Monday, November 3, 2008

Petani Sawit Menunggu Uluran Tangan Pemerintah

By Republika Contributor
Minggu, 02 November 2008 pukul 19:03:00

JAKARTA -- Jutaan petani perkebunan sawit kini hanya pasrah tanpa mampu berbuat apa-apa kecuali menunggu uluran tangan pemerintah sejak anjloknya harga minyak mentah sawit (CPO) akibat dampak krisi moneter dunia.

Dari gejala makin menurunnya permintaan CPO dunia yang oleh kalangan ekonom dilukiskan ibarat penyakit "flu" sedang menjalar di Amerika Serikat, namun di Indonesia sudah terlihat "batuk-batuk" bagi petani sawit lantaran harga CPO terus merosot sejak dua bulan terakhir. Saat ini, harga CPO di bursa Rotterdam hanya berada di kisaran US$ 733 per ton. Padahal, harga rata-rata dua bulan sebelumnya masih US$ 1.175 per ton.

Penurunan harga CPO ini menurut para analis kemungkinan akan berlangsung hingga tahun depan. Karena itu, untuk menyelamatkan harga di dalam negeri yang juga merosot terus, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru menginstruksi kepada Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro dan Pertamina agar CPO nasional untuk konsumsi dalam negeri.

Menurut Presiden, konsentrasi konsumsi CPO untuk pasar dalam negeri, bisa disinkronkan dengan langkah pemerintah yang sejak 2005 ingin mengembangkan bahan bakar nabati.

Produksi CPO nasional menurut Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), produksi CPO nasional tahun ini mencapai 18,7 juta ton sementara Volume ekspornyai diprediksi 14 juta ton, artinya produksi nasional untuk ekspor melimpah ruah.

Menurunnya harga CPO tersebut tentunya mempengaruhi harga tanda buah segar (TBS) yang dihasilkan petani. Menurut informasi di daerah sentra kelapa sawit seperti di Sumatera Utara kini sudah mencapai Rp 250 per Kg, sementara harga normalnya mencapai Rp1.800 per Kg.

Jatuhnya harga kelapa sawit tersebut banyak petani di daerah tersebut kini enggan memanen sawit mereka dan banyak petani frustasi karena pembiayaan perawatannya lebih tinggi dibanding harga jualnya.

Untuk menyelamatkan terpuruknya kehidupan para peyani tersebut, pengamat Ekonomi dari Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak, Ali Nasrun, SE, M.SC, mengatakan pemerintah daerah maupun pusat perlu ikut campur tangan.
Wacana pengurangan produksi jelas tidak bagus karena di satu sisi mungkin akan berdampak adanya kenaikan harga, tetapi disisi lain, petani semakin terjepit.

Sebaiknya, pemerintah menyiapkan strategi lain, selain mencarikan pasar baru selain Eropa, juga program pemerintah untuk mengembangkan BBM nabati yang selama ini lesu karena tingginya harga sawit.

Selain itu, kebijakan pemerintah juga harus semakin membuka peluang untuk perluasan pemasaran di dalam negeri, kalau selamanya bergantung pada luar negeri bukan tidak mungkin suatu saat badai itu akan kembali lagi seperti sekarang, katanya.

Pengembangan Biodiesel

Langkah pemerintah yang strategis dengan menampung sawit untuk mengembangkan minyak biodiesel adalah langkah yang perlu ditindak lanjut segera mungkin karena selain saat ini harga minyak mentah masih berfluktuasi juga ketergantungan untuk minyak fosil bisa dikurangi.

Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) mengaku siap untuk memasok lima persen biodiesel dari total kebutuhan solar dalam negeri tahun 2009 yang diprediksi mencapai 30 juta ton.

"Kalau pada 2008 ini kebutuhan solar mencapai 26 juta ton kemungkinan kebutuhan solar akan meningkat menjadi 30 juta ton pada 2009 nanti. Kalau kebutuhannya untuk mencukupi lima persen saja berarti 1,5 juta ton kita masih bisa melayani," kata Ketua Bidang Produksi dan Pemasaran Aprobi, Immanuel Sutarto.

Dia mengatakan saat ini kapasitas terpasang produksi biodiesel dari 11 perusahaan yang ada di Indonesia mencapai 1.588.300 ton per tahun. Tetapi akibat penurunan permintaan dan kalah bersaing dengan harga bahan bakar fosil hanya lima perusahaan biodiesel yang masih berproduksi. "Kapasitas produksi yang terpakai saat ini hanya 10 sampai 12 persen saja per tahun," ujar dia.

Dengan menurunnya harga CPO dan adanya mandatori dari pemerintah untuk penggunaan bahan bakar nabati (BBN) sebesar lima persen, maka dia meyakini harga biodiesel akan dapat bersaing dengan bahan bakar fosil sehingga produsen biodiesel enam pabrik biodiesel lainnya akan kembali berproduksi.

Bahkan, dia mengatakan, produksi biodiesel akan bertambah menjadi 2.521.000 ton di tahun 2009 karena hampir semua produsen biodiesel menambah kapasitas produksinya.

Dia mengatakan, produksi CPO dalam negeri pun diperkirakan akan semakin bertambah pada 2009 mencapai 20 juta ton. Saat ini produksi CPO Indonesia sendiri mencapai 18 juta ton dimana 14 juta ton diekspor, empat untuk kebutuhan makanan, dan tiga juta untuk biodiesel.

"Untuk bahan baku tidak perlu khawatir, karena untuk memproduksi satu ton biodiesel hanya butuh satu ton CPO. harga biodiesel sendiri untuk saat ini sudah cukup ekonomis," kata Sutarto.

Dengan situasi yang serba sulit ini yang dinutuhkan petani adalah uluran tangan pemerintah untuk mendorong harga sawit untuk mencapai harga yang ekonomis bagi mereka .- ant/ah

source: republika.co.id

No comments:

Post a Comment

Cari di Google

Google
 
Web kabarsawit.blogspot.com