Tuesday, October 28, 2008

Biofuel: Peluang atau Angan-angan (3)

Rabu, 29-10-2008

*Bersihar Lubis
SYAHDAN, Indonesia sudah punya master plan pengembangan biofuel, baik tentang lahan, infrastruktur, pabrik, marketing, maupun dana. Biofuel terdiri dari biodiesel dari kelapa sawit dan jarak pagar serta bioetanol dari singkong atau tebu.

Angan-angannya, pada 2010 porsi substitusi biofuel mencapai 10 persen konsumsi BBM. Targetnya, pada 2010 sudah berdiri 11 pabrik biofuel di lahan 6 juta hektare. Dana dari hulu ke hilir, sekitar Rp 200 triliun. Di hulu, dengan asumsi US$ 1 miliar per hektar diprediksi perlu dana Rp 53 triliun. Di hilir, terutama pabrik, perlu Rp 150 triliun.Sebetulnya, oke-oke sajalah, asalkan jangan terulang lagi sikap “tambal sulam.

”Tatkala harga minyak mentah membubung, kita menengok lagi biofuel. Tapi jika berfluktuasi menurun, dilupakan lagi.Patut dicatat bahwa hingga Maret 2008 lalu, ternyata dari 70 calon investor masih banyak yang belum merealisasikannya karena tidak adanya kepastian pasar domestik (Pertamina menurunkannya dari 5% menjadi 1% saja).

Setidaknya, Begitulah yang diungkapkan oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Biofuel Indonsia (Aprobi) Paulus Cakrawan kepada pers. Jangan sampai terjadi pula miss koordinasi antarinstansi, suatu penyakit egosektoral yang belum sembuh. Memang, dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2006, disebutkan selain bupati dan gubernur, 13 menteri, seperti Menteri ESDM, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan terlibat langsung. Menko Perekonomian sebagai komandonya pula.

Koordinasi menjadi penting, untuk menjaga jangan gara-gara kelak ada harapan besar dari pasar, dan akan men-drive harga nabati, kemudian memunculkan ancaman berupa terjadinya kompetisi lahan. Yang tadinya untuk pangan disedot ke bionabati untuk menghasilkan bio energi.

Mestilah ditemukan harmoni yang proporsional antara bionabati dan bioenergi. Untuk itu, jangan terlalu all out di energi dan mengakibatkan sektor pangan terancam. Ketahanan pangan (food security) harus berimbang dengan bioenergi/energy security/ketahanan energi. Jangan sampai ada rebutan lahan, dan kanibalisasi, sehingga diperlukan adanya regulasi dari pemerintah.Sangat pradoks jika pabrik bioethanol marak, tetapi kebun sawit tidak bertambah. Setelah bahan baku siap di berbagai perkebunan, barulah pabrik bioethanol dibangun. Jangan sebaliknya. Bisa-bisa energi melahap pangan.

Paling penting, peran pekebun jangan diabaikan. Fakta berbicara, bahwa perkebunan swasta dan BUMN pada 2000 hanya 3,4 juta hektare dari total area 11,7 juta hektare. Dari jumlah itu, 70 persen adalah perkebunan kelapa sawit swasta menengah dan kecil, yang tumbuh cepat karena subsidi bunga, seperti juga petani karet. Mereka sabar menunggu lima sebelum karet disadap, karena berkebun bagi mereka sudah menjadi kultur.Jika sehektare kebun karet dihargai Rp 10 juta, investasi petani mencapai Rp 37 triliun. Berapa nilai 7,5 juta hektare sawah, kebun kopi, teh, dan yang lain, yang sebagian besar investasi rakyat? Petani adalah investor sejati. Hasil ekspor perkebunan rakyat US$ 5 miliar setahun.

Padahal, dividen dan pajak PTPN I-XIV setahun, kurang dari Rp 1 triliun. Kita terkenang tuan Douwes Dekker alias Multatuli. Penulis roman “Max Havelaar” itu memprotes tanaman paksa ala kolonial Belanda, dan Ratu Belanda mengabulkannya. “Katakan kepada saya, bukankah si petani miskin, bukankah padi menguning seringkali untuk memberi makan orang yang tidak menanamnya?” kata Dekker saat berpidato menjadi Asisten Residen di Lebak, Banten. (Habis)*Wartawan MedanBisnis

source: medanbisnisonline

No comments:

Post a Comment

Cari di Google

Google
 
Web kabarsawit.blogspot.com