Wednesday, October 15, 2008

”Modalnya Rp750 per Kilo Dijual Rp200’’, Keluhan Petani Sawit di Tengah Melesunya Nilai Jual

15-October-2008
Rusli (40) warga Langgadai Hilir, Kecamatan Rimbamelintang, Kabupaten Rohil hanya bisa pasrah menyikapi dampak merosotnya nilai jual hasil panennya akibat pengaruh krisis global.
Laporan SYAHRI RAMLAN,Rimbamelintangsyahri-ramlan@riaupos.co.id
‘’HARGA kelapa sawit yang dijual dengan harga antara Rp200 hingga Rp300 perkilogram itu, lantas apa yang kita dapatkan. Perlu untuk diketahui, kegiatan memanen sampai diantar ke tempat penimbangan itu, kita menggunakan biaya yang tidak sedikit. Misalkan saja, untuk upah mendodos buah sawit itu, kita membayarnya sebesar Rp50 per kilogram. Itu baru mendodos,’’ keluh Rusli dengan suara memelas.
Dana lain yang dikeluarkan lagi oleh Rusli ini yakni untuk kegiatan mengangkut dari lokasi kebun menuju ke tempat penimbangan. Kemudian, kegiatan menimbang, juga masih dikenakan biaya.
‘’Dana yang harus kita keluarkan mulai mendodos, mengangkut dan menimbang, besarnya mencapai Rp 150 per kilogram. Kemudian harga pupuk mencapai Rp 600 per goni ukuran 50 kilogram. Secara keseluruhannya dana yang harus dikerluarkan itu mencapai Rp 750. Sedangkan hasil jualnya hanya Rp200 hingga Rp300. Artinya, jangankan mendapatkan untung, malah kita tekor atau rugi setelah menjual buah sawit itu. Jangankan untuk menyimpan duit, untuk kebutuhan sehari-hari saja tidak lepas,’’ kata Rusli.
Dampak krisis global yang gilirannya mampu mempengaruhi daya jual usaha khususnya di sektor perkebunan kelapa sawit, tampaknya telah menimbulkan pertanyaan besar bagi para petani. ‘’Katanya, harga jual kelapa sawit itu turun akibat krisis global. Lantas kenapa harga minyak dunia serta barang-barang komiditi termasuk sembako kok enggak turun. Malahan, ada kecenderungan untuk naik. Kalau harga minyak dunia dan komiditi termasuk sembako juga turun, saya pikir tidak masalah. Karena, kondisinya bisa berimbang dengan harga jual sawit tadi. Tapi, kalau yang lain tetap berada di level yang tinggi kemudian harga jual sawit turun, lantas kita mau dapat apa. Di tengah harga jatuh, harga kebutuhan yang lain naik,’’ kata Rusli.
Sebelum munculnya krisis global, masyarakat yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit, setiap bulannya boleh dikatakan memiliki pemasukan ekonomi yang lumayan besar. Dimana, setiap kali panen, masyarakat mendapatkan keuntungan bersih setelah dipotong segala bentuk biaya pemeliharaan dan perawatan serta lainnya mencapai Rp800.000. ‘’Waktu harganya mencapai Rp1.200 per kilogram hingga Rp1.400 per kilogram, kita bisa menampung dan membiayai anak untuk sekolah. Dimana, kita mendapatkan keuntungan sebesar Rp800.000. Setelah ada krisis, tidak ada keuntungan,’’ kata Rusli.
Sektor tanaman keras lainnya yang ikuti dipengaruhi oleh krisis global, yakni karet. Dimana, sebelum krisis global mencuat di atas permukaan, harga karet mencapai antara Rp14.000 hingga Rp12.000 per kilogram.
Namun, setelah krisis global menjadi isu hangat yang dibicarakan tingkat dunia, harga karet langsung anjlok secara dratis menjadi antara Rp6.000 hingga Rp7.000 per kilogram. Kendati demikian, usaha di sektor karet ini masih dinilai cukup bagus ketimbang perkebunan kelapa sawit. Dimana, karet yang telah dipanen tersebut bisa disimpan berhari-hari tanpa ada mengenal kata-kata membusuk dan sebagainya. Sedangkan buah kelapa sawit setelah dipanen dan dibiarkan selama tiga hari bisa membusuk dan tidak laku lagi dijual.
‘’Harga getah sekarang ini sudah jatuh sekali. Makanya, getah yang sudah kita ambil itu tidak langsung dijual. Melainkan kita simpan dulu di dalam air. Nanti setelah harganya stabil, getah itu baru kita keluarkan dari simpanannya dan langsung kita jual. Hanya saja, menunggu sampai kapan waktu harga itu normal, ya kita tidak tahu,’’ kata Syarifuddin (45) salah seorang petani karet, Kepenghuluan Baganpunak, Kecamatan Bangko.
Hingga, tidak mengherankan bila sejumlah parit yang ada di beberapa lokasi tanaman karet banyak terdapat getah yang terendam. Kalaupun ada yang dibawa keluar untuk dijual, hanya dilakukan dalam kondisi yang terpaksa. ‘’Kalau sudah terpaksa dan mendesak sekali, ya mau tidak mau getah itu kita jual saja. Hanya saja, tidak kita jual sekaligus. Yang lainnya tetap disimpan sampai menunggul harga jual getahnya normal kembali,’’ kata Syarifuddin.(bud)
source: rokanhilir.go.id

No comments:

Post a Comment

Cari di Google

Google
 
Web kabarsawit.blogspot.com