Monday, October 27, 2008

IOI still the top pick despite recent hedging losses

Tuesday October 28, 2008
By DANNY YAP

PETALING JAYA: IOI Corp Bhd, Malaysia’s second largest plantation company, remains the top pick among analysts for the sector despite its recent losses from hedging of palm oil purchases in euro.

Citi Investment Research analyst Penny Yaw, who rates IOI a buy/low risk stock with a target price of RM7.46, said it was still the most efficient oil palm plantation company with a yield per mature hectare of 28.54 tonnes.

“This is the highest yield per mature hectare for the industry,” she said, adding that the research house believed the current downward pressure in crude palm oil (CPO) price was short-term and the price was close to floor level.

Last Friday, CPO price fell RM160 to close at RM1,390 per tonne amid growing fears of a global recession slowing down demand.

The last time CPO price hit such a low level was in the early 1980s, when it dropped to RM1,444 per tonne.

Most analysts believe the current fundamentals warrant a minimum CPO price of RM1,300 to RM1,400 per tonne for the industry players, especially the smaller ones, to survive.
However, Yaw said, based on the underlying long-term fundamentals for vegetable oils over the medium term, the outlook remained positive for IOI due to its size and efficiency.

“The company also has a strong record of re-investing its capital and it enjoys the highest return on equity among the big-cap plantation groups in Malaysia,” she said, adding that IOI’s financial position was strengthening due to its strong operating cash flow.

TA Securities analyst James Ratnam concurred with Yaw that IOI’s overall performance outlook remained good, describing the recent fall in its share price as a knee-jerk reaction following the company’s hedging losses.

Last Friday, IOI’s share price fell as low as RM2.40 and closed at RM2.45, representing the lowest closing price since September 1998.

Ratnam said IOI’s overall earnings were unlikely to be seriously dented by the foreign exchange (forex) losses in the longer term.

For the financial year ended June 30, IOI announced unrecognised losses from currency options contracts of RM61.78mil, of which RM59.3mil was from sales contracts.

A foreign analyst said making losses or gains on forward currency contracts was a normal course of events for many large companies, including IOI.

“The forex losses are not a reflection of IOI’s core business competency, which is efficient CPO production,” he said.

He added that investors’ jitters due to the massive fall in CPO prices over the past months were exarcebated by the forex losses.

The analyst said the cost of production was between RM1,200 and RM1,700 for most plantation companies.

“If the CPO price hits RM1,200 per tonne, the earnings capability of all the plantation companies, including IOI, will be affected significantly as will their contribution to the country’s economy,” he said.

However, he said, IOI was probably in a better position than other plantation players to weather the storm if the CPO price dipped further.

Gubernur Riau Didesak Membuat Peraturan Harga TBS

Edisi Selasa, 28 Oktober 2008
Pekanbaru, (Analisa)

Gubernur Riau didesak membuat Peraturan Gubernur (Pergub) tentang standarisasi harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, menyusul anjloknya harga komoditi tersebut di pasaran.
Desakan itu terungkap dalam dengar pendapat (‘hearing') antara anggota Komisi B DPRD Riau dengan utusan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Riau (Gapki) dan instansi terkait lainnya di gedung dewan setempat, Senin (27/10).

Hearing yang dipimpin Wakil Ketua Komisi B, AB Purba, SH berjalan cukup alot karena masing- masing pihak memberikan penjelasan terkait fenomena turunnya harga TBS, sebagai implikasi krisis keuangan global.

“Yang paling terpukul itu adalah petani sawit swadaya, karena tidak bermitra dengan pihak pabrik kelapa sawit (PKS). Akibatnya harga beli TBS ditentukan PKS. Dengan alasan harga CPO turun, PKS menggunakannya sebagai senjata untuk membeli sawit petani serendah-rendahnya bahkan hanya Rp200 per kilogram (kg),” tuturnya.

Di Riau sendiri, imbuh Purba, jumlah petani swadaya cukup besar. Akan menjadi masalah besar jika kondisi ini tidak bisa dicari jalan keluarnya.

Hearing yang berlangsung hingga tiga jam ini, akhirnya menyimpulkan mendesak gubernur untuk membuat Pergub Riau yang mengatur standarisasi harga TBS di pasaran. Hal ini bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi petani sawit. Untuk menggagasnya perlu dibentuk tim yang terdiri dari lintaskerja.

Dalam kesempatan itu, Kepala Dinas Perkebunan (Kadisbun) Riau Susilo SE mengatakan, sejumlah Pabrik Kelapa Sawit (PKS) terancam tutup, jika harga jual Cruide Palm Oil (CPO) tidak membaik.

PKS tidak mungkin menjual CPO ke pasaran karena harga jualnya sangat rendah dan tidak sebanding dengan harga produksi. Rendahnya harga jual CPO ini dengan sendirinya akan mengancam kelangsungan hidup petani-petani kelapa sawit di Riau.

Menurut Susilo, turunnya harga jual CPO saat ini selain terjadinya krisis global juga disebabkan isu lingkungan yang dihembuskan NGO-NGO (Non Government Organisation/LSM) yang ada.
Isu yang dihembuskan NGO adalah CPO yang diproduksi dari Indonesia tersebut tidak ramah lingkungan dan banyak tanaman kelapa sawit yang ditanam di lahan-lahan rawa, sehingga pasaran dunia enggan membeli CPO tersebut.

Ke depan tambahnya, hendaknya harus ada industri hilir yang bisa mengolah CPO yang ada jika pasaran dunia tidak mau membeli CPO tersebut. Jika industri hilir tersebut tidak juga didirikan persoalan ini tidak akan pernah selesai, karena ketergantungan terhadap pasaran dunia sangat kuat sekali. Sementara pasar bisa sewenang-wenang menetapkan harga dengan berbagai dalih.
Terlepas dari soal itu, hingga berita ini turunkan Senin (27/10) pukul 20.30 WIB masih berlangsung pertemuan antara Gubernur Riau Wan Abubakar dengan pengusaha kelapa sawit dan karet di daerah itu.

Pertemuan yang berlangsung di Balai Pauh Janggi, kediaman Gubernur, Jalan Diponegoro, Pekanbaru untuk mencari solusi penanganan krisis harga sawit dan harga karet di Riau. (dw)

source: analisadaily.com

Replanting Baru 90 Hektar Lahan Sawit Tanjung Kasau 2.272 Hektar

Edisi Selasa, 28 Oktober 2008
Sei Suka, (Analisa)

PT Perkebunan Sumatera Utara (Sumut) di Tanjung Kasau Kecamatan Sei Suka Batubara selesai melakuakan replanting 90 hektar tanaman rambung. Tanaman rambung tersebut dikonversi dengan sawit.

Kini PT Perkebunan Tanjung Kasau yang merupakan milik Pemprovsu itu menjadi 2.272 hektar.
Sumber Analisa menjelaskan Senin (27/10), selama ini lahan Hak Guna Usaha (HGU) Kebun Tanjung Kasau luasnya 2591 hektar. Dengan konversi lahan baru sawit tersebut, tanaman rambung hanya tinggal 319 hektar.

Sampai saatnya nanti, semua lahan HGU ditanamai sawit. Dari satu tahap ke tahapan berikutnya, sisa tanaman rambung bisa sampai batas usia juga akan dikonversi dengan sawit.
Menurut sumber Analisa, meski harga sawit turun, bagi pihak perkebunan tidak jadi masalah. Tanjung Kasau memiliki pabrik kelapa sawit (PKS) sendiri.

Tanda Buah Segar (TBS) produksi perkebunan diolah sendiri menjadi crude palm oil (CPO) dan selanjutnya dipasarkan untuk dijadikan minyak goreng dan lainnya.

Di sisi lain sumber Analisa menjelaskan, dalam waktu dekat pihak perkebunan akan melakukan penutupan kanal di hulu Sungai Hitam agar air tidak terlalu berlebihan masuk ke areal lahan sawit seperti selama ini.

Demikian juga bila musim hujan, kawasan perkebunan sering tergenang akibat bagian hilir daerah luar lahan kebun tak mampu lagi menampung volume air yang tinggi. Akibatnya air tersebut sering tergenang.

Sementara kantong-kantong air sulit dibuat karena volume air jauh lebih tinggi. Karenanaya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Batubara juga harus ikut serta mengambil langkah kebijakan mengatasi kondisi air yang sering tergenang khususnya pada mausim hujan seperti baru-baru ini.

Demikian juga PTPN 3 yang memiliki kebun di Simujur, hilir Kebun Tanjung Kasau.
Meski banyak air tergenang, namun kegiatan pekerjaan karyawan di Perkebunan Tanjung Kasau tetap berjalan normal, aman dan lancar, ujar sumber Analisa. (al)

source: analisadaily.com

Biofuel: Peluang atau Angan-angan (2)

Selasa, 28-10-2008
*Bersihar Lubis

NUN jauh di utara, Brasil memulai program biofuel pada 1973 ketika negeri itu dilibas krisis BBM. Padahal, mereka mengimpor 80 persen BBM. Dicetuskanlah bahan alkohol sebagai energi alternatif. Dirangsang pula dengan diskon pajak bagi produsen dan pengguna mobil etanol. Brasil membidik singkong, jarak pagar, dan primadonanya adalah alkohol yang disuling dari tebu. Tak ayal, industri alkohol dan gula marak mencapai 300-an.

Sektor ini, menurut Asosiasi Agroindustri Tebu Sao Paulo, menyedot 1 juta tenaga kerja di 5,44 juta hektare (2004) lahan tebu, yang terluas di dunia. Separo dari produksi digunakan untuk etanol, dan bertumbuh 6% saban tahun. Cost industri etanol Brasil supermurah. Hanya (sebelum pajak) US$ 17,5 per barel atau sekitar Rp 1.080 per liter. Sedang industri berbasis tebu berbiaya US$ 10 untuk saban kesempatan kerja.

Lebih rendah ketimbang industri petrokimia (US$ 200), industri baja (US$ 145), industri otomotif (US$ 91), industri pengolahan bahan baku (US$ 70), dan industri produk konsumsi (US$ 44).

Brasil beruntung, tapi juga cerdas. Walau punya 20,4 juta ton gula dan 14 miliar liter etanol, hanya 9,5 juta ton gula dan 12,7 miliar liter etanol untuk konsumsi domestik. Sisanya, diekspor. Pada 2005, konsumsi biofuel Brasil mencapai 13 miliar liter, dan mengurangi 40 persen dari total kebutuhan bensin. Produksi etanol tumbuh 8,9 persen setahun, yang harganya lebih rendah dari harga BBM impor.

Biodiesel berbahan baku singkong dan jarak pagar) juga digarap jutaan hektare lahan. Hasilnya, pada 2003, Brasil mengkonsumsi solar 38 miliar liter—6 miliar liternya berasal dari pasar impor. Luar biasa. Di kita ini, ampas tebu percuma. Di Brasil dibakar dan menghasilkan enerji pabrik yang perlu setrum 60 megawatt dari 160 MW yang diproduksi. Harga etanol ini kompetitif, hanya US$ 30-40 per MWh.

Ampas tebu bisa menghasilkan setrum 9.000 MW, 15 kali produksi PLTN di sana. Bahkan, production cost etanol (US$ 0,63 per galon) sangat irit daripada bensin (US$ 1,05). Padahal, Indonesiapun punya limbah tebu 3,5 juta ton menurut data 2002.Yang membuat decak kagum, tak sedikit mobil berbahan bakar etanol meluncur di jalanan Brasil. Ada Fiat, General Motors, Ford, sampai Volkswagen. Lima tahun kemudian, 90 persen mobil Brasis telah minum alkohol. Bahkan, pesawat terbang ringan, menjadi peserta baru. Konon, akan dipakai untuk menyiram lahan pertanian. Brasil sukses karena ada lembaga khusus yang mengurus biofuel bernama Badan Pengembangan Gula dan Alkohol, di bawah Kementerian Pertanian. Merekalah perumus kebijakan. Kemudian, memaksimalkan pasar dalam negeri, sehingga ketergantungan kepada pasar internasional gula teratasi karena adanya industri etanol.

Pemerintah Brasil juga memfasilitasi kredit berbunga rendah (11-12 persen, sementara bunga pasar 26 persen) kepada pengusaha dan petani yang mengembangkan energi terbarukan.Terakhir, juga ditopang oleh lembaga riset dan pengembangan, yang berorientasi kepada produksi agrobisnis yang modern, efisien, dan kompetitif.

Kita punya apa? Mungkin, potensi pasar domestik yang besar, meskipun Pertamina menetapkan hanya 1% dari tadinya 5% biofuel. Juga punya lembaga riset. Ada LIPI, BPPT, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia dan kampus. Nah, soal kelembagaan khusus dan fasilitas kredit perlu regulasi, dan sangat penting. Kadang, kita mendengar ada anggapan bahwa sektor agro itu unbankable. Jika pun ada good will, setidaknya tidak seprogresif di Brasil, negeri sepakbola yang tersohor dengan goyang samba itu. (Bersambung)*Wartawan MedanBisnis

source: medanbisnisonline.com

Biofuel: Peluang atau Angan-angan (1)

Senin, 27-10-2008
*Bersihar Lubis

Pengantar: Bank Indonesia menggelar seminar bertema “Peranan Perbankan Dalam Mendukung Ketahanan Pangan & Energi di Sumatera Utara pada 29 Oktober 2008 di Medan. Berikut ini, disajikan tulisan serial tentang biofuel di Indonesia, yang tampaknya belum sehebat di Brasil (Red).

PRODUK CPO Indonesia sekitar 16-17 juta ton setahun, mirip calon anggota DPR-DPRD (caleg) yang bagai cendawan di musim hujan. Tidak seimbang dengan sedikitnya kursi tersedia yang diperebutkan di parlemen, sehingga kompetisi sangat ketat dan tajam.Tak heran ketika harga sedang pahit di pasaran dunia, produk CPO yang berlimpah-ruah itu menjadi lost economics. Maklum, untuk kebutuhan domestik (minyak goreng) hanya 26% saja. Sisanya, maaf, mirip caleg yang mayoritas diprediksi kandas untuk mencapai “pulau impian.”Fenomena inikah gerangan yang disebut budaya mangan ora mangan asal ngumpul? Tatkala harga minyak nilam tinggi, ramai-ramai bertanam nilam seraya memberangus kebun karet. Akibatnya, over produksi, lalu harga nilam jatuh.

Padahal prospek harga karet alam lebih terjamin karena karet sintetis yang membutuhkan energi BBM semakin mahal pula.Semestinya, ibarat berjualan telur, letakkanlah di banyak keranjang. Alokasi CPO tak cuma untuk migor, dan komoditas ekspor. Selain untuk bahan baku industri hilir domestik (farmasi, kosmetik dsb), ada peluang baru, yakni untuk industri biofuel.

Ini sangat strategis karena bisa menggantikan cadangan minyak bumi yang semakin langka. Apalagi kebijakan harga BBM pun rawan merembes ke wilayah politik. Mulai dari Gus Dur, Mega dan SBY didemo habis-habisan disertai pergolakan politik di DPR. Tragisnya, era keemasan BBM murah pun kian meredup.Sebetulnya, cita-cita pengembangan bahan bakar alternatif berbahan baku nabati (biofuel) telah diwujudkan dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) pada 25 Januari 2006 silam.

Angan-angan cemerlang ini pernah tercetus pada 1980-an. Seandainya 28 tahun silam intensif dilakukan, mungkin kisah getir CPO dewasa ini tidak akan terjadi. Ironisnya, program itu setop karena harga BBM menurun. Ketika “musuh” pergi kita pun terlena. Tidak konsepsional, tidak konsisten. Kala itu, ada program gasohol: bensin dicampur 10 persen etanol. Bahkan, lembaga penelitian dan pilot plant pembuatan etanol dari pati singkong di Lampung telah beroperasi. Tapi tragisnya, dokumennya hilang. Mudah-mudahan saja, target biofuel 10 persen pada 2010 tidak menjadi angan-angan belaka. (Bersambung)*Wartawan MedanBisnis

source: medanbisnisonline.com

Pedagang Pengumpul Tetap Tekan Harga TBS

Senin, 27-10-2008
*herman saleh

MedanBisnis – Medan, Jalur distribusi penjualan tandan buah segar (TBS) diduga menjadi faktor penyebab rendahnya harga di tingkat petani. Pasalnya, kebanyakan petani tidak menjual langsung ke pabrik, tetapi melalui pedagang perantara (pengumpul). Kondisi ini menyebabkan harga TBS masih tetap rendah, padahal di tingkat pabrik harga masih lebih tinggi.

Bendahara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Laksamana Adiyaksa mengemukakannya kepada MedanBisnis, Minggu (26/10). Pemerintah sudah memutuskan untuk menurunkan pajak ekspor (PE) crude palm oil (CPO) menjadi 2,5% untuk November dari 7,5% pada Oktober.

Penurunan ini semestinya mengangkat harga TBS karena pengusaha selalu mengkambinghitamkannya sebagai penyebab rendahnya harga komoditas itu di tingkat petani.Menurut Laksmana Adiyaksa, adanya jalur perantara tersebut menimbulkan perbedaan harga yang diterima oleh petani dan pemilik pabrik kelapa sawit (PKS). “Sebenarnya harga di tingkat pabrik jauh lebih tinggi dibandingkan harga di tingkat petani,” katanya ketika ditanyakan mengenai harga TBS yang masih rendah.

Karena itu, katanya, solusi untuk mengatasi permasalahan ini bisa dilakukan oleh petani, yakni dengan cara membentuk wadah atau koperasi yang bermitra dengan pengusaha PKS. Hal ini diyakini bisa memangkas jalur distribusi, sehingga harga yang diterima petani sama dengan harga yang ditetapkan oleh pabrik.“Hal seperti inilah yang dilakukan petani di Riau. Sehingga, ketika harga di daerah lain turun hingga Rp 250/kg, harga yang mereka terima berada di kisaran Rp 750/kg,” katanya, seraya menambahkan wadah seperti ini sangat penting, mengingat pabrik sangat sulit untuk melakukan pembelian langsung kepada petani.

Ditambahkannya, ketika pungutan ekspor (PE) crude palm oil (CPO) turun harga TBS di tingkat pabrik diperkirakan mengalami kenaikan. Bahkan, sebelumnya ketika PE turun menjadi 5% dari yang sebelumnya 10%, harga TBS di tingkat pabrik mengalami kenaikan antara 10-20%.“Kalau faktor lain tidak mengalami perubahan, jelas harga TBS di tingkat pabrik akan mengalami kenaikan. Tetapi, di tingkat petani saya tidak bisa perkirakan,” lanjutnya.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsjad mengakui perdedaan harga di tingkat pabrik dan petani. Begitupun, perbedaan harga yang ditetapkan melalui rapat mingguan antara pengusaha, PTPN, Dinas Perkebunan, dan Apkasindo.“Dalam pertemuan rutin itu, harga yang ditetapkan berlaku untuk harga di tingkat pabrik. Memang, ada perbedaan dengan harga di tingkat petani,” katanya, ketika dihubungi MedanBisnis.

Mengenai kemitraan, Asmar Arsjad berujar, selama terus digalakkan. Namun demikian, yang sudah efektif berlaku adalah kemitraan pengolahan, yang dikenal dengan sistim titip olah. Untuk kemitraan, dengan perkebunan swasta, sedang diupayakan.“Kemitraan ini sangat penting, karena itu kita akan terus mencari partner-partner kerjasama, baik itu dari BUMN maupun pihak swasta,” terangnya, seraya menambahkan, kemitraan ini jelas akan menguntungkan petani. Karena harga ditentukan oleh kedua belah pihak, berikut kesepakan-kesepakatan yang akan dilaksanakan.

Seorang petani kelapa sawit di Tapanuli Selatan (Tapsel) Kamil Hasibuan menuturkan, harga TBS di tingkat petani sekarang ini berkisar antara Rp250-350/kg. “Kalau dijual ke pabrik harganya sekitar Rp500-600/kg,” katanya.Pengamat ekonomi Jhon Tafbu Ritonga mengatakan, jauhnya jarak petani dan pabrik, serta infrastruktur jalan yang tidak memadai menjadi kendala petani ketika akan menjual TBS langsung ke pabrik.

Belum lagi produksi yang sedikit, sehingga tidak memungkinkan untuk diangkut dengan mobil pengangkut ke pabrik, karena ongkosnya akan lebih mahal.“Jadi kondisinya memang sudah kritis bagi petani. Harga pupuk juga sudah naik hingga empat kali lipat. Karena itu saya menilai sikap pemerintah yang masih mengenakan PE sudah keterlaluan,” tegasnya.

source: medanbisnisonline.com

Pabrik di Simalungun Beli TBS Rp 580/kg

Petani Tanggapi Dingin
Selasa, 28-10-2008
*samsudin harahap

MedanBisnis – Pematangsiantar Setelah sempat ambruk ke harga Rp 150/kg, maka minggu ini harga TBS (tandan buah segar) sawit di Simalungun mulai merangkak naik menjadi Rp 580/kg. Namun kenaikan harga TBS tersebut belum cukup untuk menutupi biaya pemanenan, apalagi untuk biaya pemupukan.

Karena itu, informasi tentang harga jual TBS yang tinggi ke pabrik kelapa sawit(PKS) secara langsung dianggap dingin saja oleh petani. Soalnya, petani tidak punya akses langsung ke PKS, selama ini mereka hanya menjual produknya ke agen pengumpul saja.

Soal usulan untuk membentuk wadah petani sawit agar bisa berhubungan langsung dengan pabrik juga tidak mereka gubris, sebab mereka sudah tidak percaya lagi dengan wadah-wadah seperti itu. Mereka lebih percaya kepada agen pengumpul yang bisa memberikan pinjaman modal, hanya dengan jaminan petani akan menjual hasil panen sawit kepada agen tersebut.

Bahkan mereka tidak mau tahu soal kebijakan pemerintah untuk mendongkrak harga dengan menurunkan pajak ekspor(PE) TBS dari 7,5% menjadi 2,5%. Mereka hanya menunggu harga sawit bisa naik kembali hingga minimal Rp 1.000/kg. Kondisi ini dipaparkan oleh beberapa orang petani sawit di Kabupaten Simalungun kepada kepada MedanBisnis, Senin (27/10).

Hardono Purba (35) petani sawit di Raya Kahean mengakui bahwa minggu ini harga sawit telah bergerak naik hingga mencapai Rp 520 – Rp 580/kg. Namun, katanya, dengan harga sebesar itu belum bisa mengatasi biaya produksi petani. “Jangankan untuk biaya pemupukan, untuk ongkos memanen saja harga Rp 580/kg itu tidak cukup,” cetusnya.

Menurut Hardono,agar petani sawit tidak terpuruk serta mampu untuk menutupi biaya produksi dan pemupukan, maka harga TBS minimal Rp 1.000/kg. Hermanto Sipayung(30), petani sawit di kecamatan Silau Kahean kabupaten Simalungun, mengatakan ambruknya harga sawit baru-baru ini sangat mengancam kelangsungan para petani sawit. Kenaikan harga sawit minggu ini, katanya, juga belum bisa meringankan beban petani.”Kenaikan harga sawit minggu ini belum berarti apa-apa untuk bisa meringankan para petani,”katanya.

Hermanto juga tidak setuju dengan usulan pembentukan wadah petani,agar petani bisa menjual langsung ke pabrik dengan harga tinggi. Karena,lanjutnya,sebenarnya sudah lama ada wadah seperti itu,namun fungsi dan manfaatnya kepada petani sama sekali tidak ada.Dia mencontohkan wadah seperti KUD(Koperasi Unit Desa) yang sama sekali tidak bisa membantu peningkatan pendapatan petani. “Malah pengurus KUD tersebut berperan sebagai tengkulak-tengkulak yang ganas kepada petani,”katanya. Kondisi itulah yang menyebabkan petani lebih suka menjalin kesepakatan dengan agen pengumpul yang bisa memberi pinjaman modal dengan ikatan menjual hasil panennya kepada agen tersebut.

Wakil Ketua Komisi A DPRD Sumut Abdul Hakim Siagian SH Mhum,melalui telepon seluler,Senin(27/10) sore mengatakan kepada Medan Bisnis,bahwa untuk menjaga situasi harga yang stabil dan pantas untuk didapatkan petani,maka pemerintah harus proakttif turun kelapangan mengawasinya.

Menurutnya,setelah menurunkan PE dari 7,5% menjadi 2,5%,maka pemerintah harus mengawalnya sampai ke lapangan.Dikatakannya bahwa nantinya penurunan PE itu jangan hanya menguntungakan pengusaha dan agen sawit saja,sementar petani tetap terpuruk karena harga tidak naik juga.“Jangan penurunan PE tersebut nantinya hanya dimanfaatkan agen-agen dan pengusaha sawit nakal untuk keuntungan mereka saja”ujarnya.Untuk itu,lanjutnya,pemerintah harus dengan tegas menindak pengusaha dan agen sawit yang nakal dan merugikan petani sawit.

source: medanbisnisonline.com

Rupiah Melemah, Penggunaan Biodiesel Dipercepat

Senin, 27/10/2008 18:20 WIB
Anwar Khumaini - detikFinance

Jakarta - Pelemahan nilai tukar rupiah akan dijadikan momen untuk mempercepat penggunaan energi alternatif seperti biodiesel. Selain harganya yang dipatok dalam rupiah, penggunaan biodiesel bisa membantu industri sawit nasional.

Hal tersebut disampaikan Menneg BUMN Sofyan Djalil di Istana Presiden, Jakarta, Senin (27/10/2008). Sofyan Djalil dan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati dipanggil oleh Presiden SBY, untuk menjelaskan kondisi perekonomian terkini selama ditinggalkan Presiden ke China."Kita akan cepat mempergunakan biodiesel karena biodiesel itu dibayar dengan rupiah, selain juga membantu sawit nasional," ujar Sofyan.

Pada perdagangan valas pukul 17.00 WIB, Senin (27/10/2008) berdasarkan data CNBC, rupiah melemah hingga 744 poin ke posisi 10.749 per dolar AS.

Menurut Sofyan, dengan pelemahan rupiah itu, semua BUMN akan diminta membawa pulang dolarnya. Sementara Pertamina akan diminta membayar transaksinya dalam rupiah sebisa mungkin."Pertamina yang bisa dibayar dengan rupiah harus dibayar dengan rupiah supaya mereka tidak banyak keluarkan dolar," jelas Sofyan Djalil."Kita lakukan minimalisasi penggunaan valuta asing di BUMN agar suplai valas meningkat dan pengaruhi permintaan valas," imbuhnya.

Sementara Menkeu Sri Mulyani mengatakan, pemerintah akan terus melakukan evaluasi dan observasi atas pengaruh pelemahan nilai tukar rupiah ke APBN.(anw/qom)

source: detik.com

Cari di Google

Google
 
Web kabarsawit.blogspot.com