a price of Rp890 per kilogram.

The state-owned plantation company PT Perkebunan Negara (PTPN) VI for Jambi and West Sumatra has agreed to buy from farmers.

“Our joint marketing office is trying to meet government's expectations,” said PTPN Finance Director A. Karimuddin.

The price is between Rp670-700 per kilogram.

SYAIPUL BAKHORI

source: tempointeractive.com

Gapki Blacklist 30 Importir India

Senin, 10-11-2008
MedanBisnis – Jakarta
Sebanyak 30 importir minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) asal India yang disusun dalam daftar hitam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) sudah mengingkari kontrak sejak Agustus 2008.

Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Gapki Derom Bangun yang dihubungi, Minggu (9/11). “Mereka berhenti mengirimkan kapalnya sejak Agustus lalu, tapi tanggal tepatnya saya tidak tahu,” katanya.
Para importir itu menggunakan alasan biaya kargo yang mesti mereka keluarkan semakin meningkat. Ini mengakibatkan terjadi masalah pembayaran yang berpotensi gagal bayar.
Menurut Derom, sejumlah importir asal India tersebut sebenarnya sudah melakukan kontrak untuk melakukan pengiriman dan pembayaran di tempat dengan beberapa produsen CPO lokal. Namun, ketika tanggal pengiriman tiba, tidak ada satu kapal pun yang datang dari 30 importir tersebut.
Gapki pun memperkirakan kerugian yang cukup besar dengan ingkarnya para importir India nakal tersebut. Namun sayang, ia enggan mengatakan detil kerugiannya.”Maka dari itu, kami langsung menyusun daftar perusahaan yang tidak menepati kontrak dan melayangkan surat kepada asosiasi CPO India seminggu yang lalu,” imbuhnya.
Dia mengatakan, nilai kontrak yang tidak ditepati oleh importir India itu beragam dengan total nilai kontrak yang cukup besar. Hampir semua pesanan di kontrak tersebut di atas 100.000 ton. “Yang baru diketahui 30 itu saja, sisa kontraknya ke negara lain saya tidak bisa bilang tidak ada. Harus dicek lagi,” ujarnya.
Selama ini, Indonesia menjadi eksportir CPO ke lebih dari 100 negara di seluruh dunia. Negara-negara itu antara lain India, China, Belanda, Pakistan dan lain sebagainya.
Tiga puluh perusahaan yang termasuk dalam daftar hitam Gapki antara lain: Nafed, JMD Oils and Fats, Bhatinda Oils and Fats, Kundan Oils and Fats, Raj Agro Oils, Gujarat Spices, Puneet and Company, Sarda Agro, Sudhir Agro, NCS Hyderabad, Mahesh Agro, Golden Oils Kolkata, Coastal Energy, Pradyhuman Overseas, Sara International, Dudhadhari Exports, DDI (Tower International), Budge Budge Refineries, Indumati Refineries, Shree Ganesh Oils, Velani Traders, Sheetal Industries dan sebagainya.
Optimis ekspor pulih
Begitupun Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) optimis hingga akhir tahun ini kegiatan ekspor CPO bisa lebih baik meski harga komoditas ini sedang turun.
Derom Bangun, selain menurunnya harga CPO, lesunya ekspor juga terjadi akibat sulitnya pencairan dana dari perbankan di berbagai dunia. “Ketika krisis melanda, banyak bank yang kurang percaya terhadap pengusaha sehingga enggan mengucurkan dananya kepada sektor riil,” katanya.
Walau demikian, dia optimis akhir tahun ini kegiatan ekspor CPO dalam negeri bisa lebih baik daripada kondisi sekarang. “Sebenarnya demand di negara pembeli itu masih tinggi, Kami juga sudah mulai menjajaki perusahaan-perusahaan baru yang bisa diajak kerjasama,” tukasnya.
Terkait kebijakan PE CPO nol persen, menurutnya, dampaknya terhadap kinerja ekspor tidak akan terlalu besar namun tetap membantu. “Kami sambut positif pemerintah menjadikan PE CPO nol persen. Dengan begitu ekspor bisa berkembang walau perhitungan saat ini kenaikannya masih sedikit,” ujarnya.
Gapki mentargetkan produksi CPO dalam negeri tahun 2008 akan sebanyak 18,8 juta metrik ton, sebanyak 14 juta metrik ton akan dijual melalui ekspor. Sedangkan sisanya, 4,8 juta metrik ton untuk konsumsi pasar dalam negeri. “Akhir tahun bisa tercapai,” tandasnya.
Selama ini, Indonesia menjadi eksportir CPO ke lebih dari 100 negara di seluruh dunia. Negara-negara tersebut diantaranya Belanda, India, Cina, Pakistan dan lain sebagainya. (dtf)

source: medanbisnisonline.com

Pemerintah Tak Campuri Kasus Blacklist 30 Importir CPO India

Minggu, 09/11/2008 15:01 WIB
Angga Aliya ZRF - detikFinance

Jakarta - Departemen Perdagangan menilai kasus ingkar kontrak sebanyak 30 importir CPO asal India adalah masalah business to business (b ton b) saja. Pemerintah tidak akan bisa membantu lebih jauh mengenai kasus ini.

Depdag pun belum bisa memastikan berapa jumlah importir India yang mengingkari kontrak tersebut sehingga jumlah kerugian belum bisa dihitung.

Hal ini disampaikan oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu di gedung Departemen Perdagangan, Jl Ridwan Rais, Jakarta, Senin (10/11/2008).

"Itu kan business to business jadi kita nggak bisa berbuat banyak kecuali, kalau kita bagaimana meng-create domestik demand misalnya dengan BBN itu benar-benar jalan, permintaan misalnya," kilahnya.

Hingga kini ia masih mencari informasi terkait kasus tersebut, mengenai berapa besar jumlahnya dan dampak terhadap ekspor Crude Palm Oil (CPO) Indonesia ke India.

"Saya belum sempat tahu berapa banyak, apakah 30 itu berapa besar dari ekspor itu sedang kita pelajari," ucapnya.

Namun menurut Mari, kalau yang terjadi adalah kasus gagal bayar (default) maka pemerintah memungkinkan bisa ikut campur tangan karena dalam kasus default menyangkut proses hukum yang bisa berjalan.

"Jadi nggak bisa (g to g) ini kan business to business (b to b) kecuali dia default misalnya, biasanya kan ada penaltinya, kalau dibayar penaltinya pastinya ada proses hukum dimasing-masing negara," katanya.

(hen/qom)

source: detik.com

Importir CPO India Ingkari Kontrak Sejak Agustus

Minggu, 09/11/2008 14:10 WIB
Angga Aliya ZRF - detikFinance

Jakarta - Sebanyak 30 importir minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) asal India yang disusun dalam daftar hitam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) sudah mengingkari kontrak sejak Agustus 2008.

Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Gapki Derom Bangun yang dihubungi detikFinance, Minggu (9/11/2008). "Mereka berhenti mengirimkan kapalnya sejak Agustus lalu, tapi tanggal tepatnya saya tidak tahu," katanya.

Menurutnya, sejumlah importir asal India tersebut sudah melakukan kontrak untuk melakukan pengiriman dan pembayaran di tempat dengan beberapa produsen CPO lokal. Namun, ketika tanggal pengiriman tiba, tidak ada satu kapal pun yang datang dari 30 importir tersebut.

Gapki pun memperkirakan kerugian yang cukup besar dengan ingkarnya para importir India nakal tersebut. Namun sayang, ia enggan mengatakan detail kerugiannya.

"Maka dari itu, kami langsung menyusun daftar perusahaan yang tidak menepati kontrak dan melayangkan surat kepada asosiasi CPO India seminggu yang lalu," imbuhnya.

Ia mengatakan, nilai kontrak yang tidak ditepati oleh importir India itu beragam dengan total nilai kontrak yang cukup besar. Hampir semua pesanan di kontrak tersebut di atas 100.000 ton.

"Yang baru diketahui 30 itu saja, sisa kontraknya ke negara lain saya tidak bisa bilang tidak ada. Harus dicek lagi," ujarnya.

Selama ini, Indonesia menjadi eksportir CPO ke lebih dari 100 negara di seluruh dunia. Negara_negara itu antara lain India, Cina, Belanda, Pakistan dan lain sebagainya.

Tiga puluh perusahaan yang termasuk dalam daftar hitam Gapki antara lain: Nafed, JMD Oils and Fats, Bhatinda Oils and Fats, Kundan Oils and Fats, Raj Agro Oils, Gujarat Spices, Puneet and Company, Sarda Agro, Sudhir Agro, NCS Hyderabad, Mahesh Agro, Golden Oils Kolkata, Coastal Energy, Pradyhuman Overseas, Sara International, Dudhadhari Exports, DDI (Tower International), Budge Budge Refineries, Indumati Refineries, Shree Ganesh Oils, Velani Traders, Sheetal Industries dan sebagainya.(ang/ddn)

source: detik.com

Govt supports 3 industries: Shoes, sugar, and textiles

November 08, 2008

Yuli Tri Suwarni, The Jakarta Post, Bandung

The government is expanding its industry revitalization program next year, with footwear manufacturers the latest to join a list of industrial sector subsidy recipients -- in addition to textiles and sugar -- to help renew machinery and boost output.

The Industry Ministry will facilitate the disbursement of Rp 55 billion in interest subsidies for footwear manufacturers, as part of a total of Rp 360 billion set aside in subsidies for the three industries, director general Anshari Bukhari said Saturday in Bandung, West Java.

"The funds are allocated on the government's 2009 state budget and have been approved by the House of Representatives," Anshari told a discussion forum.

This is the expansion of a program started two years ago designed to help targeted strategic industries to bolster production capacity.

Under this program, which originally only covered the textile industry, the government would subsidize part of the interest rate which banks charged on loans so that manufacturers could buy new machinery. It disbursed Rp 175 billion (US$18.77 million) to 78 textile and garment manufacturers in 2007 and expects to disburse another Rp 210 billion this year.

For next year, textile and garments makers will be entitled to another Rp 255 billion in subsidies, while sugar factories will be entitled to Rp 50 billion.

"We expect that this expanded program will not only stimulate investment in the three sectors, but also help improve competitiveness," Anshari said.

Businesses have welcomed this government program, saying it will definitely help them increase production capacity and benefit their industry as a whole.

The Association of Indonesia Textile Producers (API) has said that with the program, the industry is optimistic that it can cope with any decline in traditional export markets despite the current global economic downturn.

It expects total exports to still grow by at least 7 percent next year, mostly resulting from export market diversification. Last year the value of textile exports reached $10.06 billion.

The Indonesia Footwear Producer Association (Aprisindo) meanwhile said that even this year, the industry was doing relatively well and remained on course to achieving a 10 percent export growth target by end year, probably reaching an export volume of $1.76 billion.

Meanwhile, ministry director Budi Irmawan said up to 380 footwear makers have so far applied to make use of the subsidy scheme and this volume of demand would likely continue.

He added that most of the machinery now used by footwear manufacturers dates back to the 1980s.

Anshari added that the government would in the near future further expand its revitalization program.

"We're considering providing subsidies for targeted industrial cluster areas in the country. This would not be via an industry-based subsidy, but via industrial clusters. But, we're still working out the details," he said.

source: thejakartapost.com

Friday, November 7, 2008

Surbakti, Petani Sawit di Galang, “Karena CPO, Tiga Anakku Sarjana”

Sabtu, 08-11-2008
*bersihar lubis
MedanBisnis – Medan
Wajah Pak Surbakti dan istrinya tidak lagi mendung. Ibarat langit dengan awan hitam yang berarak, kini perlahan sirna dan makin cerah. Harga tandan buah segar (TBS) sawit kini mencapai Rp 700 per kg. Kenangan pahit saat harganya Rp 150 per kg sudah berlalu.

“Setelah pungutan ekspor CPO turun dari 7,5% jadi 2,5% dan lalu menjadi nol persen, harga TBS mulai membaik,” kata petani sawit dari Galang, Deliserdang, Sumatera Utara itu kepada MedanBisnis.
Surbakti mendengar kabar pada akhir tahun 2008 ini harga TBS akan menaik lagi, sehingga pasangan suami istri ini semakin giat memupuk kebun mereka. Mereka sangat bersyukur karena dengan kebun sawit itulah tiga anak mereka, satu lelaki dan dua perempuan bisa menyelesaikan sarjana di perguruan tinggi swasta di Medan. Masih ada satu lagi si bungsu sedang sekolah di SMA. “Jika karena tak CPO, tak mungkin mereka jadi sarjana,” kata istrinya.
Surbakti sudah berkebun sawit selama sembilan tahun terakhir ini. Bertumbuh secara perlahan, sekarang sudah seluas 15 hektare, yang berlokasi 20 kilometer dari Galang. Saat harga normal dulu, keluarga beretnik Karo ini memanen TBS sekali dua minggu atau dua kali dalam sebulan. Hasilnya lumayan, apalagi di kala itu harga TBS mencapai Rp 2.000 per kg.
Saban lima hektare, mereka bisa mengutip hasil Rp 6 juta sebulan. “Itu hasil bersih, setelah dipotong upah buruh dan pembelian pupuk,” kata Surbakti. Jika dihitung-hitung, pendapatannya sebulan mencapai Rp 18 juta. Itu sebabnya di saat harga TBS lagi jatuh keluarga Surbakti masih bisa hidup dari cadangan dana simpanan mereka selama ini. “Ada tak dimakan, kalau tak ada baru dimakan,” katanya separuh berfilsafat.
Begitupun, di kala harga TBS jatuh, Surbakti tetap memetik TBS dari kebun sawitnya. “Jika tak dipanen akan merusak pohonnya,” katanya. Jadi walaupun rugi, mereka tetap memanennya karena mempertimbangkan prospek kebun mereka. “Hidup tak selalu menuai untung,” kata istrinya, tergelak.
Sepeda Motor & Listrik
Namun tak diingkari Surbakti, akibat turunnya harga TBS sangat memukul rekan-rekannya, khususnya yang mempunyai kebun sekitar 1-3 hektare. Ia mencontohkan banyak petani sawit yang tadinya mengambil kredit sepeda motor terpaksa mengembalikannya ke dealer di Galang atau Lubuk Pakam. Maklum, cicilan sebulan mencapai Rp 500.000, sementara hasil sawit tak memadai. Jika harga TBS tak membaik juga, mungkin jumlah yang sepeda motornya disita dealer bisa bertambah.
Dampak turunnya harga TBS selama ini juga berpengaruh kepada PLN di Galang. Sedikitnya ada 1.500 dari 20.000 pelanggan PLN yang menunggak membayar rekening listrik. “Umumnya penunggak itu adalah petani sawit,” kata Surbakti. Ia berharap harga TBS segera membaik agar jangan sampai lampu listrik di rumah rekan-rekannya itu diputuskan oleh PLN. “Sebetulnya, PLN juga rugi karena kehilangan pelanggan,” katanya.
Kelebihan Surbakti dibanding umumnya petani sawit, mereka langsung mengangkut panen TBS mereka ke gudang pabrik sawit. “Kami mengangkutnya dengan mobil sendiri,” katanya. Karena pasokan TBS-nya lancar, pihak pabrik pun berkenan memberikan pinjaman, bisa Rp 25 juta atau Rp 50 juta. “Jaminannya, pasokan TBS sekali dua mingu itu,” katanya. Praktis Surbakti tak berhubungan dengan kolektor di lapangan maupun agen para kolektor. “Untuk kedua jasa itu harus membayar Rp 200 hingga Rp 300 per kg,” katanya.
Sayangnya, tidak semua petani punya angkutan sendiri, dan terpaksa rela membagi rejeki dengan para kolektor dan agen. Surbakti melihat sebetulnya soal itu bisa diatasi dengan mendirikan koperasi. “Nantinya, koperasilah yang menggantikan peran kolektor itu, sehingga harga yang diterima petani semakin tinggi,” katanya.

source: medanbisnisonline.com

Thursday, November 6, 2008

TBS Sawit Sentuh Rp 680/Kg

Jumat, 07-11-2008
*bambang s
MedanBisnis – Medan
Setelah dirundung kelabu akibat anjloknya harga tandan buah segar (TBS) sampai ke titik terendah, para petani sawit di sejumlah daerah di Sumatera Utara sedikit agak sumringah, karena hasil panenan sawit mereka mulai direspon pasar.

Meski kenaikannya masih jauh dari harga layak jual yang sempat dinikmati petani, tapi yang jelas harga TBS mulai menggeliat bergerak naik. Harga penjualan di tingkat petani ke pabrik kelapa sawit (PKS) seperti yang dipantau MedanBisnis, memang belum merata.
Hingga kemarin, harga transaksi (dari petani melalui pedagang pengumpul ke PKS) tertinggi terjadi di Tebingtinggi (Sumut). PKS PT Paya Pinang, salah satu perkebunan swasta tertua dan memiliki perkebunan sawit seluas 4.000 hektar di kabupaten tersebut, mencatat harga pembelian TBS tertinggi, yakni Rp 680 per kg.
Transaksi harga TBS tersebut, menunjukkan terjadinya pergeseran harga buah sawit, yang sejak tiga bulan terakhir ini, tak bergeming di seputaran Rp 250 – Rp 300 per kg. “Mudah-mudahan, harga (pembelian) di PKS ini bisa bertahan. Kalau mungkin bisa naik lagi,” harap Haris, salah seorang pedagang pengumpul yang kerap memasok sawit ke PKS tersebut.
Kenaikan sawit juga terjadi di beberapa PKS baik milik badan usaha milik negara (BUMN) maupun swasta. Seperti PKS Adolina milik PTPN-4 di Kabupaten Serdang Bedagei, kemarin juga bergerak naik berkisar antara Rp 580 – Rp 590 per kg. Dua pekan lalu, harga TBS di PKS tersebut masih bertahan di harga paling rendah, Rp 250 per kg.
Di Kabupaten Padang Lawas, yang kini mengklaim sebagai salah satu kabupaten paling banyak dihuni perkebunan berskala besar, harga TBS sawitnya bervariasi. PT Torganda, salah satu perkebunan kelapa sawit paling luas di kabupaten tersebut, melakukan pembelian berkisar Rp 580 per kg.
Dilaporkan dari perbatasan Sumut – Riau, tepatnya di Baganbatu, lokasi terkonsentrasinya perkebunan kelapa sawit, harga TBS justru belum terkatrol, masih antara Rp 480 – Rp 490 per kg.

RI-Malaysia pangkas 250.000 ha kebun sawit

Kamis, 06/11/2008 19:19 WIB

oleh : Erwin Tambunan
JAKARTA (bisnis.com): Pemerintah Indonesia dan Malaysia sepakat memangkas 250.000 ha perkebunan kelapa sawit untuk mengurangi kelebihan produksi komoditas itu.

"Kami akan mengatur stok produksi bersama-sama untuk memperoleh harga yang pas, tidak jatuh seperti sekarang ini," ujar Mentan Anton Apriantono seusai menandatangani kesepakatan bersama dengan Menteri Perusahaan Perladangan dan Komoditas Malaysia, Peter Chin Fah Kui, hari ini.

Dalam kesepakatan itu, Malaysia mulai 2009 berencana memangkas 200.000 ha perkebunan sawitnya, sedangkan Indonesia memangkas 50.000 ha. "Malaysia mengklaim produksi sawitnya sebanyak 2,5 ton per ha, sedangkan Indonesia 1,5 ton/ha."

Pengaturan pemangkasan perkebunan kelapa sawit, menurut Anton, dilaksanakan awal Januari 2009. "Pemangkasan itu diprioritaskan pohon yang sudah tua yang tujuannya mengurangi produksi, sehingga ekspansinya sesuai kebutuhan pasar," katanya.

Sebelumnya Dirjen Perkebunan Deptan Achmad Manggabarani mengatakan harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit yang berlaku sekarang Rp4.500 per kg. "Dua minggu lalu harganya sempat anjlok hingga mencapai Rp3.900 per kg," katanya.

Mengantisipasi perkembangan perdagangan kelapa sawit internasional, kedua negara sebagai produsen 85% kebutuhan minyak sawit dunia bersepakat setiap bulan saling tukar menukar informasi tentang perdagangan kelapa sawit dan karet. (tw)

source: bisnis.com

Petani dan Buruh Sawit Itu Makin Butuh BLT

Kamis, 06 November 2008
PEKANBARU-Saat menyusuri sepanjang jalan menuju Kantor Pos Kabupaten Siak, tempat pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT)—80 kilometer ke arah timur dari Kota Pekanbaru, Riau—sepanjang perjalanan ternyata berupa tanjakan, turunan, dan sesekali tikungan yang tajam.
Para pelintas juga disuguhi pemandangan kebun kelapa sawit yang terhampar luas di sepanjang perjalanan, serta terlihat pipa-pipa besar berisi minyak mentah milik PT Chevron Pasific Indonesia (dahulu PT Caltex Pasific Indonesia). Di beberapa tempat, permukaan pipa berwarna hitam legam dan bertuliskan, “Awas pipa bertekanan tinggi.”
Perjalanan darat yang ditempuh sekitar dua jam memang tidak semulus yang dibayangkan. Terkadang permukaan jalan bergelombang, tidak rata. Sesekali juga berpapasan dengan truk-truk bermuatan kayu. Jika berpapasan dengan truk tersebut di tanjakan atau tikungan, jantung terpaksa berdetak kencang karena truk itu membawa beban melebihi kapasitas.
Sesampainya di tempat pembagian BLT di Kantor Pos Kabupaten Siak, ternyata para penerima BLT sudah siap sejak pagi hari. Mereka rata-rata menggunakan sepeda motor. Jarak yang ditempuh pun tidak tanggung-tanggung demi mendapatkan uang Rp 400.000. Contohnya Asim (34), warga Desa Belutu, Siak, mengatakan akibat anjloknya harga kelapa sawit di tingkat petani yang awalnya Rp 2.000 menjadi Rp 150, mata pencarian para petani pun terancam. “Setelah lebaran, harga sawit tidak terkendali. Kalau ini berlangsung beberapa bulan, banyak buruh akan kehilangan pekerjaan,” ungkapnya.
Uang yang diterima Asim akan digunakan untuk membeli kebutuhan pokok, seperti beras, dan membayar buku sekolah anaknya. “Rumah saya jauh. Sekitar 30 kilometer. Selain itu, belum mendapat listrik. Kami menggunakan lampu minyak untuk penerangan,” kata ayah dari dua putri itu. Kabupaten Siak memang belum terkena program konversi minyak tanah ke gas.
Akibat anjloknya harga sawit, banyak petani sawit yang terbelit utang. Bahkan, akibatnya lagi, menurut Kanitintel Polsek Ujung Batu Aris Taslim, kasus penjambretan jadi meningkat karena berkurangnya pendapatan petani dan buruh angkut kelapa sawit. “Akhir-akhir ini kasus penjambretan terus marak karena harga sawit yang terus menurun” kata Aris kepada SH di sela-sela pembagian BLT di Kantor Pos Ujung Batu.
Sayangnya, program pengentasan kemiskinan yang ditawarkan Pemprov Riau masih jauh dari harapan. Terbukti penerima BLT masih dari kalangan mampu. Ini terlihat dari pengamatan SH, dimana para penerima BLT ialah mereka yang memiliki sepeda motor. Daerah seperti Riau Kepulauan yang jauh dari listrik, tampaknya masih jauh dari jangkauan BLT.
Kepala Camat Ujung Batu Syaiful Bahri pun mengakui masih banyak daerah yang belum menerima karena sulitnya medan yang harus ditempuh, seperti di kawasan Suku Sakai yang berjarak 30 kilometer dari Kantor Pos Ujung Batu. Tampaknya, program yang ditawarkan Pemprov Riau seperti program pengentasan kemiskinan, pemberantasan kebodohan, dan penyedian infrastruktur pun hanya menyentuh orang-orang di pinggiran Kota Pekanbaru.
Maka, pemerintah pusat seharusnya bekerja lebih keras agar penyaluran BLT tidak salah sasaran dan jangkauan sasarannya lebih luas. (cr-4)

source: sinarharapan.co.id

Penetapan Harga TBS Kelapa Sawit Diusulkan Tiap Minggu


Kamis, 6 November 2008 | 17:10 WIB
PONTIANAK, KAMIS - Periode penetapan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Kalimantan Barat yang dilakukan tiap bulan, dinilai sangat memberatkan pengusaha perkebunan sawit manakala harga crude palm oil (CPO) di pasaran global anjlok. karena itu, Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPPI) Kalbar mengusulkan periode penetapan harga TBS diubah menjadi tiap minggu.

"Dengan harga CPO di pasar dunia yang fluktuatif seperti ini, seharusnya ada penyesuaian harga TBS tiap minggu sehingga industri pengolahan sawit bisa tetap berjalan meski harga CPO turun. Daerah lain seperti di Sumatera Utara sudah menerapkan penetapan harga TBS tiap pekan. Kalbar yang masih menetapkan harga TBS tiap bulan akan didorong untuk menetapkan harga TBS tiap pekan," kata Ketua GPPI Kalbar Ilham Sanusi.

Menurutnya, terakhir kali TBS di Kalbar ditetapkan bulan Oktober lalu. Harga TBS paling rendah untuk tanaman sawit berumur 3 tahun Rp 782,71 per kg, sedangkan harga TBS tertinggi untuk tanaman sawit 10-20 tahun Rp 1.063 per kg. Asumsi yang digunakan waktu itu adalah harga CPO masih berkisar Rp 5.211 tiap kg. Sementara harga CPO dalam dua pekan terakhir turun drastis hingga Rp 3.600 tiap kg.

Perusahaan pengolahaan CPO di Kalbar masih terikat untuk membeli TBS dengan harga Rp 1.063 tiap kg, sementara mereka hanya bisa menjual CPO Rp 3.600 tiap kg. Padahal untuk memproduksi 1 kg CPO dibutuhkan 5 kg TBS. Kondisi ini membuat industri pengolahan sawit terus merugi.

"Untuk menekan kerugian, 17 pabrik pengolahan CPO di Kalbar mengurangi produksinya tiap hari hingga separuh," katanya.

Dalam kondisi normal, kapasitas produksi CPO Kalbar tiap tahun berkisar 850.000 ton atau sekitar 2.300 ton per hari. Dengan pengurangan produksi hingga separuhnya, ini berarti produksi CPO Kalbar saat ini tingga 1.150 ton per hari.

Diakui Ilham, tidak semua TBS dari petani dibeli oleh pabrik. Jika petani sepakat dengan kemampuan beli dari pabrik, maka TBS milik petani itu dibeli. Jika petani tidak sepakat dengan harga itu, terpaksa pabrik tidak membelinya.

Penyesuaian harga TBS yang ditetapkan pemerintah daerah menjadi salah satu solusi agar TBS petani bisa terbeli dan industri pengolahan bisa tetap berjalan, katanya.

source: kompas.com

Wednesday, November 5, 2008

Pengusaha dan Petani Tagih 15% Dana PE CPO

Kamis, 06-11-2008
*herman saleh
MedanBisnis – Medan
Meski pemerintah sudah mulai menerapkan beberapa kebijakan terkait kelapa sawit, namun upaya tersebut dinilai masih kurang. Alasannya, kondisi yang dialami pengusaha dan petani kelapa sawit saat ini sudah terlanjur jatuh ke level yang paling rendah.

Karena itu, untuk kembali menggairahkan salah satu sektor unggulan Sumatera Utara, pemerintah diharapkan mengambil langkah penyelamatan yang cepat dan langsung mengena.
“Memang beberapa kebijakan dari pemerintah sudah mulai terasa dampak positifnya. Namun di sisi lain, kondisi yang sudah parah tentu butuh langkah langsung,” kata Sekretaris Jenderal (Sekjend) Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsjad, di Medan, Rabu (5/11).
Dengan alasan itu, kata Asmar, pihak Apkasindo bersama dengan pengusaha kelapasawit yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) akan mengadakan pertemuan dengan wakil rakyat asal Sumut di Komisi IV DPR RI dan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara (Pempropsu) di Medan, Jumat (7/11).
“Salah satunya adalah mengenai pengembalian pungutan ekspor (PE) crude palm oil (CPO) ke daerah, mengingat Sumut merupakan penyumbang terbesar PE CPO yang total secara nasional sudah mencapai Rp 25 triliun,” tegasnya, seraya menyebutkan anggota Komisi IV yang akan hadir di antaranya Maruhal Silalahi dan Bomer Pasaribu.
Dalam pertemuan nanti, lanjutnya, mereka akan mempertanyakan sejauh mana perkembangan pembicaraan pengembalian PE CPO ke Sumut sebesar 15-20 persen. Sebab, beberapa waktu lalu sudah ada pertemuan Gubernur Sumatera Utara dengan pejabat-pejabat di pusat. Pada dasarnya, katanya lagi, petani ingin Pempropsu terus memperjuangkan pengembalian PE tersebut. Misalnya, untuk pemberian benih gratis, perbaikan infrastruktur, dan menjamin ketersediaan pupuk dengan harga yang terjangkau.
“Selain itu, banyak hal juga akan kita pertanyakan kepada pemerintah mengenai penanganan permasalahan kelapa sawit, dan solusi-solusi apa yang akan ditawarkan,” lanjutnya, seraya menyebutkan salah satunya adalah bentuk pengawasan pemerintah terhadap penetapan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. Mengingat, penetapan harga ini dikuatkan dengan SK Menteri Pertanian Nomor 357 Tahun 2005 tentang Penetapan Harga Tandan Buah Segar Kelapa Sawit.

source: medanbisnisonline.com

Global financial crisis hits Indonesian horticultural products

The Jakarta Post , Jakarta | Thu, 11/06/2008 10:29 AM | The Archipelago

A number of provinces are feeling the effects of the U.S.-led global economic slowdown on the marketing and export of their primary local horticultural products such as palm oil and rubber.

Riau, for example, has for the past three weeks been unable to export any crude palm oil (CPO) products because of a lack of orders from foreign importers.

Head of the Riau horticulture agency's product management and marketing division, Ferry HC Putra, said the lack of orders had caused excessive stockpiling of CPO in the province's only export gateway, Dumai.

"The storage facility in Dumai is 80 percent full," Ferry told The Jakarta Post last week.

The warehouse can hold 22,000 metric tons of CPO.

Ferry said that if the CPO was not sold soon, the province would lose revenue of nearly Rp 1 trillion a month, based on the assumption that Riau's annual CPO exports are worth Rp 11.4 trillion.

With about 1.6 million hectares of oil palm plantations, Riau contributes 30 percent of the total national export volume of 4 million metric tons of CPO a year.

Ferry said there were concerns the province's 132 CPO factories in Riau would be forced to close if the situation continued.

"This means Riau could lose investments worth Rp 47 trillion in the sector," he said.

He added that unless the stock could be sold within two months, the price of fresh oil palm fruits, or TBS as they are known locally, would also be affected.

The price drop would affect some 440,000 families who make a living from the sector.

The TBS price has already dropped significantly.

Ferry said the government should issue a regulation forcing the domestic market to absorb the abundant supply of CPO.

One way to do so would be to make mandatory the use of CPO derivatives as a substitute for imported bioethanol in the production of biofuel, Ferry said.

In West Sumatra, the sharp drop in the price of fresh oil palm fruit during the past two weeks has forced farmers to let the fruit rot on their plants.

They said harvesting would not result in any profit because any sales revenue would be the same as the cost of harvesting.

Tapri, a farmer from Taluak Embun, Ujung Gading, in West Pasaman regency, said a kilogram of fresh oil palm fruit was Rp 1,600 three months ago, but was fetching only Rp 350 by the beginning of last month.

West Sumatra Vice Governor Marlis Rahman said his administration would take necessary measures to help reduce any financial losses that oil palm farmers might suffer.

West Sumatra has 280,000 hectares of oil palm plantations, most of which are in West Pasaman, with Ujung Gading as the main production area.

The same cry over a sharp price drop has also been heard in Jambi. Alex Sinaga, a farmer from West Tanjung Jabung regency said that whereas two tons of TBS used to earn him Rp 4 million, it currently brings in only Rp 1.2 million.

"If this situation persists, it will be very hard for us to go on with the plantation," said Alex, one of some 750 families that supply the palm oil company PT Inti Indosawit Subur.

The situation is even worse for farmers who are not partnering with a company, according to the head of the Jambi provincial horticulture agency M Ali Lubis.

Jambi Governor Zulkifli Nurdin has called all oil palm factories in the province to buy the products of non-partner farmers also and to stick to the agreed price.

Meanwhile, in South Sumatra farmers and companies are feeling the pinch from a sharp drop in the price of rubber for the same reason: decreasing export orders due to the global economic crisis.

Chairman of the South Sumatra branch of the Association of Indonesian Rubber Companies (Gapkindo), Alex Kurniawan Eddy, said recently the decrease had been felt since September.

The price of SIR 20 rubber for export has fallen from more than US$2.50 per kilogram to around $2.25 per kilogram. Bokar (raw material for rubber slabs) has fallen to about Rp 12,000 per kilogram, whereas previously it was Rp 21,000.

He said the United States and other crisis-affected European countries had been the main export destinations for the province's rubber, and expressed concern the crisis would affect the export volume to these countries.

"Sales for the last quarter of this year are relatively secure. But for the first quarter of next year, we still have to wait and see," he said.

Suandi, a farmer from Talang Seleman village, Payaraman, Ogan Ilir, said his income had dropped significantly due to the sharp decrease in the prices for his produce.

The price for a kilogram of sap has fallen from Rp 11,800 to Rp 6,500.

"I keep tapping the sap because this is how I support my family," Suandi said.

Payaraman and dozens of surrounding villages form the main rubber production center in South Sumatra, known for their high-quality product.

source: thejakartapost.com

Harga tandan sawit mulai naik

Rabu, 05/11/2008

PADANG: Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit pada tingkat petani di Kabupaten Dharmasraya, salah satu sentra kebun kelapa sawit inti dan plasma di Sumatra Barat, sejak awal pekan ini mulai naik.
?
Asril, petani yang juga pengurus kelompok tani di sentra SP III Tiumang, Dharmasraya, Sumbar, menyebutkan posisi harga TBS petani plasma naik dari Rp550/kg menjadi Rp625/kg (Senin) dan kemarin naik lagi menjadi Rp650/kg.

Kenaikan harga TBS ini, katanya, karena petani menjual ke pabrik pengolahan minyak mentah PT Sumbar Andalas Kencana dengan adanya pola bapak angkat dengan petani plasma di daerah itu. Namun, bagi petani plasma yang menjual kepada pedagang pengumpul (tengkulak) atau ke industri lain, posisi harga tentu tak sebesar itu. (Antara)

source: bisnis.com

800 Hektar Hutan Lindung Dirambah untuk Kelapa Sawit

Rabu, 5 November 2008 | 00:58 WIB
Sungai Raya, Kompas - Sekitar 800 hektar Hutan Lindung Gambut Sungai Arus Deras di Kecamatan Teluk Pakedai, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, dirambah perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Mitra Aneka Rezeki dan PT Rezeki Kencana.

Di Hutan Lindung Gunung Ambawang, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, yang berada di sekitar wilayah kerja perusahaan itu, juga ditemukan pengerukan tanah merah untuk membangun jalan akses perkebunan. Di sana dijumpai tumpukan kayu olahan hasil pembalakan liar yang dilakukan masyarakat setempat.

Hal itu diungkapkan Kepala Dinas Kehutanan, Perkebunan, dan Pertambangan Kubu Raya M Sadik Azis di Sungai Raya, ibu kota Kabupaten Kubu Raya, Kalbar, Selasa (4/11). ”Temuan kasus ini merupakan hasil pemeriksaan Tim Badan Pemeriksa Keuangan tentang pengelolaan kawasan hutan pada Pemerintah Kabupaten Kubu Raya, 5 September 2008. Pada 22 September, Pemkab menurunkan tim untuk mengumpulkan data koordinat hutan yang dirambah,” kata Sadik.

Pemkab Kubu Raya menyurati PT Mitra Aneka Rezeki dan PT Rezeki Kencana agar menghentikan kegiatan perluasan areal tanam maupun penambangan tanah merah di hutan lindung.

Pemkab Kubu Raya juga meminta bantuan Dinas Kehutanan Kalbar untuk menurunkan tim gabungan. Surat bupati ditembuskan kepada Menteri Kehutanan, Gubernur Kalbar, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalbar, serta Kepala Balai Pemetaan Kawasan Hutan Wilayah III Pontianak.

”Saat tim memantau lapangan bulan Oktober, pembukaan lahan masih berlangsung,” kata Sadik.

Kepala Bidang Perlindungan Hutan Dishut Kalbar Sunarno menyatakan akan segera menurunkan tim.

Selain perambahan hutan lindung gambut, beberapa waktu lalu di Kabupaten Kubu Raya juga mencuat kasus perambahan ratusan hektar hutan lindung mangrove untuk usaha tambak. Kasus ini tengah diproses Kepolisian Kota Besar Pontianak.

Menyikapi maraknya kasus perambahan hutan lindung, anggota DPRD Kalbar, Michael Yan Sriwidodo, mendesak Dishut Kalbar maupun kabupaten untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Michael menilai aparat dinas kehutanan lamban menangani kasus perambahan hutan lindung.

”Perlu dukungan aparat kepolisian dan kejaksaan agar sanksi bisa diterapkan bagi pelaku perambahan hutan lindung. Kasus serupa di Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan bisa dipidanakan,” katanya. (WHY)

source: kompas.com

Malaysia Minati Kerja Sama Pengunaan BBN

Rabu, 05 November 2008 | 17:30 WIB


TEMPO Interaktif, Jakarta:Malaysia akan menjalin kerja sama penggunaan bahan bakar nabati (BBN) dengan Indonesia. Negeri jiran itu akan akan mempelajari mandatory (aturan yang mewajibkan) pemakaian BBN yang sudah berlaku di Indonesia.

"Mereka berminat untuk belajar dan akan membuat MoU (nota kesepahaman) terkait rencana itu," kata Staf Ahli Menteri Sumber Daya Mineral bidang SDM dan Teknologi Lulu Sumiarso seusai bertemu dengan Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Datuk Peter Chin Fah Kui, Rabu (5/11).

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Evita Legowo menambahkan, Malaysia akan menerapkan mandatory BBN pada 2009. Rencana penggunaan BBN oleh Malaysia, karena negara itu sedang kelebihan pasokan CPO (minyak sawit mentah). Sorta Tobing

source: tempo.co.id

Empat Mahasiswa Indonesia Jadi Duta Lingkungan

Rabu, 05 November 2008 | 16:06 WIB


TEMPO Interaktif, Jakarta: Bayer mengundang sejumlah anak muda yang memiliki program penyelematan lingkungan melalui Bayer Young Environmental Envoy 2008, ke Jerman. Sebanyak 45 remaja dari 17 negara terpilih mengikuti kegiatan yang berlangsung sejak 2 hingga 7 Nopember 2008.

Acara serupa sebelumnya diadakan di Thailand. Sejak 2001, peserta diperluas ke beberapa negara, hingga berjumlah 400 orang perwakilan dari kalangan muda. Dari Indonesia terpilih empat orang setelah melalui seleksi lebih dari 100 pelamar. Mereka adalah Doni Pabhassaro, Veni Sevia Febrianti, Sri Rezeki, Fernando Zetrialdi.

Doni baru lulus dari Fakultas Teknik Kimia Universitas Indonesiai. Ia mengembangkan bahan bakar biologi dari sampah padat organik. Veni menang berkat proyek konservasi hutan dengan menanam 2.000 benih pohon untuk penghijauan hutan di Bondowoso, Jawa Timur. Mahasiswa tingkat akhir Jurusan Hubungan Internasional Universitas Jember tersebut memiliki target menanam 5.000 benih yang ditanam di musim penghujan tahun ini.

Sri Rezeki mengembangkan cara kulit kelapa sawit menjadi bahan bakar biologi. Selain bertujuan mengembangkan bahan bakar non fosil, proyek mahasiswa Universitas Tanjungpura, Pontianak ini juga dapat mengurangi jumlah sampah kulit sawit.

Sedangkan Fernando mengusung program daur ulang kardus kemasan. Mahasiswa Jurusan Teknik Kimia ini membuat mesin yang dapat memisahkan lapisan kardus dan aluminium kotak kemasan itu. Kertas-kertas telak itu kemudian dibuat sebagai barang-barang seni (art paper) yang dapat dijual.

Bina Bektiati

source: tempo.co.id

Tuesday, November 4, 2008

What is destroying our rainforests? Greed, palm oil

Wednesday, November 5, 2008 1:15 PM

Rita Sastrawan , Paris | Wed, 11/05/2008 10:32 AM | Opinion

The establishment of oil-palm plantations in Kalimantan and Sumatra poses the greatest threat to orangutans today. In fact, the clearing of forest and the establishment of oil-palm plantations has a negative impact not only on orangutan populations but also on climate, the water cycle, carbon emissions and livelihoods in local communities.

Although many people are aware of these facts, oppose the development of biofuels from palm oil and oppose the creation of these plantations, the destruction of the rainforest continues.

The effects of land-clearing are simple and obvious once you have seen it with your own eyes. It is even easier when you witness the rescue of orangutans or experience breathing difficulties and stinging eyes from the smoke of burning forest and peat.

When we consume destructive palm oil in crispy chips or delicious chocolate, or wash our hands with sweetly fragranced soap, we are very rarely conscious of the adverse effects our activities incur. Because we don't feel the negative impacts firsthand we can't imagine the way our behavior influences nature and the lives of people on a faraway island. Meanwhile the destructive oil business continues and the market keeps growing.

Unilever is one of the biggest palm oil consumers worldwide using 1.3 metric tons every year. Its heart-shaped ice cream brand under many names and numerous other brands -- Dove, Sunsilk, Omo, Knorr, Blue Band, Becel, Best Foods, Ben & Jerry's and Findus -- are only a few of the many Unilever companies.

Avoiding products which may contain palm oil is nearly impossible, but as consumers we can all try to do what we can. Many consumers have made an effort to avoid products containing palm oil, and Unilever has been forced to respond, promising improvement by way of ensuring the palm oil they use is "sustainably" produced.

But where should all this sustainable palm oil come from? As worldwide demand for palm oil is so high, it can't be met with only the sustainably grown version simply because not enough is available.

With limited supplies of certified sustainable palm oil only now entering the market, Unilever has had to buy unsustainable palm oil from many companies, one of which is Wilmar Group, one of the biggest palm-oil trading companies in the world, handling at least a quarter of all global palm-oil output. Besides supplying Unilever with palm oil, Nestl* and Cargill are also among Wilmar's customers.

Not only are we eating palm oil, washing our clothes and ourselves with it, driving cars and producing electricity fueled by it, but our savings are often invested in banks connected with this biofuel that is helping destroy the planet. Among Wilmar's financiers are Rabobank, ABM Amro, Standard Chartered, Citibank, IFC of the World Bank, OCBC, Fortis and ING.

Just as Unilever has many brands which we might assume are independent local companies, Wilmar International also owns plantations under different company names and buys palm oil from family-related companies as well, such as from the Indonesian Ganda Group. Wilmar's plantations are situated in Kalimantan, Malaysia, Sumatra and Uganda. Their plantations cover nearly 600,000 hectares, and are proposed to grow to up to 1 million hectares, an area as large as South Korea. Two-thirds of these lands still must be cleared of forest and planted with palms.

Forest where orangutans were known to live have been cleared illegally. Plantations were established without official permission or environmental impact assessments. After immense pressure by NGOs, Wilmar International admitted in February 2008 it had violated its own plantation development policies in Indonesia.

Since Wilmar is planning to set up plantations in Central Kalimantan in Borneo, large-scale forest destruction and burning awaits that region. With the merging of PPB Palm Oil and Wilmar International, Wilmar now has 16 subsidiaries in Central Kalimantan. Most of the approximately 250,000 hectares have still not been developed. Another 250,000 hectares in Central Kalimantan are allocated for other companies' plantations; concessions covering one million hectares in all have already been handed out.

Existing forest should be protected from more onslaughts and oil-palm entrepreneurs should be forbidden to clear further. This and other steps are laid out in the Indonesian "Oranguatan Conservation Strategy and Action Plan", which should be enforced and implemented.

"To save orangutans, we must save the forests," the Indonesian President said in December 2007.

That is quite true, but implementation looks quite different. Companies are still cutting down forest and setting fire to peatlands as the cheapest and quickest method to clear new ground for yet more oil-palm plantations.

We see a nightmare relentlessly approaching. The forests will burn and orangutans will have to flee or die of hunger. Borneo is a hotspot of endemic plants and animals, hosting creatures most people haven't seen in their lives and natural medicines (which the resident Dayak people know well and use), but Borneo is also a hotspot for destruction, suffering and death.

Let your voice be heard. We as consumers are driving the market. Because of our consumption, companies make a profit from rainforest destruction.

Be concerned about your consumer behavior and show your concern by writing to companies. Help us save what is left!

The writer is International Communications Coordinator for Borneo Orangutan Survival International). She can be reached at rita@bos-international.org

source: thejakartapost.com

Anjloknya Harga TBS Tak Pengaruhi Sirkulasi Kredit di Tapteng, Sejumlah PKS Hentikan Kegiatan Ekspor CPO

Edisi Rabu, 5 November 2008

Pandan, (Analisa)

Anjloknya harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Kabupaten Tapanuli Tengah hingga mengalami keruntuhan di level terendah yakni Rp200-300 per kilogram, hingga saat ini belum mempengaruhi proses pengembalian kredit di perbankan.

Hal tersebut diakui pimpinan PT. Bank Sumut cabang pembantu Pandan, Hotlan Gultom kepada Analisa, Selasa (4/11) di ruang kerjanya, kendati harga TBS kelapa sawit di daerah setempat ikut anjlok akibat imbas krisis ekonomi global yang melanda dunia saat ini, namun proses pengembalian kredit dari sejumlah petani selaku nasabah Bank Sumut cabang pembantu Pandan masih normal.

“Terhitung dari triwulan atau hingga akhir September 2008, Bank Sumut cabang pembantu Pandan telah menyalurkan dana kredit termasuk di antaranya untuk bidang pertanian dan perkebunan dengan total anggaran mencapai 80 miliar rupiah lebih, namun sampai saat ini, belum ada satupun nasabah kita yang menunggak angsuran kredit pinjaman yang digulirkan,” ungkap Hotlan.

Menurutnya, tidak semua petani kelapa sawit khususnya di sejumlah kecamatan di antaranya, Pandan, Tukka, Badiri, Pinangsori, Sibabangun dan Sukabangun Kabupaten Tapteng semata-mata menggantungkan hidupnya dari hasil kebun kelapa sawit yang dimiliki, melainkan ada usaha lain seperti pedagang, PNS maupun pengusaha swasta lainnya, sehingga masih bisa menutupi dan membayarkan kewajiban kreditnya di Bank.

Disamping itu, kata Hotlan, pada waktu nasabah ingin melakukan akad kredit, pihaknya selalu menganjurkan agar para nasabah tersebut bersedia menabung dan menyimpan uangnya di Bank Sumut untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan termasuk bertujuan sebagai salah satu langkah antisipasi kredit macet.

Sementara itu, salah seorang pemilik kebun kelapa sawit di Kecamatan Tukka, Tapteng, R br Siregar (48) saat ditemui secara terpisah mengaku, turut merasakan imbas dari anjloknya harga TBS yang terjadi hingga saat ini.

“Sejak harga TBS anjlok, kita sudah tidak pernah lagi menikmati hasil dari kebun kelapa sawit, karena hasil panen yang diperoleh, sudah tidak sebanding lagi dengan biaya produksi yang dikeluarkan,” ungkapnya.

Oleh karenanya, TBS sawit tersebut terpaksa direlakan dipanen sendiri oleh para pekerja yang selama ini menjaga dan merawat kebun kelapa sawitnya sebagai pengganti upah guna memenuhi kebutuhan hidup para pekerja. Sebab, jika TBS dibiarkan membusuk di pohon, dikhawatirkan akan merusak pohon dan akan mengganggu sirkulasi panen berikutnya, katanya.

Dia juga mengaku, selama membuka kebun sawit seluas 8 hektar lebih di Kecamatan Tukka, Tapteng, pihaknya tidak pernah menggunakan bantuan kredit dari perbankan, karena masih mampu membiayainya dari hasil usaha lain yang digeluti.

Bertahan Hidup
Berbeda dengan penderitaan yang dialami sejumlah petani yang berada di Kecamatan Manduamas dan Sirandorung yang baru-baru ini terpaksa menjual barang berharga miliknya seperti perhiasan emas, sepeda motor dan lainnya, hanya untuk mempertahankan hidup dan sekolah anaknya, akibat anjloknya harga TBS yang saat ini hanya bertengger di angka Rp180 – Rp300 per kilogram.

Dimana, para petani mengaku uang hasil penjualan perhiasan tersebut digunakan untuk membeli beras dan kebutuhan lainnya, sebab hasil penjualan dari kelapa sawit sudah tidak cukup lagi untuk kebutuhan sehari-hari.

Di waktu berbeda, Dirut PT Bintang Nauli Pratama, Dody Batubara kepada wartawan mengatakan, sejak harga TBS anjlok, operasional pabrik kelapa sawit (PKS) miliknya terpaksa diturunkan 50 persen menjadi 35-40 ton crude palm oil (CPO) per hari dari sebelumnya memproduksi 70-100 ton CPO per hari. Keseluruhan CPO tersebut hanya dapat dipasarkan ke pabrik pengolehan minyak goreng, sedangkan untuk kegiatan ekspor terpaksa dihentikan sementara waktu.

“Soalnya, harga TBS di tingkat petani di daerah setempat masih mengalami stagnasi di level Rp200 per kilogram, bahkan di tingkat pabrik, harganya hanya mencapai Rp400 per kilogram dari sebelumnya yang sempat bertahan di angka Rp500 per kilogram,” terangnya. (yan)

source: analisadaily.com

Kini, Petani Sawit Berniat Kebun untuk Bayar Kredit

Rabu, 05-11-2008
*misno/juniwan
MedanBisnis – Langkat
Rendahnya harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di tingkat petani (Rp 350 per kilogram) membuat petani sawit di Langkat tidak bisa membayar kredit kendaraan mereka di showroom dan kredit pada bank. Bahkan, petani sawit berniat menjual perkebunannya akibat tidak sanggup mengelola perkebunan dan tidak sanggup membayar utang.

Sementara Pemkab Langkat tidak melakukan pungutan Rp 1 per kilogram TBS PTPN maupun perkebunan swasta sesuai yang telah direncanakan Pemkab Langkat dengan penerapan peraturan daerah.
“Pemkab Langkat telah membatalkan perda pungutan retribusi TBS Rp 1 per kilogram untuk TBS PTPN maupun perkebunan swasta. Sebab setelah kita terbitkan, ternyata pemerintah pusat tidak memberi izin, makanya perda itu kita bekukan dan Pemkab Langkat belum pernah melakukan pungutan itu. Dengan anjloknya harga TBS serta komoditas lainnya, kita sangat perihatin,” ungkap HM Yunus Saragih selaku Bupati Langkat menjawab MedanBisnis Selasa (4/11) di kantornya.
Secara terpisah, Manager PTPN-2 Sawit Seberang Ir Alfi Syahrin yang ditemui kemarin mengatakan, pihaknya mengakui, selama ini tidak ada pungutan retribusi TBS dari Pemkab Langkat. “Pemkab Langkat belum pernah mengajukan perda retribusi TBS perkebunan. Dahulu pernah ada diajukan Gabkindo untuk retribusi TBS Rp 1 per kilogram, namun hingga kini tidak berjalan akibat belum ada persetujuan direksi,” katanya.
Alfi Syahrin mengatakan masalah harga TBS, pihak PKS PTPN-2 Sawit Seberang pada hari Selasa 4 November melakukan pembelian TBS petani dengan harga Rp 660 per kilogram. “Ini sesuai dengan kenaikan harga crude palm oil (CPO) dari Rp 3.600 menjadi Rp 4.200 per kilogram,” katanya.
Sedangkan untuk pemupukan, PTPN juga mengurangi jumlah pemupukan dari 2 kali setahun menjadi satu kali setahun, ini akibat nilai jual produksi rendah, tandesnya.
Meski harga CPO mulai naik, namun harga TBS ditingkat petani masih rendah antara Rp 300-Rp 350 per kilogram. “Kita tidak sanggup lagi merawat dan memupuk kebun sawit karena nilai jual produksinya rendah,” kata Purwanto, salah seorang petani sawit di Sawit Sebrang. Kredit sepeda motornya saja kini tidak terbayar, demikian pula petani lain sudah banyak kenderaan mereka ditarik showroom akibat tidak mampu mencicil kreditnya. “Jika ini terus berlarut, makan kebun sawit akan terjual,” kata Purwanto lagi
Hal serupa juga dikatakan Dinda Kesuma, pemilik kebun sawit 7 hektar di Kecamatan Besitang. “Kebun saya seluas 7 hektar akan saya jual, ini akibat tidak bisa bayar bank. Sebagian utang saya belum dibayar kepada bank, karena harga sawit murah. Ini saja sudah dua bulan menunggak, untuk gaji buruh saja tidak sanggup apalagi untuk pemupukan,” katanya.
Dikatakan Dinda, pegawai bank sudah datang menagih, namun setelah dijelaskan, pihak bank masih memberikan batas toleransi. Untuk itu, diharapkan harga TBS segera naik sehubungan dengan naiknya harga CPO, jika tidak makan petani sawit bakal kehilangan perkebunannya dan dijual kepada kalangan kapitasis, tandes Dinda mengatakan.
Lain di Langkat, lain pula di Tapanuli Tengah. Di sini meski harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit runtuh ke level terendah yakni Rp200 per kilogram, tapi belum mempengaruhi proses pengembalian kredit di perbankan Sibolga.
Pimpinan Bank Sumut cabang pembantu Pandan Hotlan Gultom kepada MedanBisnis, Selasa (4/11) di ruang kerjanya, kendati harga TBS kelapa sawit di daerah setempat ikut anjlok akibat imbas krisis ekonomi global yang melanda dunia saat ini, namun proses pengembalian kredit dari sejumlah petani selaku nasabah Bank Sumut cabang pembantu Pandan masih normal.
“Terhitung triwulan III 2008 atau hingga akhir September, Bank Sumut cabang pembantu Pandan telah menyalurkan dana kredit termasuk di antaranya untuk bidang pertanian dan perkebunan dengan total anggaran mencapai Rp 80 miliar lebih, namun sampai saat ini, belum ada satupun nasabah kita yang menunggak kredit pinjaman yang digulirkan,” ungkap Hotlan.
Menurutnya, tidak semua petani kelapa sawit khususnya di sejumlah kecamatan di antaranya, Pandan, Tukka, Badiri, Pinangsori, Sibabangun dan Sukabangun kabupaten Tapteng semata-mata menggantungkan hidupnya dari hasil kebun kelapa sawit yang dimiliki, melainkan ada usaha lain seperti pedagang, PNS maupun pengusaha swasta lainnya, sehingga masih bisa menutupi dan membayarkan kewajiban kreditnya di bank.

source: medanbisnisonline.com

Cari di Google

Google
 
Web kabarsawit.blogspot.com