Thursday, October 30, 2008

Petani Desak Pengusaha Naikkan Harga TBS 20%

Kamis, 30-10-2008
*herman saleh

MedanBisnis – Medan
Pemerintah akhirnya mengabulkan tuntutan pengusaha dan petani kelapa sawit menghapuskan pungutan ekspor (PE) minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) mulai 1 Novemper 2008. Hal ini pun langsung mendapatkan reaksi dari petani kelapa sawit, dengan mendesak pengusaha menaikkan harga tandan buah segar (TBS) 15-20% dari harga yang sekarang.

“PE sudah turun, artinya pengusaha bisa menggenjot ekspor dan meningkatkan produksi. Karena itu, kita berharap agar harga TBS dinaikkan 15-20%,” kata Sekretaris Jenderal (Sekjend) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsjad, ketika dihubungi MedanBisnis, Rabu (29/10).
Pemerintah sebelumnya mengeluarkan sepuluh langkah menyelamatkan perekonomian dari pukulan krisis finansial, di antaranya dengan menghapuskan pajak ekspor CPO (crude palm oil) padahal sebelumnya sudah menetapkan 2,5% untuk ekspor bulan November. Kebijakan ini diharapkan mendongkrak ekspor dan harga TBS di tingkat petani.
Asmar Arsjad mengatakan peningkatan produksi tersebut terutama bisa digalakkan oleh pabrik kelapa sawit (PKS) tanpa kebun yang kapasitas produksinya masih minim. Sedangkan bagi perusahaan eksportir bisa dilakukan dengan menggenjot ekspor, dan atau mengembangkan produksi hilir CPO. Dengan demikian, besar kemungkinan TBS petani semakin banyak yang terserap.
“Eksportir CPO diharapkan bisa meningkatkan produksi hilir, dan pengembangan biodiesel. Saya optimis, jika ini dilaksanakan maka harga TBS akan terdongkrak naik, karena kebutuhannya meningkat,” lanjut Asmar, seraya meminta pemerintah juga memberi kemudahan-kemudahan bagi pengembangan industri hilir tersebut.
Ditambahkannya, Apkasindo juga menyadari kendala pengusaha seiring penumpukan CPO di kilang-kilang pabrik, dan juga pelabuhan. Namun demikian, lanjutnya, jika pengusaha bersedia masih banyak produk yang bisa diproduksi dari kelapasawit. “Pengusaha lebih taulah itu, makanya kita berharap itu bisa dikembangkan,” tambahnya.
Pengamat ekonomi Jhon Tafbu Ritonga menilai penurunan PE CPO tersebut sudah terlambat. Mengingat CPO di pabrik sudah menumpuk, dan permintaan belum juga kembali seperti dulu. Sehingga, kondisi ini tidak akan begitu berpengaruh lagi terhadap harga TBS.
“Untuk ekspor mungkin masih bisa naik, tetapi untuk harga TBS masih menunggu waktu dulu. Soalnya, sekarang ini stok CPO mungkin masih banyak,” katanya, seraya menilai penghapusan PE CPO yang terlambat, bisa menyebabkan kebijakan tersebut tidak lagi efektif.
Sementara Bendahara Gabungan Pengusaha Kelapasawit Indonesia (Gapki) Sumut Laksamana Adiyaksa mengatakan, permintaan pasar internasional yang masih lemah menjadi kendala. Sebab, ekspor tidak serta merta bisa dinaikkan. Karena itu, pihaknya belum bisa memperkirakan harga TBS bisa naik.

PKS Tolak Beli TBS
Asmar Arsjad mengemukakan kini petani kelapasawit semakin kewalahan setelah harga TBS ambruk menjadi Rp 150/kg. Pasalnya, beberapa Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang memiliki perkebunan plasma mulai mengurangi pembelian Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit dari petani, bahkan beberapa di antaranya ada yang melakukan penolakan. “PKS yang punya kebun sudah membatasi produksi. Sehingga mereka cukup memanfaatkan hasil dari perkebunan plasma masing-masing,” katanya.
Ditambahkannya, pada keadaan normal, sekitar 40% hasil produksi petani masih bisa diserap oleh PKS plasma ini. Akan tetapi, terjadinya penumpukan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di pabrik menyebabkan, pengusaha mengurangi produksi. Keadaan ini, semakin parah dengan menurunnya permintaan dari negara-negara buyer.
“Saat pasar lelang sangat minim. Begitu juga dengan harga yang masih sangat rendah Rp4.180/kg. Penumpukan pun semakin menjadi, akibat sedikitnya transaksi,” papar Asmar Arsjad.
Dengan kondisi ini, lanjutnya, petani mulai mengarahkan penjualan TBS-nya bagi PKS yang tidak memiliki kebun. Meskipun, harus menanggung resiko harga yang lebih murah. Dan pada umumunya, yang menempuh jalur ini adalah petani yang belum memiliki hubungan kemitraan dengan pabrik. “Tidak ada pilihan lain bagi petani, karena PKS tanpa kebun masih membutuhkan TBS untuk diolah,” lanjutnya, seraya mengatakan, PKS tanpa kebun ini tetap mengambil bahan baku dari petani-petani bebas tersebut.
Ditambahkannya, dari total sekitar 45 PKS di Sumut, 16 diantaranya belum memiliki kebun plasma.
Untuk itu, lanjutnya, PKS tanpa kebun dan kebun yang masih belum memenuhi produksi sesuai kapasitas terpasang diharapkan mampu meningkatkan produksinya. Sehingga, TBS yang diproduksi petani bisa terserap dan membantu petani dari keterpurukan.
Menanggapi hal ini, Laksamana Adiyaksa kembali mengatakan, pembatasan pembelian itu mungkin saja terjadi. Pasalnya, hingga saat ini rata-rata tangki penyimpanan CPO di pabrik sudah mencapai 80%. Jika ini maksimalkan, dapat menggangu operasi pabrik yang bersangkutan. “Kalau dimaksimalkan, tentu sangat beresiko di tengah permintaan pasar yang masih rendah. Kita justeru khawatir pabrik bisa stop beroperasi, kalau itu dipaksakan,” katanya, melalui saluran telepon.

No comments:

Post a Comment

Cari di Google

Google
 
Web kabarsawit.blogspot.com