Tuesday, November 4, 2008

What is destroying our rainforests? Greed, palm oil

Wednesday, November 5, 2008 1:15 PM

Rita Sastrawan , Paris | Wed, 11/05/2008 10:32 AM | Opinion

The establishment of oil-palm plantations in Kalimantan and Sumatra poses the greatest threat to orangutans today. In fact, the clearing of forest and the establishment of oil-palm plantations has a negative impact not only on orangutan populations but also on climate, the water cycle, carbon emissions and livelihoods in local communities.

Although many people are aware of these facts, oppose the development of biofuels from palm oil and oppose the creation of these plantations, the destruction of the rainforest continues.

The effects of land-clearing are simple and obvious once you have seen it with your own eyes. It is even easier when you witness the rescue of orangutans or experience breathing difficulties and stinging eyes from the smoke of burning forest and peat.

When we consume destructive palm oil in crispy chips or delicious chocolate, or wash our hands with sweetly fragranced soap, we are very rarely conscious of the adverse effects our activities incur. Because we don't feel the negative impacts firsthand we can't imagine the way our behavior influences nature and the lives of people on a faraway island. Meanwhile the destructive oil business continues and the market keeps growing.

Unilever is one of the biggest palm oil consumers worldwide using 1.3 metric tons every year. Its heart-shaped ice cream brand under many names and numerous other brands -- Dove, Sunsilk, Omo, Knorr, Blue Band, Becel, Best Foods, Ben & Jerry's and Findus -- are only a few of the many Unilever companies.

Avoiding products which may contain palm oil is nearly impossible, but as consumers we can all try to do what we can. Many consumers have made an effort to avoid products containing palm oil, and Unilever has been forced to respond, promising improvement by way of ensuring the palm oil they use is "sustainably" produced.

But where should all this sustainable palm oil come from? As worldwide demand for palm oil is so high, it can't be met with only the sustainably grown version simply because not enough is available.

With limited supplies of certified sustainable palm oil only now entering the market, Unilever has had to buy unsustainable palm oil from many companies, one of which is Wilmar Group, one of the biggest palm-oil trading companies in the world, handling at least a quarter of all global palm-oil output. Besides supplying Unilever with palm oil, Nestl* and Cargill are also among Wilmar's customers.

Not only are we eating palm oil, washing our clothes and ourselves with it, driving cars and producing electricity fueled by it, but our savings are often invested in banks connected with this biofuel that is helping destroy the planet. Among Wilmar's financiers are Rabobank, ABM Amro, Standard Chartered, Citibank, IFC of the World Bank, OCBC, Fortis and ING.

Just as Unilever has many brands which we might assume are independent local companies, Wilmar International also owns plantations under different company names and buys palm oil from family-related companies as well, such as from the Indonesian Ganda Group. Wilmar's plantations are situated in Kalimantan, Malaysia, Sumatra and Uganda. Their plantations cover nearly 600,000 hectares, and are proposed to grow to up to 1 million hectares, an area as large as South Korea. Two-thirds of these lands still must be cleared of forest and planted with palms.

Forest where orangutans were known to live have been cleared illegally. Plantations were established without official permission or environmental impact assessments. After immense pressure by NGOs, Wilmar International admitted in February 2008 it had violated its own plantation development policies in Indonesia.

Since Wilmar is planning to set up plantations in Central Kalimantan in Borneo, large-scale forest destruction and burning awaits that region. With the merging of PPB Palm Oil and Wilmar International, Wilmar now has 16 subsidiaries in Central Kalimantan. Most of the approximately 250,000 hectares have still not been developed. Another 250,000 hectares in Central Kalimantan are allocated for other companies' plantations; concessions covering one million hectares in all have already been handed out.

Existing forest should be protected from more onslaughts and oil-palm entrepreneurs should be forbidden to clear further. This and other steps are laid out in the Indonesian "Oranguatan Conservation Strategy and Action Plan", which should be enforced and implemented.

"To save orangutans, we must save the forests," the Indonesian President said in December 2007.

That is quite true, but implementation looks quite different. Companies are still cutting down forest and setting fire to peatlands as the cheapest and quickest method to clear new ground for yet more oil-palm plantations.

We see a nightmare relentlessly approaching. The forests will burn and orangutans will have to flee or die of hunger. Borneo is a hotspot of endemic plants and animals, hosting creatures most people haven't seen in their lives and natural medicines (which the resident Dayak people know well and use), but Borneo is also a hotspot for destruction, suffering and death.

Let your voice be heard. We as consumers are driving the market. Because of our consumption, companies make a profit from rainforest destruction.

Be concerned about your consumer behavior and show your concern by writing to companies. Help us save what is left!

The writer is International Communications Coordinator for Borneo Orangutan Survival International). She can be reached at rita@bos-international.org

source: thejakartapost.com

Anjloknya Harga TBS Tak Pengaruhi Sirkulasi Kredit di Tapteng, Sejumlah PKS Hentikan Kegiatan Ekspor CPO

Edisi Rabu, 5 November 2008

Pandan, (Analisa)

Anjloknya harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Kabupaten Tapanuli Tengah hingga mengalami keruntuhan di level terendah yakni Rp200-300 per kilogram, hingga saat ini belum mempengaruhi proses pengembalian kredit di perbankan.

Hal tersebut diakui pimpinan PT. Bank Sumut cabang pembantu Pandan, Hotlan Gultom kepada Analisa, Selasa (4/11) di ruang kerjanya, kendati harga TBS kelapa sawit di daerah setempat ikut anjlok akibat imbas krisis ekonomi global yang melanda dunia saat ini, namun proses pengembalian kredit dari sejumlah petani selaku nasabah Bank Sumut cabang pembantu Pandan masih normal.

“Terhitung dari triwulan atau hingga akhir September 2008, Bank Sumut cabang pembantu Pandan telah menyalurkan dana kredit termasuk di antaranya untuk bidang pertanian dan perkebunan dengan total anggaran mencapai 80 miliar rupiah lebih, namun sampai saat ini, belum ada satupun nasabah kita yang menunggak angsuran kredit pinjaman yang digulirkan,” ungkap Hotlan.

Menurutnya, tidak semua petani kelapa sawit khususnya di sejumlah kecamatan di antaranya, Pandan, Tukka, Badiri, Pinangsori, Sibabangun dan Sukabangun Kabupaten Tapteng semata-mata menggantungkan hidupnya dari hasil kebun kelapa sawit yang dimiliki, melainkan ada usaha lain seperti pedagang, PNS maupun pengusaha swasta lainnya, sehingga masih bisa menutupi dan membayarkan kewajiban kreditnya di Bank.

Disamping itu, kata Hotlan, pada waktu nasabah ingin melakukan akad kredit, pihaknya selalu menganjurkan agar para nasabah tersebut bersedia menabung dan menyimpan uangnya di Bank Sumut untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan termasuk bertujuan sebagai salah satu langkah antisipasi kredit macet.

Sementara itu, salah seorang pemilik kebun kelapa sawit di Kecamatan Tukka, Tapteng, R br Siregar (48) saat ditemui secara terpisah mengaku, turut merasakan imbas dari anjloknya harga TBS yang terjadi hingga saat ini.

“Sejak harga TBS anjlok, kita sudah tidak pernah lagi menikmati hasil dari kebun kelapa sawit, karena hasil panen yang diperoleh, sudah tidak sebanding lagi dengan biaya produksi yang dikeluarkan,” ungkapnya.

Oleh karenanya, TBS sawit tersebut terpaksa direlakan dipanen sendiri oleh para pekerja yang selama ini menjaga dan merawat kebun kelapa sawitnya sebagai pengganti upah guna memenuhi kebutuhan hidup para pekerja. Sebab, jika TBS dibiarkan membusuk di pohon, dikhawatirkan akan merusak pohon dan akan mengganggu sirkulasi panen berikutnya, katanya.

Dia juga mengaku, selama membuka kebun sawit seluas 8 hektar lebih di Kecamatan Tukka, Tapteng, pihaknya tidak pernah menggunakan bantuan kredit dari perbankan, karena masih mampu membiayainya dari hasil usaha lain yang digeluti.

Bertahan Hidup
Berbeda dengan penderitaan yang dialami sejumlah petani yang berada di Kecamatan Manduamas dan Sirandorung yang baru-baru ini terpaksa menjual barang berharga miliknya seperti perhiasan emas, sepeda motor dan lainnya, hanya untuk mempertahankan hidup dan sekolah anaknya, akibat anjloknya harga TBS yang saat ini hanya bertengger di angka Rp180 – Rp300 per kilogram.

Dimana, para petani mengaku uang hasil penjualan perhiasan tersebut digunakan untuk membeli beras dan kebutuhan lainnya, sebab hasil penjualan dari kelapa sawit sudah tidak cukup lagi untuk kebutuhan sehari-hari.

Di waktu berbeda, Dirut PT Bintang Nauli Pratama, Dody Batubara kepada wartawan mengatakan, sejak harga TBS anjlok, operasional pabrik kelapa sawit (PKS) miliknya terpaksa diturunkan 50 persen menjadi 35-40 ton crude palm oil (CPO) per hari dari sebelumnya memproduksi 70-100 ton CPO per hari. Keseluruhan CPO tersebut hanya dapat dipasarkan ke pabrik pengolehan minyak goreng, sedangkan untuk kegiatan ekspor terpaksa dihentikan sementara waktu.

“Soalnya, harga TBS di tingkat petani di daerah setempat masih mengalami stagnasi di level Rp200 per kilogram, bahkan di tingkat pabrik, harganya hanya mencapai Rp400 per kilogram dari sebelumnya yang sempat bertahan di angka Rp500 per kilogram,” terangnya. (yan)

source: analisadaily.com

Kini, Petani Sawit Berniat Kebun untuk Bayar Kredit

Rabu, 05-11-2008
*misno/juniwan
MedanBisnis – Langkat
Rendahnya harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di tingkat petani (Rp 350 per kilogram) membuat petani sawit di Langkat tidak bisa membayar kredit kendaraan mereka di showroom dan kredit pada bank. Bahkan, petani sawit berniat menjual perkebunannya akibat tidak sanggup mengelola perkebunan dan tidak sanggup membayar utang.

Sementara Pemkab Langkat tidak melakukan pungutan Rp 1 per kilogram TBS PTPN maupun perkebunan swasta sesuai yang telah direncanakan Pemkab Langkat dengan penerapan peraturan daerah.
“Pemkab Langkat telah membatalkan perda pungutan retribusi TBS Rp 1 per kilogram untuk TBS PTPN maupun perkebunan swasta. Sebab setelah kita terbitkan, ternyata pemerintah pusat tidak memberi izin, makanya perda itu kita bekukan dan Pemkab Langkat belum pernah melakukan pungutan itu. Dengan anjloknya harga TBS serta komoditas lainnya, kita sangat perihatin,” ungkap HM Yunus Saragih selaku Bupati Langkat menjawab MedanBisnis Selasa (4/11) di kantornya.
Secara terpisah, Manager PTPN-2 Sawit Seberang Ir Alfi Syahrin yang ditemui kemarin mengatakan, pihaknya mengakui, selama ini tidak ada pungutan retribusi TBS dari Pemkab Langkat. “Pemkab Langkat belum pernah mengajukan perda retribusi TBS perkebunan. Dahulu pernah ada diajukan Gabkindo untuk retribusi TBS Rp 1 per kilogram, namun hingga kini tidak berjalan akibat belum ada persetujuan direksi,” katanya.
Alfi Syahrin mengatakan masalah harga TBS, pihak PKS PTPN-2 Sawit Seberang pada hari Selasa 4 November melakukan pembelian TBS petani dengan harga Rp 660 per kilogram. “Ini sesuai dengan kenaikan harga crude palm oil (CPO) dari Rp 3.600 menjadi Rp 4.200 per kilogram,” katanya.
Sedangkan untuk pemupukan, PTPN juga mengurangi jumlah pemupukan dari 2 kali setahun menjadi satu kali setahun, ini akibat nilai jual produksi rendah, tandesnya.
Meski harga CPO mulai naik, namun harga TBS ditingkat petani masih rendah antara Rp 300-Rp 350 per kilogram. “Kita tidak sanggup lagi merawat dan memupuk kebun sawit karena nilai jual produksinya rendah,” kata Purwanto, salah seorang petani sawit di Sawit Sebrang. Kredit sepeda motornya saja kini tidak terbayar, demikian pula petani lain sudah banyak kenderaan mereka ditarik showroom akibat tidak mampu mencicil kreditnya. “Jika ini terus berlarut, makan kebun sawit akan terjual,” kata Purwanto lagi
Hal serupa juga dikatakan Dinda Kesuma, pemilik kebun sawit 7 hektar di Kecamatan Besitang. “Kebun saya seluas 7 hektar akan saya jual, ini akibat tidak bisa bayar bank. Sebagian utang saya belum dibayar kepada bank, karena harga sawit murah. Ini saja sudah dua bulan menunggak, untuk gaji buruh saja tidak sanggup apalagi untuk pemupukan,” katanya.
Dikatakan Dinda, pegawai bank sudah datang menagih, namun setelah dijelaskan, pihak bank masih memberikan batas toleransi. Untuk itu, diharapkan harga TBS segera naik sehubungan dengan naiknya harga CPO, jika tidak makan petani sawit bakal kehilangan perkebunannya dan dijual kepada kalangan kapitasis, tandes Dinda mengatakan.
Lain di Langkat, lain pula di Tapanuli Tengah. Di sini meski harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit runtuh ke level terendah yakni Rp200 per kilogram, tapi belum mempengaruhi proses pengembalian kredit di perbankan Sibolga.
Pimpinan Bank Sumut cabang pembantu Pandan Hotlan Gultom kepada MedanBisnis, Selasa (4/11) di ruang kerjanya, kendati harga TBS kelapa sawit di daerah setempat ikut anjlok akibat imbas krisis ekonomi global yang melanda dunia saat ini, namun proses pengembalian kredit dari sejumlah petani selaku nasabah Bank Sumut cabang pembantu Pandan masih normal.
“Terhitung triwulan III 2008 atau hingga akhir September, Bank Sumut cabang pembantu Pandan telah menyalurkan dana kredit termasuk di antaranya untuk bidang pertanian dan perkebunan dengan total anggaran mencapai Rp 80 miliar lebih, namun sampai saat ini, belum ada satupun nasabah kita yang menunggak kredit pinjaman yang digulirkan,” ungkap Hotlan.
Menurutnya, tidak semua petani kelapa sawit khususnya di sejumlah kecamatan di antaranya, Pandan, Tukka, Badiri, Pinangsori, Sibabangun dan Sukabangun kabupaten Tapteng semata-mata menggantungkan hidupnya dari hasil kebun kelapa sawit yang dimiliki, melainkan ada usaha lain seperti pedagang, PNS maupun pengusaha swasta lainnya, sehingga masih bisa menutupi dan membayarkan kewajiban kreditnya di bank.

source: medanbisnisonline.com

Ekspor CPO Sumut Turun 30,7%

Rabu, 05-11-2008
*wismar simanjuntak
MedanBisnis – Belawan
Krisis ekonomi global yang melanda dunia tampaknya mulai mempengaruhi ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Sumut melalui Pelabuhan Belawan. Ini setidaknya bisa dilihat dari aktivitas ekspor selama periode waktu Oktober 2008 turun sebesar 30,77% dibandingkan bulan sebelumnya.

Padahal di kurun waktu yang sama pada tahun 2007 ekspor komoditas bernilai tinggi yang menjadi primadona ekspor Sumut itu terus meningkat dengan persentase yang signifikan.
Data dikutip MedanBisnis dari Pelindo I Cabang Belawan mengungkapkan, selama September 2008 ekspor CPO Sumut melalui terminal curah cair dengan jasa pipa terpadu Pelabuhan Belawan tercatat 303.494 ton atau turun sekitar 3,15 % dibandingkan Agustus yang jumlahnya 313.080 ton.
Namun di bulan Oktober aktivitas ekspor minyak sawit mentah Sumut melalui Pelabuhan Belawan benar-benar memprihatinkan. Sebab menurut data yang dikutip menyebutkan, selama dekade itu volume ekspornya anjlok hingga 44,45 % yakni dari 303.494 ton pada September menjadi 210.100 ton.
Di bulan Nopember 2008 ini banyak yang memprediksi bahwa ekspor CPO Indonesia bakal membaik menyusul dihapuskannya pajak ekspor (PE) CPO dari 2,5% menjadi 0%. Namun Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Akmaluddin Hasibuan menilai kebijakan pemerintah dengan menurunkan PE CPO menjadi 0 % terlambat.
Kepada pers sebelumnya Akmaluddin mengatakan, kebijakan pemerintah dengan menghapuskan PE CPO sebenarnya sedikit terlambat. “Sekarang masalahnya permintaan turun akibat krisis keuangan global yang berdampak turunnya konsumsi” katanya.
Sementara Ketua Harian Gapki, Derom Bangun mengatakan, target ekspor CPO tahun 2008 sebanyak 14 juta ton kemungkinan tidak tercapai mengingat banyaknya pembatalan kontrak yang terjadi dan turunnya harga minyak mentah dunia yang menyebabkan konsumsi BBM naik dan bahan bakar nabati turun.
Menurut Derom, rata – rata ekspor CPO per bulan sebesar l juta ton.”Tapi ekspor di bulan Nopember saya kira tidak mencapai 1 juta ton. Perkiraan saya sekitar 500 ribu – 700 ribu ton” ujar Derom.

source: medanbisnisonline.com

Ribuan buruh kebun sawit berisiko di-PHK

Selasa, 04/11/2008

PALEMBANG: Sedikitnya 300.000 pekerja lepas (buruh harian) perkebunan sawit di Sumatra Selatan terancam pemutusan hubungan kerja (PHK), akibat berlanjutnya tren penurunan harga kelapa sawit di pasar internasional.

"Kalau kondisi ini tidak berubah hingga akhir tahun, PHK bisa saja terjadi pada buruh harian lepas. Artinya, itu jalan terbaik buat perusahaan perkebunan," kata Syamsir Syahbana, Ketua Gabungan Pengusaha Perkebunan Sumsel (GPPS), di Palembang, pekan lalu.

Dia mengatakan kondisi harga jual minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang terus tertekan sangat mungkin menyebabkan perusahaan melakukan efisiensi di seluruh lini guna mengurangi biaya operasi, produksi, bahkan perampingan struktur organisasi.

Dengan kata lain, Syamsir mengungkapkan, 300.000 buruh lepas yang tersebar di 131 perusahaan perkebunan kelapa sawit baik modal asing maupun domestik itulah yang menjadi pilihan terakhir untuk dikorbankan alias di-PHK.

Namun, pihaknya tetap akan menunggu perkembangan hingga semester II/2009. Apabila kondisi tetap seperti ini, pasti kondisi buruk akan terjadi pada buruh, sebab perusahaan tidak mungkin mampu menutupi harga produksi CPO sementara harga jual makin merosot.

"Kita juga tetap optimistis krisis akan pulih dan harga serta pemesanan CPO akan kembali naik. Tapi, bila tidak sesuai dengan harapan, tentu juga harus realistis menghadapi kondisi yang ada," tuturnya.

Saat ini, sambungnya, harga tandan buah segar (TBS) sawit di Sumsel, khusus untuk plasma? berada pada sekitar Rp900 per kg-Rp920 per kg.? Namun, jika dalam jangka pendek tidak juga ada perbaikan harga, dalam waktu dekat sekitar 10% dari buruh lepas itu akan di-PHK.

Efisiensi SDM

Dimintai komentarnya secara terpisah, General Manager Mitra Ogan, salah satu produsen CPO di Sumsel, Pangolio Sitompul mengatakan saat ini perusahaan belum melakukan hitung-hitungan mengenai efisiensi sumber daya manusia.

Menurut dia, saat ini manajemen memilih untuk lebih fokus pada persoalan teknis produksi yang terus mengalami kerugian, dan sedang merumuskan sejumlah alternatif untuk mengompensasi kerugian tersebut.

"Kami sekarang fokus bagaimana produksi bisa berlangsung terus tanpa ada hambatan. Sama sekali belum ada hitungan soal efisiensi SDM atau PHK," ujarnya.

Dia menjelaskan hitungan menyangkut efisiensi sumber daya manusia merupakan pilihan terakhir apabila perusahaan tidak sanggup lagi menyelesaikan persoalan teknis yang menyangkut aspek produksi. (k49)

Bisnis Indonesia

source: bisnis.com

Harga sawit diprediksi naik Rp100 per kg

Selasa, 04/11/2008

JAKARTA: Petani kelapa sawit bakal menikmati kenaikan harga tandan buah segar (TBS) hingga Rp100 per kilogram setelah harga batas bawah pengenaan pungutan ekspor minyak sawit naik menjadi US$700 per ton.

Kenaikan itu mengkonversi kerugian petani yang sempat kehilangan US$0,14 per ton pada setiap perubahan 1% PE di basis harga CPO US$650 per ton.

Dirjen Perkebunan Departemen Pertanian Achmad Mangga Barani menuturkan revisi harga batas bawah yang ditetapkan melalui Permenkeu No. 159/PMK.011/2008 pada 30 Oktober 2008 diperlukan untuk menolong harga CPO yang tengah melemah.

"Harga di petani lepas sekitar Rp300-Rp400 per kg. Namun, kalau di kemitraan masih di kisaran Rp600-Rp800 per kg. Kalau PE 0%, pasti ini akan ada kenaikan," ujarnya kepada Bisnis, kemarin.

Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsyad membenarkan kenaikan harga batas bawah pengenaan CPO itu akan menurunkan PE menjadi 0% pada bulan ini.

"Kalau PE 0%, harga TBS juga ikut terdongkrak karena harga jual CPO bisa naik sekitar Rp300-Rp400 per kilogram. Dengan begitu harga TBS petani bisa ikut naik Rp75-Rp100 per kg," katanya.

Harga rata-rata CPO di Rotterdam pada Agustus yang mencapai US$975 per ton terus melemah hingga tercatat hanya US$650 per ton untuk rata-rata harga bulan lalu.

Akibatnya, harga CPO lokal sekitar Rp6.900 per kg pada bulan kesembilan tahun ini turun menjadi Rp4.500 per kg bulan ini sehingga menggerus harga TBS di petani menjadi hanya Rp400 per kg.

Imbas krisis

Kalangan pelaku usaha perkebunan juga mengakui kebijakan baru untuk komoditas CPO itu positif membantu kinerja sektor yang terkena imbas krisis global dan harga komoditas yang jatuh.

Wakil Direktur Utama PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (Smart) Tbk Daud Dharsono menyatakan reaksi pemerintah yang responsif menghadapi penurunan harga komoditas dengan mengubah harga batas bawah pengenaan PE cukup positif.

"Biaya produksi sudah telanjur tinggi dan tidak mungkin turun. Sewaktu solar Rp11.000 per liter, biaya kita sudah US$425-US$450 per ton. Padahal, harga sempat turun US$380 per ton pada Oktober. Kalau PE 0%, akan ada kenaikan harga jual CPO sekitar Rp300-Rp400 per kg."

Dia mengakui harga TBS di tingkat petani yang bermitra dengan perusahaan inti jauh lebih terkendali dibandingkan dengan harga yang diterima petani lokal.

Petani kelapa sawit lepas, ujarnya, terganjal penetapan harga TBS yang dikuasai pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul ini memukul harga jual petani lepas hingga 40% di bawah harga jual petani yang melakukan kemitraan.

Harga CPO hingga 2010, dia memproyeksi, akan cenderung tetap fluktuatif karena suplai yang masih bagus tidak diimbangi dengan pertumbuhan permintaan yang signifikan karena pengaruh krisis global.

Sementara itu, kenaikan biaya produksi, khususnya harga pupuk, akan menyebabkan penurunan produksi CPO nasional dalam 2 tahun ke depan.

"Yield-nya akan turun karena kurang pupuk. Ini akan terasa pada 2010. Jadi perkiraan saya, harga CPO akan mencapai titik keseimbangan baru pada awal 2010." (aprika.hernanda@ bisnis.co.id)

Oleh Aprika R. Hernanda
Bisnis Indonesia

source: bisnis.com

Bawalah CPO kembali terbang (II)

Selasa, 04/11/2008

Bagian terakhir dari dua tulisan
Presiden Direktur Gozco Plantations Tjandra M. Gozali mengatakan perseroan telah menyiapkan dana dari kas internal sekitar Rp500 miliar untuk keperluan akuisisi kebun tersebut.

Saat ini Gozco memiliki lahan seluas 60.000 hektare. Dari jumlah itu, 15.000 hektare sudah ditanami, dan sisanya seluas 45.000 hektare masih belum dikembangkan.

Khusus untuk perkebunan kelapa sawit di wilayah Sumatra Selatan, perseroan memiliki lahan seluas 13.050 ha dengan lahan cadangan 5.417 ha, dan status izin lokasi 10.815 hektare.

Dengan tambahan lahan yang sudah berproduksi seluas 10.000 hektare, memungkinkan perseroan meningkatkan produksi minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/ CPO) menjadi 80.000 ton per tahun, dari sebelumnya 50.000 ton per tahun.

Kemudian, sebanyak 44 perusahaan asing telah mengakuisisi perusahaan perkebunan dalam negeri yang mengelola areal perkebunan sawit seluas 442.016 hektare (ha) di berbagai daerah di Tanah Air.

Ke-44 perusahaan asing itu tertera dalam daftar Rekomendasi Menteri Pertanian yang dikeluarkan Pusat Perizinan dan Investasi (PPI) dalam rangka pengalihan kepemilikan saham perusahaan perkebunan dari Perusahaan Modal Dalam Negeri (PMDN) kepada Perusahaan Modal Asing (PMA) sejak 2006 hingga 2007. Dari 44 perusahaan asing itu, 16 di antaranya adalah perusahaan perkebunan asal Malaysia, yang menguasai areal perkebunan seluas 137.942 ha dengan nilai investasi sebesar Rp3,44 triliun.

Apes. Prediksi soal harga CPO yang akan membaik atau memecahkan rekor harga 2007, berada di ujung tanduk.

Bahkan, kini, bukan hanya berimbas pada tidak menariknya saham perusahaan perkebunan sawit. Petani pun mulai menangisi keadaan yang semakin tidak bersahabat. Kini harga tandan buah segar (TBS) kian merosot dari Rp1.800 per kg menjadi Rp200 per kg.

Akibatnya, petani sawit saat ini resah. Banyak yang menunggak kredit barang konsumtif seperti mobil, sepeda motor, rumah, dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Bahkan ada beberapa di antara petani kini stres, karenanya pemerintah daerah segera mengambil langkah penyelamatan.

Batal kontrak

Sementara itu, Direktur pabrik kelapa sawit PT Kirana Sekernan Jambi, Benly Tarigan mengakui krisis ekonomi saat ini membuat pengusaha kesulitan menjual minyak mentah kelapa sawit.

Tak ayal, target ekspor CPO sebanyak 14 juta ton menjadi sulit dicapai meski pemerintah telah memutuskan penurunan Pungutan Ekspor (PE) CPO November dari 2,5% menjadi 0%.

"Ini kebijakan yang sebenarnya sedikit terlambat. Sekarang masalahnya permintaan turun akibat krisis keuangan global yang berdampak pada turunnya konsumsi," kata Akmaluddin Hasibuan.

Ketua Harian Gapki Derom Bangun mengatakan target ekspor CPO kemungkinan tidak tercapai mengingat banyaknya pembatalan kontrak yang terjadi dan turunnya harga minyak mentah dunia yang menyebabkan konsumsi bahan bakar minyak naik dan bahan bakar nabati turun.

Rata-rata ekspor per bulan sebesar 1 juta ton. Namun, ekspor November diperkirakan tidak mencapai 1 juta ton, perkiraan sekitar 500.000 ton-700.000 ton.

Turunnya konsumsi CPO di negara tujuan ekspor menyebabkan terjadinya pembatalan kontrak oleh importir terutama dari China dan India. Selain itu, India juga ditengarai sedang berencana menaikkan kembali Bea Masuk (BM) impornya karena harga CPO terus mengalami penurunan.

Sebelumnya, ekspor CPO pada 2008 ditargetkan 14 juta ton dari produksi 2008 sebanyak 18,8 juta ton. Sisanya, 4,8 juta ton diserap pasar dalam negeri. Ekspor 2007 tercatat sekitar 12,6 juta ton. Ekspor CPO terutama ditujukan ke Belanda, India, Jerman, Italia, Spanyol, dan China.

Data Gapki per akhir Juli 2008 menyebutkan ekspor CPO baru mencapai 8 juta ton. Tak ayal, Gapki ragu volume ekspor CPO dalam 6 bulan terakhir bisa 6 juta ton atau rata-rata 1 juta ton per bulan.

Stok sekarang 2,4 juta ton. Itu menandakan demand di luar negeri sedang turun. Oleh karena itu, kewajiban penggunaan bahan bakar nabati bagi transportasi, industri, komersial, dan pembangkit listrik dalam negeri dapat menyerap kelebihan pasokan CPO yang tidak bisa diekspor dan mendongkrak harga.

Mari, kita terbangkan kembali CPO. Mungkin, itu tekad yang harus dibangun, dipegang dan diterapkan dalam kondisi saat ini. Tekad itu harus menjadi komitmen.

Dengan begitu, setelah PE diturunkan pemerintah menjadi 0%, pasok bahan baku tidak justru terganggu lantaran semua CPO terbang ke pasar ekspor. Sebab, kendati harga turun, menguatnya nilai dolar AS, membuat harga jual CPO tidak buruk. Penguatan pasar domestik harus menjadi komitmen bersama. (martin.sihombing@bisnis.co.id)

Oleh Martin Sihombing
Wartawan Bisnis Indonesia

Harga CPO terkerek suku bunga

Selasa, 04/11/2008

SINGAPURA: Harga kontrak berjangka minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) di bursa Malaysia naik setelah sempat mencatat penurunan bulan terburuk sejak 1995 menyusul ekspektasi perbaikan perekonomian China dan India.

China dan India yang merupakan konsumen terbesar minyak sawit di dunia mempercepat upaya mempertahankan pertumbuhan ekonominya yang terancam kelesuan perekonomian global.? Rencana kedua negara itu diperkirakan meningkatkan permintaan CPO.

Harga minyak sawit untuk pengiriman Januari melonjak 7,3% ke level RM1.625 (US$461) per ton di Malaysia Derivatives Exchange. (Bloomberg/nom)

source: bisnis.com

Cari di Google

Google
 
Web kabarsawit.blogspot.com