Monday, October 27, 2008

Biofuel: Peluang atau Angan-angan (2)

Selasa, 28-10-2008
*Bersihar Lubis

NUN jauh di utara, Brasil memulai program biofuel pada 1973 ketika negeri itu dilibas krisis BBM. Padahal, mereka mengimpor 80 persen BBM. Dicetuskanlah bahan alkohol sebagai energi alternatif. Dirangsang pula dengan diskon pajak bagi produsen dan pengguna mobil etanol. Brasil membidik singkong, jarak pagar, dan primadonanya adalah alkohol yang disuling dari tebu. Tak ayal, industri alkohol dan gula marak mencapai 300-an.

Sektor ini, menurut Asosiasi Agroindustri Tebu Sao Paulo, menyedot 1 juta tenaga kerja di 5,44 juta hektare (2004) lahan tebu, yang terluas di dunia. Separo dari produksi digunakan untuk etanol, dan bertumbuh 6% saban tahun. Cost industri etanol Brasil supermurah. Hanya (sebelum pajak) US$ 17,5 per barel atau sekitar Rp 1.080 per liter. Sedang industri berbasis tebu berbiaya US$ 10 untuk saban kesempatan kerja.

Lebih rendah ketimbang industri petrokimia (US$ 200), industri baja (US$ 145), industri otomotif (US$ 91), industri pengolahan bahan baku (US$ 70), dan industri produk konsumsi (US$ 44).

Brasil beruntung, tapi juga cerdas. Walau punya 20,4 juta ton gula dan 14 miliar liter etanol, hanya 9,5 juta ton gula dan 12,7 miliar liter etanol untuk konsumsi domestik. Sisanya, diekspor. Pada 2005, konsumsi biofuel Brasil mencapai 13 miliar liter, dan mengurangi 40 persen dari total kebutuhan bensin. Produksi etanol tumbuh 8,9 persen setahun, yang harganya lebih rendah dari harga BBM impor.

Biodiesel berbahan baku singkong dan jarak pagar) juga digarap jutaan hektare lahan. Hasilnya, pada 2003, Brasil mengkonsumsi solar 38 miliar liter—6 miliar liternya berasal dari pasar impor. Luar biasa. Di kita ini, ampas tebu percuma. Di Brasil dibakar dan menghasilkan enerji pabrik yang perlu setrum 60 megawatt dari 160 MW yang diproduksi. Harga etanol ini kompetitif, hanya US$ 30-40 per MWh.

Ampas tebu bisa menghasilkan setrum 9.000 MW, 15 kali produksi PLTN di sana. Bahkan, production cost etanol (US$ 0,63 per galon) sangat irit daripada bensin (US$ 1,05). Padahal, Indonesiapun punya limbah tebu 3,5 juta ton menurut data 2002.Yang membuat decak kagum, tak sedikit mobil berbahan bakar etanol meluncur di jalanan Brasil. Ada Fiat, General Motors, Ford, sampai Volkswagen. Lima tahun kemudian, 90 persen mobil Brasis telah minum alkohol. Bahkan, pesawat terbang ringan, menjadi peserta baru. Konon, akan dipakai untuk menyiram lahan pertanian. Brasil sukses karena ada lembaga khusus yang mengurus biofuel bernama Badan Pengembangan Gula dan Alkohol, di bawah Kementerian Pertanian. Merekalah perumus kebijakan. Kemudian, memaksimalkan pasar dalam negeri, sehingga ketergantungan kepada pasar internasional gula teratasi karena adanya industri etanol.

Pemerintah Brasil juga memfasilitasi kredit berbunga rendah (11-12 persen, sementara bunga pasar 26 persen) kepada pengusaha dan petani yang mengembangkan energi terbarukan.Terakhir, juga ditopang oleh lembaga riset dan pengembangan, yang berorientasi kepada produksi agrobisnis yang modern, efisien, dan kompetitif.

Kita punya apa? Mungkin, potensi pasar domestik yang besar, meskipun Pertamina menetapkan hanya 1% dari tadinya 5% biofuel. Juga punya lembaga riset. Ada LIPI, BPPT, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia dan kampus. Nah, soal kelembagaan khusus dan fasilitas kredit perlu regulasi, dan sangat penting. Kadang, kita mendengar ada anggapan bahwa sektor agro itu unbankable. Jika pun ada good will, setidaknya tidak seprogresif di Brasil, negeri sepakbola yang tersohor dengan goyang samba itu. (Bersambung)*Wartawan MedanBisnis

source: medanbisnisonline.com

No comments:

Post a Comment

Cari di Google

Google
 
Web kabarsawit.blogspot.com