Sunday, October 19, 2008

Usaha Kelapa Sawit Riau Terancam Goyah

Minggu, 19 Oktober 2008 19:26

Kapanlagi.com - Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Riau Wisnu Oriza Suharto mengatakan, sektor usaha kelapa sawit di Riau mulai goyah karena sejumlah pengusaha terancam gulung tikar akibat harga jual sawit terus menurun.

"Banyak pengusaha anggota Gapki terancam gulung tikar, terutama para pengusaha pemula," kata Wisnu di Pekanbaru, Minggu.

Ia menjelaskan, anjloknya harga komoditi itu mulai berdampak buruk kepada para pengusaha baru karena mereka tidak memiliki kecukupan dana untuk mensubstitusi keuntungan pada saat harga turun. Kondisi itu jelas berbeda dengan pengusaha sawit lama, karena mereka bisa menutupi kerugian dari keuntungan yang didapatkan saat harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) tinggi pada semester I 2008.

Sedangkan, marjin profit dari ekspor melalui Dumai dan Belawan kini terus merosot akibat harga jual turun dari Rp5.019,26 menjadi Rp4.237 per kilogram.

"Sedangkan ongkos pemeliharaan kebun rata-rata mencapai Rp3.900 untuk satu pohon. Kondisi bertambah buruk akibat bunga kredit bank meningkat, dan menyulitkan pengusaha pemula yang menggunakan modal pinjaman bank untuk usaha mereka," ujarnya.

Dari jumlah luasan perkebunan sawit Riau yang mencapai 1,7-2 juta hektare, ujar Wisnu, sekitar 400.000 hektare merupakan milik pengusaha anggota Gapki dan dari luas tersebut sekitar 30% merupakan pengusaha baru.

Kesulitan Beli Pupuk
Sementara itu, Wakil Ketua Himpunan Kerukunan Tani (HKTI) Riau yang juga pengamat pertanian dari Universitas Islam Riau (UIR) Fachri Yasin mengatakan, petani swadaya non mitra perusahaan mulai kesulitan membeli pupuk untuk kebun mereka karena harga anjlok.
"Untuk memanen saja sudah susah karena harga jual rendah membuat petani merugi, apalagi untuk membeli pupuk yang makin mahal," katanya.

Dengan harga tandan buah segar (TBS) untuk petani swadaya yang hanya berkisar Rp350-Rp400 per kilogram, petani kesulitan menjangkau harga pupuk urea yang kini mencapai Rp500 ribu hingga Rp600 ribu per karung. Sedangkan pada saat ini, perkebunan sawit mulai memasuki masa pemupukan.

"Bila tidak dipupuk dengan semestinya, jumlah buah dan kualitas rendemen akan menurun sebelum masanya," katanya.

Karena itu, ia menyarankan agar melakukan penghematan dengan mengurangi ongkos pengupahan. Menurut dia, saat harga TBS sempat mencapai Rp2.000 per kilogram, banyak petani dengan luas kebun hanya dua sampai tiga hektare berperilaku boros dengan menghabiskan keuntungan panen untuk membeli barang mewah dan malas turun merawat kebun sendiri dengan mempekerjakan buruh untuk menggantikan peran mereka.

"Petani harus kembali ke pola hidup petani yang sebenarnya yakni mandiri, melakukan semua pemupukan sendiri untuk mengurangi ongkos dari mengupah pekerja untuk pemupukan," ujarnya. (*/erl)

source: kapanlagi.com

No comments:

Post a Comment

Cari di Google

Google
 
Web kabarsawit.blogspot.com